MUKATAMAR Nahdlatul Ulama (NU) hari ini digelar di Lampung. Soal muktamar ada cerita menarik saat muktamar di Pondok Pesantren Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, pada November 1989.
Muktamar mengantarkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kembali ke tampuk pimpinan tertinggi organisasi Islam terbesar di Indonesia. Gus Dur terpilih sebagai
Ketua Umum PBNU periode 1989-1994. Baca juga: Presiden Jokowi-KH Maruf Amin Buka Muktamar ke 34 NU Besok Ada cerita menarik mengapa Muktamar Nahdlatul Ulama ke-28 saat itu digelar di Krapyak.
Semula, Kiai As’ad Syamsul Arifin berkeinginan Muktamar NU digelar di pesantrennya di Situbondo, Jawa Timur seperti sebelumnya tahun 1984. Namun Gus Dur dan Kiai Achmad Siddiq menolak keinginan Kiai As'Ad.
“Keduanya justeru melobi Krapyak, dan pesantren guru Gus Dur, Kiai Ali Ma’sum, akan menjadi tempat muktamar,” ujar Greg Barton dalam ‘Biografi Gus Dur’, dikutip Rabu (22/12/2021).
Menurut Greg, Kiai Ali Ma’sum dan Kiai As’ad Situbondo sesungguhnya sama-sama ulama khos (khusus) yang sangat dihormati sebagai anggota pendiri Nahdlatul Ulama. Namun tidak disangsikan lagi, Kiai Ali Ma’sum dipandang lebih tinggi karena pengetahuan, juga otoritasnya yang karismatik sebagai guru agama.
Kiai Ma’sum juga saat itu sedang sakit-sakitan sehingga penyelenggaraaan muktamar di Krapyak dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap pendiri Nahdlatul Ulama yang masih hidup.
“Muktamar kali ini lebih memfokuskan untuk mengevaluasi pengaruh keputusan Situbondo, terutama mengenai kembalinya NU ke khitah 1926 dan kinerja PBNU yang dipilih pada 1984,” kata ahli antropologi Belanda yang telah lama menjadi pengamat Nahdlatul Ulama, Martin van Bruinessen.
Bruinessen yang turut hadir dalam Muktamar Nahdlatul Ulama tahun 1989 itu menuliskan pandangannya dalam ‘Traditionalist Muslims in A Modernizing World: The Nahdlatul Ulama and Indonesia’s New Order Politics, factional Conflict and The Search for A New Discourse’. Karya ini diterjemahkan Farid Wadjidi dalam buku “Nahdlatul Ulama: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru’.
Menemui Syekh Minangkabau di Saudi
Sebelum Muktamar NU 1989 dihelat, Gus Dur lebih sering mengunjungi pesantren-pesantren. Bahkan, kata Greg, beberapa bulan ketika Gus Dur baru saja terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, cucu Hadaratussyaikh Hasyim Asyari ini telah membiasakan untuk teratur berkunjung ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta cabang-cabang Nahdlatul Ulama di Sumatera Selatan hingga Bali.
Hari-hari terakhir jelang berlangsungnya muktamar, Gus Dur diam-diam pergi ke Makkah, Arab Saudi. Menurut pengamatan Bruinessen, seperti dikabarkan oleh media massa, Gus Dur menyempatkan untuk sowan (berkunjung) ke ulama besar kelahiran Sumatera Barat, yaitu Syekh Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani atau akrab disebut Syekh Minangkabau.
Greg menjelaskan, ketika Gus Dur berbicara di arena muktamar, dia tidak menyinggung kunjungannya itu. Dia juga tak merasa perlu memperkuat kesan bahwa Syekh Yasin telah merestuinya untuk jabatan kedua. Terlebih, media massa juga telah ramai memberitakan kunjungannya ke Saudi itu.
Dibuka Soeharto
Kendati menjelang November itu hubungan Gus Dur dan Presiden Soeharto kembali renggang, tetapi penguasa Cendana agaknya masih membutuhkan dukungan Nahdlatul Ulama. Hal itu dibuktikan dengan kehadiran Soeharto untuk membuka Muktamar NU di Yogyakarta. Soeharto tidak sendiri. Menurut Greg, turut hadir Mendagri Rudini, Sesneg Moerdiono, Menhan Benny Moerdan, dan Panglima ABRI Try Soetrisno.
Semuanya menyampaikan pidato panjang. Buku ‘Jejak Langkah Pak Harto 21 Maret 1988 -11 Maret 1993’ menyebutkan, Seoharto dalam pidatonya menekankan penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu dilandasi dan diimbangi dengan moral dan idealisme yang luhur. Seperti segi-segi keagamaan dan kepercayaan, etik dan budaya, segi-segi kemanusiaan, solidaritas sosial, dan segi-segi lainnya.
Pidato Try Soetrisno juga menyita perhatian. Sebagai seorang muslim santri, jenderal dari Korps Zeni itu tidak mengecewakan karena pidatonya ditaburi ungkapan-ungkapan Arab dan kutipan ayat-ayat Alquran dan hadits. “Ketika Try selesai pidato, hadirin spontan melantunkan Salawat Badar,” kata Greg.
Muktamar berlangsung panas. Gus Dur dan Kiai Siddiq menghadapi saingan ketat dari lawan-lawannya yang dimotori Kiai Asád, Idham Chalid, dan Yusuf Hasyim. Nama terakhir tak lain adalah paman Gus Dur.
Dalam persaingan untuk posisi Rais Aam, Kiai Siddiq mengalahkan Idham Chalid dengan 118 suara melawan 116 suara. Kiai Siddiq unggul tipis hanya dengan berselisih 2 suara. Adapun saingan utama Gus Dur yakni Yusuf Hasyim.
Tapi apa mau dikata, Yusuf Hasyim gagal mendapatkan 40 suara cabang yang dipersyaratkan sehingga gagal dalam persaingan babak kedua. Alhasil, Gus Dur mulus terpilih sebagai Ketua Umum PBNU (tanfidziah) secara aklamasi.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait