DOA sapu jagat sering didengar dalam perbincangan sehari-hari di kalangan kaum Muslimin. Hal tersebut mengacu kepada sebuah doa harian yang paling populer dan paling banyak dibaca, bahkan selalu dijadikan penutup dari rangkaian doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT.
Termasuk doa-doa yang dilaksanakan pada upacara-upacara resmi kenegaraan, yakni
رَبَّناَ اَتِناَ فيِ ادُّنْياَ حَسَنَةً وَفيِ الْاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِناَ عَذاَبَ النَّارِ
“ Tuhan kami anugrahilah kami, hasanah di dunia dan hasanah di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Tidak ada keterangan pasti, dari siapa dan sejak kapan, istilah sapujagat itu muncul dan populer. Mungkin karena do’a tersebut meliputi permohonan hasanah (kebaikan) di dunia dan hasanah di akhirat sekaligus.
Doa tersebut merupakan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah, 2:201, dalam rangkaian ayat-ayat tentang ibadah haji.
Pada ayat 200 dan 201 Allah SWT berfirman:
فَإذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوْا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ اًبَاءَكُمْ اَوْ اَشَدَّ ذِكْرَا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُوْلُ رَبَّنَا اَتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِى الْاَخِرَةِ مِنْ خَلَاقِ. وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ رَبَّنَا اَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الَاخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
“ Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Pembina Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta - Jakarta Islamic Center, KH Drs Syarifuddin Mahfudz MSi menjelaskan, pada ayat 200 Allah SWT memerintahkan orang yang sudah selesai melaksanakan ibadah haji untuk banyak berdzikir menyebut nama Allah, sebagaimana mereka senang menyebut dan membangga-banggakan orang tuanya, bahkan mesti lebih banyak.
Para mufassir menerangkan bahwa kebiasaan para jamaah haji ketika itu, apabila telah selesai melaksanakan ibadah haji di Mina, mereka suka berkumpul sambil menyebut-nyebut kehebatan leluhur mereka.
“ . . . . . menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, orang di zaman Jahiliyah bila selesai wukuf di Arafah dan telah berhari raya di Mina, berkumpullah mereka dengan gembira, karena telah selesai yang pokok dalam ibadah haji. Lalu banyak mereka beromong, bercengkrama terutama membangga-banggakan ayah dan nenek moyang mereka . . . Maka datanglah ayat ini. . . . Ada beberapa golongan dari Arab Badui itu, seketika mengerjakan wukuf berdo’a kepada Allah: “Ya Allah turunkan hujan di tahun ini,, jadilah tahun ini tahun subur, jadilah tahun ini beroleh anak yang bagus, dan tidak seorang juapun yang mengingat berdo’a untuk keselamatan di akhirat”. (Hamka, Tafsir Al Azhar Jilid 1, hal 469).
Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa tidak semua jamaah haji melaksanakan amalan-amalan yang mesti dikerjakan ketika berhaji. Dan sepertinya apa yang dilakukan oleh orang Arab Jahiliyah itu, banyak juga dilakukan oleh jamaah haji dewasa ini. Mereka hanya memikirkan kesuksesan di dunia semata, sehingga doa-doa yang khusus mereka panjatkanpun selalu yang berkaitan dengan keduniaan. Minta gampang jodohlah, naik pangkat, rezeki yang banyak.
Mereka berkata “ROBBANAA AATINAA FID DUNYA-Tuhan kami berilah kami (kebaikan) di dunia”, lalu Allah katakan “WAMAA LAHUU FIL AAKHIROTI MIN KHOLAAQ-dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat”.
Pada ayat 201 Allah SWT menerangkan bahwa di antara manusia, baik yang sudah melaksanakan haji ataupun yang belum, mereka tidak semata-mata memikirkan kebaikan di dunia, tetapi juga kebaikan di akhirat. Tidak hanya bahagia di dunia tetapi juga bahagia di akhirat. Sebagaimana do’a yang senantiasa mereka sampaikan kepadaNya.
“Dalam sahih Al Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Anas, dia berkata: “Do’a yang sering dikemukakan oleh Nabi adalah beliau mengatakan,
الّلهُمَّ اتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَة وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَة وَقِنَا عَذَابَ النَّار.
“ Ya Allah berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari api neraka.
Imam Bukhari berkata “Oleh karena itulah apabila Anas hendak berdo’a, maka dia berdo’a dengan do’a tersebut”. (Tafsir Al Qurtubi 2, hal 974).
Kalimat doa yang senada dengan doaa sapujagat tersebut, diajarkan Rasulullah saw, sebagaimana tersebut dalam hadits dari Abu Hurairoh ra riwayat Muslim, sbb :
الّلهُمَّ اَصْلِحْ لِيْ دِيْنِيْ الّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ اَمْرِيْ, وَاَصْلِحْ دُنْيَايَا اَلَّتِيْ هِيَ مَعَاشِيْ, وَ اَصْلِحْ اخِرَتِيْ الَّتِيْ هِيَ مَعَادِيْ, وَجْعَلِيْ الْحَيَاتَ زِيَادَةً لِيْ فِيْ كُلِّ خَيْرٍ, وَاجْعَلِيْ الْمَوْتَ رَاحَةُ لِيْ مِنْ كُلِّ شَرّْ.
“ Ya Allah, perbaikilah agamaku yang menjadi pokok (pedoman) semua urusanku, perbaikilah duniaku yang merupakan sumber penghidupanku, perbaikilah akhiratku yang menjadi tempat kembaliku, jadikanlah hidupku sebagai penambah semua kebaikan, dan jadikanlah matiku sebagai perhentian dari semua kejahatan”.
Sungguh kalau kita telaah dan kita renungkan, do’a tersebut mengandung lima hal yang sangat urgen bagi kebahagaiaan setiap insan. Baik dalam beragama, baik dalam kehidupan dunia, baik di akhirat, hidup yang selalu diisi dengan amal-amal saleh, dan mati dalam kebaikan terhindar dari berbagai macam kejahatan.
Oleh karena itu hemat penulis, doa tersebut “sapu jagat banget”. Yang oleh karenanya, semestinya, banyak dibaca oleh setiap Muslim, minimal satu kali dalam sehari. Syukur bila selalu dibaca setiap ba’da shalat fardhu. Jangan sampai dilewatkan. Sama seperti do’a dalam surat Al Baqarah ayat 201 di atas.
Berkaitan dengan doa sapujagat tersebut, renungkanlah sabda Rasulullah saw dalam hadits riwayat Ahmad sbb :
قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم : "النَّاسُ اَرْبَعَةٌ؛ مُوْسِءٌ عَلَيْهِ فِيْ الدّنْيَا وَالأخِرَة, وَمُوْسِءٌ لَهُ فِيْ الدُّنْيَا وَمّقْصُوْرٌ عَلَيْهِ فِيْ الأخِرَة, وَمَقْصٌوْرٌ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا مُوْسِءٌ عَلَيْهِ فِيْ الأخِرَةِ, وَشَقِيٌ فِيْ الدُّنْيَا وَالأخِرَةِ.
“ Nabi SAW bersabda: “Manusia itu ada empat macam; (pertama) manusia yang bahagia di dunia, bahagia juga di akhirat, (kedua) manusia yang bahagia di dunia, namun sengsara di akhirat, (ketiga) manusia yang sengsara di dunia, namun bahagia di akhirat, dan (keempat) manusia yang sengsara di dunia dan sengsara di akhirat”, -yakni tidak beragama dan tidak berharta, kata Imam Ahmad”. (Lihat juga kitab; Darus asy-Syaikh Muhammad Munjid).
Kalau kita lihat fenomena di masyarakat, kiranya tepat sekali apa yang dijelaskan oleh hadits di atas.
Pertama; golongan orang yang bahagia di dunia dan bahagia di akhirat, sukses dunia sukses akhirat, plus dunia plus akhirat, hasanah dunia hasanah akhirat, Inilah yang selalu dimohonkan dalam doa sapu jagat. Orang yang sukses meraih dunia, dilimpahi harta yang cukup (bahkan berlimpah), ilmu yang bermanfaat, jabatan dan kehormatan yang tinggi, di segani masyarakat, keluarga dan anak cucu yang shalih, rumah tangga yang sakinah.
Seiring dengan itu, semua kesuksesannya di dunia, dia jadikan sebagai sarana untuk meraih sukses dan hasanah di akhirat, yang abadi. Tidak hanya rajin dengan ibadah-ibadah individual, seperti shalat tahajud, puasa sunnah, aktif sebagai jamaah masjid, tetapi juga, rajin melaksanakan ibadah-ibadah sosial, guna kepentingan masyarakat dan kaum dhu’afa. Di samping mengamalkan kesalehan individual, tidak lupa mengamalkan kesalehan sosial.
Orang tersebut telah dapat mengamalkan firman Allah SWT dalam surat Al Qhashash, 28:77 berikut:
وَابْتَغِ فِيْمَا اَتَاكَ الله الدَّارَالْاَخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَا اَحْسَنَ اللهُ اِلَيْكَ وَلاَ تَبْغِ الْفَسَادَ في الاَرْضِ اِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِيْن
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Kedua; golongan orang yang bahagia di dunia, namun sengsara di akhirat, sukses di dunia gagal di akhirat, plus dunia minus akhirat.
Tidak sedikit orang yang bisa dikategorikan kepada kelompok ini. Orang yang “wah” di dunia. Harta berlimpah ruah, ilmu yang mumpuni, jabatan yang tinggi. Isteri/suami bak bintang film, keluarga yang mentereng, ke manapun pergi dielu-elukan orang bagai selebriti. Namun abai dengan urusan agama dan persiapan menghadapi hari esok. Melaksanakan shalat, paling shalat idul fithri dan atau idul adha, amat jarang atau bahkan tidak pernah masuk masjid, paling sewaktu-waktu masuk halaman masjid karena kebelet buang air kecil.
Suara adzan dianggap mengganggu privasinya. Dan ketika dia acuh dengan agama, bisnisnya semakin moncer, sehingga dia semakin takabbur, karena “toh tidak shalat rezeki semakin berlipat”. Inilah tipe orang yang “terlalu berani mengabaikan nasibnya yang abadi di dunia, dengan kesenangan sementara di akhirat”.
Dalam Al Qur’an Surat Al An’am, 6:44 Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ُذكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيهِم اَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى اِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإذَاهُمْ مُبْلِسُوْنَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”.
Inilah orang yang menurut istilah di masyarakat “dilulu’ “, istilah agamanya istidraj. Semakin durhaka semakin kaya.
Ketiga; golongan orang yang sengsara di dunia, bahagia di akhirat. Orang yang secara material tidak kaya, bahkan sering kali hidup seadanya. Tidak ada yang bisa dibanggakan, ilmu tidak punya, pangkat apalagi, tempat tinggal sederhana, orangpun sering kali memandangnya sebelah mata.
Namun dalam kondisi yang demikian, dia selalu berusaha untuk menjadi Muslim yang baik. Ibadah yang wajib dan sunah tidak pernah dia tinggalkan. Dia berusaha selalu tampil dengan akhlak yang terpuji. Anak-anaknya dididik dengan agama yang baik. Kemiskinannya menjadikan dia semakin dekat dengan Tuhan. Sehingga biar kata orang “dia miskin”, tetapi dia merasa cukup dan masih bisa bersyukur ke hadirat Allah SWT. Dia telah dapat merasakan apa yang dijanjikan Allah SWT dalam surat At Thalaq, 65:2-3 berikut:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبْ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Keempat; golongan orang yang sengsara di dunia sengsara di akhirat, minus dunia minus akherat, blangsak di dunia blangsak di akhirat. Inilah orang yang paling sial, judulnya “kasian amat”. Kita sering mendapati orang model begini, tuna segalanya di dunia,namun tetap saja bergelimang dan bangga dengan maksiat yang dilakukan. Sama sekali buta hatinya untuk mendengar panggilan agama. Persis dengan apa yang dikatakan oleh sahabat Ali bin Abi Thali kr;
كَادَ الْفَقْرُ اَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا.
“ Seringkali kefakiran menjadikan kekafiran”
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait