CILACAP, iNewsPurwokerto.id - Siang itu matahari sedikit malu menampakkan cahayanya, gumpalan awan sesekali menghalangi sinarnya. Maklum saja, musim penghujan telah tiba, memberi sedikit dahaga pada tanah-tanah kering tadah hujan.
Musim tanam kali ini merupakan harapan bagi para petani yang menggantungkan hidupnya pada air hujan. Panel-panel surya yang membantu petani setahun terakhir sedikit beristirahat dari aktivitasnya, meski petani masih tetap membutuhkannya.
Dengan sebilah cangkul, Priyatno (47) warga Rt4/6 Desa Kalijaran, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap tekun mengolah tanah yang teraliri air dari pompa air yang memanfaatkan Solar Home System (SHS) atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) agar dapat mengalir merata di sawahnya. SHS merupakan salah satu pembangkit listrik tenaga surya yang berdiri sendiri dan dapat diaplikasikan untuk memenuhi kebutuhan listrik.
Petani memanfaatkan air dari pembangkit listrik tenaga surya di Cilacap. Foto: Arbi Anugrah/ iNewsPurwokerto.id
SHS juga sudah membantunya dalam kesulitan air saat kemarau melanda. Setidaknya, Priyatno tak lagi harus mengeluarkan uang ratusan ribu untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) guna menghidupkan pompa diesel yang menyedot air dari sungai pembuangan berjarak 180 meter ke sawahnya. Waktunya pun tak terbuang sia-sia untuk mengurusi selang-selang pompa dari sungai ke sawahnya.
Kini, dengan adanya teknologi pemanfaatan tenaga surya, uang pembelian BBM bisa ia gunakan untuk keperluan lain, di antaranya dialihkan guna mendukung biaya kuliah anaknya yang masih mengenyam pendidikan di Bandung. Sedangkan waktu yang digunakan untuk mengurus selang, bisa ia manfaatkan untuk langsung menggarap sawah.
PLTS yang menghidupkan pompa air tanah untuk sawahnya sudah sangat membantunya setahun belakangan ini, hingga ia mampu menyisihkan setidaknya Rp500 ribu dari biaya produksi.
"Kalau secara ekonomi saya hemat rupiah dan bisa dialokasikan ke yang lain. Lalu dengan adanya PLTS saya tidak kehilangan waktu. Dalam satu jam itu bisa digunakan untuk aktivitas yang lain, seperti tadi saya butuh air, begitu ada air saya tinggal membalikkan tanah ini untuk tanaman sayur saya," kata Priyatno saat berbincang dengan INewsPurwokerto.id beberapa waktu lalu.
Selama ini, bapak satu anak ini memang menggantungkan hidupnya dari air hujan. Ketika musim kemarau tiba, ia pun berkiblat pada air sungai yang sewaktu-waktu debitnya akan habis atau berubah menjadi asin.
"Kalau musim kemarau, air di sungai juga sudah tidak ada, kalau pun ada asin, sehingga tidak bisa digunakan," jelas Prayitno yang merupakan Ketua Gapoktan Margo sugih Maos.
Petani di Cilacap mencangkul sawah dengan pengairan yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga surya. Foto: Arbi Anugrah/ iNewsPurwokerto.id
Lahan persawahan seluas 2.000 meter persegi milik Prayitno ini terpilih oleh Pertamina dalam program Pertamina Foundation untuk memanfaatkan Solar Home System rancangan Tim Politeknik Negeri Cilacap (PNC). Dari hasil rancangan itu, minimal butuh waktu untuk dapat menggerakkan pompa air tanah selama 5 jam, untuk luasan 2.000 meter persegi.
"Taruhlah sekarang (BBM) Rp14 ribu kali 5 sudah Rp70 ribu, itu hanya untuk satu kali pengairan, dan itu hanya untuk membalik tanah dengan di bajak. Sedangkan sampai panen, petani biasa menggunakan hingga 8 kali pengairan," ucapnya.
Dia berhitung, untuk lahan padi yang menggunakan pompa listrik bertenaga surya ini sekitar 2.000 meter persegi. Jika panen, dirinya bisa mendapatkan sekitar 12 kwintal padi kering giling. Dengan menggunakan bensin, dirinya akan kehilangan sekitar 1 kwintal padi, yang digunakan untuk operasional.
"Taruh saja kita 1 ton sudah bersih dengan biaya pupuk, bajak. 1 ton padi itu kering panen dan kalau kering giling sekitar 8 kwintal. Kalau dijual harganya sekitar Rp4,4 juta, itu dulu kecil banget setelah dipotong bensin dan lain-lain. Sekarang full (tidak ada potongan beli bensin), apalagi saya sekarang tidak jual padi, tapi jual beras, jadi lebih untung," ujarnya.
Ia pun kini dapat berbangga, di kala musim kemarau tiba, lahan persawahannya masih bisa digarap untuk menanam padi dan sebagian untuk palawija atau holtikultura. Dari sebelumnya hanya dua kali panen, kini ia bisa panen hingga tiga kali.
"Jadi pas musim kemarau biasanya tidak ditanami, tapi sekarang saya masih bisa menanam cabai, kangkung, sawi dan terong. Saya juga bisa memanfaatkan waktu (kemarau) itu, di saat yang lain nganggur, saya masih bisa beroperasi dan mendapatkan rupiah yang lumayan, dua bulan sekitar Rp2 juta," ungkapnya.
Bukan hanya dirinya, sekitar 7-10 petani yang lahannya berada di area dekat PLTS ini juga dapat memanfaatkan air ini secara bergiliran. Dia berharap, pompa air berbasis SHS ini dapat ditambah agar dapat menjangkau lebih jauh lahan tadah hujan yang selama ini mengandalkan pompa diesel berbahan bakar minyak.
"7-10 petani masih bisa memanfaatkan secara bergiliran karena kapasitasnya terbatas. Tapi untuk pengolahan tanah tetap harus dibantu dengan pompa air (Pompa Diesel), tapi pas lagi musim penyiangan, musim perawatan tanah dan musim pemupukan itu bisa menggunakan ini, jadi mereka bisa merasakan lebih hemat. Sebenarnya kami masih butuh sekitar 4 alat lagi untuk mengairi area sawah tadah hujan," ujarnya.
Petani Cilacap menunjukkan panen padi hasil bantuan pembangkit listrik tenaga surya. Foto: Arbi Anugrah/ iNewsPurwokerto.id
Dosen Politeknik Negeri Cilacap, Afrizal Abdi Musyafiq menilai keberadaan energi baru terbarukan (EBT) dengan memanfaatkan Solar Home System sangat membantu petani yang wilayahnya merupakan sawah tadah hujan. Di mana setiap musim kemarau tiba, para petani tidak dapat menggarap lahan tersebut, sehingga sepi dari aktivitas bertani.
Afrizal yang juga Ketua Tim Program Pertamina Foundation Sains ini mengungkapkan, pompa listrik tenaga surya ini menjadi solusi para petani di tengah tingginya harga BBM yang secara ekonomi setara dengan harga beras premium. Selain ramah lingkungan, sistem ini juga memiliki dampak yang sangat luas bagi petani dan hasil panen yang dijual guna kebutuhan masyarakat Indonesia.
"Air bagi petani adalah jodoh untuk melanjutkan pekerjaan, jadi akan bagus sekali ketika petani menemukan jodohnya di saat kemarau. Padahal kita di negeri yang cerita air saja susah itu tidak mungkin. Akhirnya SHS ini masuk ke ranah permasalahan air yang ada di bawah tanah, kita tinggal mengangkatnya dan itu butuh energi. Dan energi yang saat ini bisa terjangkau ya hanya panel surya saja. Karena secara keilmuan kami dari berbagai riset perhitungan antara kelayakan teknik dan kelayakan ekonominya itu masuk," ucapnya.
Dia mengungkapkan, secara umum cara kerja panel surya selalu sama pada umumnya, maka bukan inovasi dari teknologi yang diangkat, tapi inovasi sosial, mengenalkan teknologi kekinian yang sedang populer di berbagai belahan dunia untuk mengurangi dampak lingkungan dan diterapkan pada sistem pertanian di Indonesia. Di mana sistem ini masuk ke petani di desa-desa untuk mengggunakan teknologi yang dapat meringankan pekerjaannya.
Petani di Cilacap bertani dengan bantuan pembangkit listrik tenaga surya. Foto: Arbi Anugrah
"Impact yang didapat bisa mengurangi biaya operasional untuk pengairan. Perhitungan saya bisa sampai 50 persen. Jadi setiap luas 2.100 meter persegi itu dalam satu tahun yang berarti dua kali musim tanam, itu mencapai 3 jutaan, itu harga BBM sebelum naik, kalau sekarang mungkin diatas itu. Dengan sistem kami dan budget biaya yang kami ajukan itu hanya butuh 4 tahun 8 bulan, itu sudah balik modal istilahnya," jelasnya.
Dengan tiga lembar panel surya akan menghasilkan daya sekitar 330 watt yang masuk ke inverter sebesar 1.500 watt serta menyimpan ke dalam dua baterai yang dapat bertahan 7-8 tahun. Dalam baterai tersebut nantinya bisa digunakan untuk memompa air maksimal hingga 8-10 jam atau sekitar 20 meter kubik air tanah yang akan dihasilkan untuk mengairi sawah.
"Sedangkan petani, penggunaannya tergantung kebutuhan saja, yang penting sawah tidak kering," ujarnya.
Dalam pengembangan program ini, lanjut dia, tim yang terdiri dari lima dosen teknik di Politeknik Negeri Cilacap selalu mendapatkan pendampingan dari Pertamina. Bahkan, program pengembangan sistem pertanian yang berfokus dari hulu ke hilir ini berlanjut hingga tahun depan.
"Alhamdulillah tim kami lolos hingga ke tahap saat ini. Program juga di lanjutkan lagi sampai tahun berikutnya, karena sesuai dengan visi misinya Pertamina program kami berkelanjutan,"
"Kita tidak hanya diajarkan memberikan umpan terus pergi. Jadi tetap ada pendampingan ke sosial masyarakatnya. Dampak perekonomian desa ini sangat diperhatikan Pertamina, terutama pemberdayaan masyarakat dalam jumlah banyak," ucapnya.
Pembangkit listrik tenaga surya membantu petani lebih hemat. Foto: Arbi Anugrah/ iNewsPurwokerto.id
Area Manager Communication, Relations & CSR PT KPI RU IV Cilacap, Cecep Supriyatna mengatakan bukan hanya di Cilacap, banyak daerah lain yang memiliki sawah tadah hujan. Sehingga sangat penting, penerapan teknologi ini di tempat lain untuk membantu petani disaat musim kemarau.
"Mungkin di tempat lain ada sawah tadah hujan yang sebetulnya sumber air di bawah tanah itu ada. Kalau sawah tadah hujan itu sebetulnya memerlukan air saat datang hujan, sehingga saat kemarau tidak bisa ditanami . Harapannya ini bisa diterapkan di tempat lain siapapun itu, baik perorangan maupun perusahaan," pungkasnya.
Editor : Alfiatin
Artikel Terkait