TENTARA Jepang dalam Perang Dunia 2 terkenal kejam dan tega melakukan apa saja, termasuk praktik kanibalisme. Selain itu kekerasan yang dilakukan seperti perbudakan seks di negara jajahan, termasuk Indonesia.
Para perempuan diambil secara paksa dari keluarga mereka untuk dijadikan penghibur tentara. Melansir artikel karya Terry McCarthy di The Independent yang dimuat pada 12 Agustus 1992, tentara Jepang melakukan praktik kanibalisme kepada pasukan musuh. Bahkan, ada warga sipil yang menjadi sasaran.
George HW Bush Lolos dari Korban Kanibalisme
Praktik kanibalisme terkadang dilakukan bukan karena kekurangan makanan. Namun, tentara Jepang ingin memperkuat atau memperteguh kekuatan mereka. Meskipun dalam beberapa kasus tentara Jepang memang sangat kelaparan. Kisah yang cukup terkenal adalah peristiwa Chichi Jima pada 1944. Chichi Jima merupakan sebuah pulau yang dijadikan pusat stasiun radio jarak jauh Jepang. Tak heran bila pulau ini terus menjadi sasaran empuk serangan bagi tentara Amerika Serikat (AS).
Pada 2 September 1944, tentara Jepang menembak jatuh pesawat militer Amerika Serikat (AS) di wilayah udara Chichi Jima. Pesawat pun melakukan pendaratan keras. Delapan dari sembilan pilot ditangkap, dibunuh, dan sebagian dari mereka dimakan jasadnya. Para prajurit yang memakan daging tentara AS tidak kelaparan, namun menjalankan perintah seorang jenderal, Yoshio Tachibana, sebagai bentuk balas dendam karena kehilangan prajuritnya di tangan sekutu.
Satu-satunya orang yang berhasil lolos dari insiden kejam itu adalah George HW Bush yang kemudian meniadi presiden AS ke-41 yang juga ayah dari George W Bush, presiden AS ke-43. Kala itu Bush masih bertugas sebagai pilot dan membawa pesawat Avenger milik Angkatan Laut AS. Dia memilih meninggalkan pesawat terlebih dulu sehingga lolos dari penangkapan. Pria berpangkat letnan itu kemudian diselamatkan oleh kapal selam AS setelah beberapa jam terombang ambing di laut.
Saat ditemukan, Bush dalam keadaan memprihatinkan dengan tubuh berdarah. Laporan Kejahatan Perang Australia Beberapa laporan dan kesaksian tertulis dikumpulkan untuk merekam kejahatan perang ini, termasuk oleh Seksi Kejahatan Perang Australia yang mendapatkannya dari pengadilan Tokyo.
Kasus yang diselidiki jaksa William Webb menunjukkan, personel Jepang melakukan tindakan kanibalisme terhadap tawanan perang tentara sekutu di banyak bagian Asia dan Pasifik.
Dalam banyak kasus, praktik kanibalisme terjadi akibat gencarnya serangan sekutu terhadap jalur pasokan Jepang. Ini menyebabkan tersendatnya pasokan logistik bagi tentara di Pasifik sehingga menyebabkan banyak personel yang sakit akibat kelaparan.
Seorang sejarawan Yuki Tanaka mengatakan, kanibalisme sering kali merupakan aktivitas sistematis yang dilakukan seluruh regu yang berada di bawah komando perwira. Ini sering kali disertai pembunuhan untuk tujuan mengamankan mayat.
Setelah perang, banyak tentara Jepang mengklaim mereka hanya memakan daging manusia karena kelaparan. Namun dalam banyak kasus, ada motif berbeda.
Praktik Mahasiswa Kedokteran
Pada 1945, seorang mahasiswa kedokteran tahun pertama, Toshio Tono, berdiri di aula Universitas Kekaisaran Kyushu. Dia menyaksikan dua tahanan tentara AS yang ditutup matanya dibawa ke laboratorium patologi. “Saya bertanya-tanya apakah sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi pada mereka, tapi saya tidak tahu itu akan menjadi seburuk itu,” kata Tono, kepada surat kabar Inggris, The Guardian, pada 2015.
Kedua pria yang ditutup mata tersebut merupakan kru pesawat pengebom B-29. Mereka dalam kondisi terluka setelah ditangkap. Mereka dituntun sebagai modal keyakinan akan mendapat perawatan atas luka-luka tersebut. Namun apa yang disaksikan Tono merupakan pemadangan mengerikan. Dua tentara itu dijadikan praktik kedokteran dengan disuntikkan air laut.
Tujuannya untuk mengetahui apakah air laut bisa menjadi larutan garam untuk sterilisasi. Satu tahanan lain bahkan diperlakukan lebih kejam lagi di mana ada bagian organnya yang diambil. “Eksperimen ini sama sekali tidak memiliki manfaat medis. Mereka dimanfaatkan untuk dibunuh sekejam mungkin," ujarnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta