JAKARTA, iNews.id - Kerajaan Majapahit pada masa kepemimpinan Prabu Brawijaya V alias Prabu Kertabhumi memang tak sedahsyat dengan kepemimpinan leluhurnya Prabu Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada (tahun 1350-1389 M). Dimana leluhurnya tersebut mengalami masa keemasan hingga Kerajaan Majapahit mampu mempersatukan Nusantara dan kawasan Asia Tenggara.
Bahkan, pada masa itu terdapat pujangga besar, yaitu Empu Prapanca dan Empu Tantular yang melahirkan karya besar kitab Negarakertagama dan kitab Arjunawijaya Sutasoma.
Itulah sebabnya, Prabu Brawijaya V yang mewarisi Kerajaan Majapahit dari Kanjeng Ramanya Dyah Wijaya Kumara alias Prabu Brawijaya IV dan segenap perjuangan para leluhur, terutama Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, sehingga ia berusaha menjaga keutuhan Majapahit dengan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Meski tak sebesar dengan kekuasaan Majapahit di zaman keemasan yaitu pada masa kepemimpinan Prabu Hayam Wuruk-Patih Gajah Mada, namun kekuasaan Prabu Brawijaya V saat itu cukup luas karena meliputi se-Nusantara yang dapat dipetakan Jawa dan luar Jawa. Memang, kerajaan di luar Jawa tak sebesar dengan yang berada di Jawa, sedang kerajaan di tanah Jawa yang tunduk kepada Majapahit, antara lain Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Pajang, Kerajaan Singasari, Kerajaan Mataram, Kerajaan Wirabumi dan lain sebagainya.
Sebelum menentukan keyakinan nya, Prabu Brawijaya V berkecamuk dalam pikiran antara tetap menganut agama lama Budha dengan memeluk agama Islam sehingga ia akan mendapatkan istri cantik jelita, Dewi Sari, yang akan dijadikan sebagai permaisurinya.
Sebagai orang yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, tentu Syaikh Maulana Malik Ibrahim dan Raja Cermain mengetahui kalau keadaan Prabu Brawijaya V hanya setengah hati menerima kehadiran agama Islam. Meskipun Raja Majapahit menanggapi penjelasan mengenai kedudukan agama Islam, tetapi rupanya masih tersimpan suatu dilematis besar dalam diri Prabu Brawijaya V.
Dalam benak Prabu Brawijaya V, betapa bertele-telenya menjadi seorang muslim yang harus menjalankan ibadah sholat lima waktu dalam sehari-semalam.
Lebih dari itu, ia pun dituntut untuk menjalani puasa di Bulan Ramadhan yakni menahan tidak makan-minum dan berhubungan intim dengan istrinya pada siang hari. Kalau mengeluarkan zakat, tentu tidak keberatan bagi Sang Prabu, lantaran Sang Prabu memang suka bersedekah kepada rakyat jelata. Tapi yang susah lagi yaitu menunaikan ibadah haji sampai ke Makkah-Arab Saudi, betapa jauhnya dan betapa merepotkannya.
Meskipun jungkir-balik (menjalankan sholat) seribu kali dalam sehari, tapi kalau hatinya tidak tulus dan bersih, bagaimana mungkin orang Islam dapat berhubungan dengan Sang Pencipta?" bisik Prabu Brawijaya V kepada dirinya sendiri seperti yang dikutip dari buku Brawijaya Moksa Detik-Detik Akhir Perjalanan Hidup Prabu Majapahit.
Tapi, begitu Sang Prabu teringat senyum manis dari bibir tipis pemiliknya, Dewi Sari, tiba-tiba hatinya seperti terperangkap oleh ranjau-ranjau cinta.
"Apakah aku harus memeluk agama Islam demi mendapatkan perempuan cantik, Dewi Sari itu?" ujar Prabu Brawijaya V.
Api cintanya yang menggelora kepada Dewi Sari, lalu dibantah oleh bisikan hatinya sendiri
"Kertabhumi! Apakah engkau lupa bahwa Kanjeng Ramamu (Brawijaya IV), para leluhurmu serta Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit dulu adalah para penganut agama Budha? lalu mengapa engkau sempat tergiur di hatimu untuk memeluk Agama Islam? Untuk apa engkau hendak memeluk agama Islam dari manca negara (asing) yaitu dari Arab - Timur Tengah? Jika itu engkau tempuh, betapa salahnya pilihanmu itu," gumam Prabu Brawijaya V.
Lama-kelamaan, luntur pulalah tekad Prabu Brawijaya V hendak mempertahankan agama Budha sebagai simbol kebesaran dan kejayaan Kerajaan Majapahit dan memilih menjadi mualaf serta menjalankan syariat Islam.
"Persetan dengan keyakinanku! Yang penting bagaimana aku bisa mendapatkan Dewi Sari!" bisiknya lagi.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait