GUNUNG KIDUL, iNewsPurwokerto.id-Seorang penduduk dari Padukuhan Jati, Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semanu, Gunungkidul sedang menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonosari karena terinfeksi antraks. Warga yang sudah berusia lanjut tersebut dibawa ke RSUD Wonosari pada hari Senin (4/7/2023) yang lalu.
Kepala Dinas Kesehatan Gunungkidul, Dewi Irawati, mengatakan bahwa warga yang dibawa ke RSUD Wonosari merupakan bagian dari 87 orang yang dinyatakan positif terinfeksi antraks. Kondisi kesehatannya terus memburuk. Selain mengalami gejala pada kulit, ia juga mulai merasakan mual dan muntah.
Dewi menambahkan bahwa tidak semua dari 87 orang yang terinfeksi antraks tersebut menunjukkan gejala. Hanya sekitar 23 orang saja yang menunjukkan gejala tersebut. Meskipun demikian, Dewi tidak akan mengungkap identitas para penderita antraks tersebut, meskipun warga setempat menginginkannya.
Direktur Kesehatan Hewan, drh Nuryani Zainuddin, mengungkapkan adanya tradisi brandu atau purak. Tradisi ini menjadi salah satu faktor peningkatan risiko kasus penyakit antraks di Gunung Kidul, Yogyakarta.
Seperti yang diketahui, tradisi brandu atau purak sering dilakukan ketika ada sapi yang mati. Warga kemudian bergotong-royong membantu pemilik sapi dengan cara membeli daging hewan yang sudah mati tersebut, sebagai tanda kepedulian warga terhadap pemilik sapi.
"Nah, tradisi di Gunung Kidul ini sebenarnya adalah mengkonsumsi dan membagi daging hewan yang sudah mati. Jadi, jika hewan sudah terlihat sakit, mereka akan menyembelihnya dan membagikannya secara gratis kepada tetangga-tetangganya. Itulah yang disebut sebagai brandu atau purak," ujar Nuryani dalam konferensi pers Kementerian Kesehatan secara daring pada hari Kamis, (6/7/2023).
"Hal ini menjadi faktor utama yang meningkatkan risiko terjadinya kasus antraks," tambahnya.
Meskipun demikian, Nuryani berpendapat bahwa antraks memang merupakan salah satu penyakit yang tidak dapat dihilangkan begitu saja, namun dapat dikendalikan dengan beberapa langkah pencegahan, salah satunya melalui vaksinasi.
"Menurut kami, dari Dinas Kesehatan Hewan, kunci dalam pengendalian antraks di daerah adalah melihat data dari tahun 2020-2023 yang menunjukkan kejadian hanya terjadi di wilayah tertentu. Kami telah melakukan intervensi melalui beberapa upaya pengendalian," ujarnya.
"Secara umum, yang ingin saya sampaikan adalah bahwa antraks tidak dapat dilenyapkan, tetapi hanya dapat dikendalikan. Pengendalian dilakukan melalui program vaksinasi yang telah berjalan selama puluhan tahun, serta pengawasan terhadap pergerakan hewan," lanjutnya.
Namun, ia mengungkapkan bahwa peningkatan kasus antraks di suatu daerah sering terjadi karena kurangnya keterbukaan masyarakat terhadap pemerintah setempat. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kekhawatiran dan ketakutan masyarakat.
"Kontrol pergerakan hewan ini biasanya sulit dilakukan ketika terjadi kematian hewan di suatu daerah dan masyarakat enggan melaporkannya. Mereka khawatir akan menimbulkan kepanikan dan menyebabkan perpindahan ke daerah lain. Oleh karena itu, ketika ada kejadian endemik antraks di suatu daerah, penting untuk mengendalikan pergerakan hewan," ungkapnya.
Sebagai informasi tambahan, sebelumnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan bahwa tiga orang di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), meninggal dunia akibat antraks yang menular melalui hewan ternak.
Kemenkes saat ini sedang melakukan penyelidikan epidemiologi kasus tersebut di dua Kecamatan, yaitu Semanu dan Karangmojo, untuk menentukan sebaran dan penyebab penularan antraks secara pasti.
Hingga saat ini, terdapat 93 pasien yang dinyatakan positif terinfeksi antraks berdasarkan hasil tes serologi. Hasil pemeriksaan genom sekuensing pada semua kasus kematian menunjukkan hasil positif antraks.
Editor : EldeJoyosemito