PUASA Ramadhan merupakan kewajiban muslim tiap tahunnya. Dilaksanakan dalam satu bulan penuh. Namun ada beberapa kondisi justru membuat seseorang tidak dapat memenuhi jumlah hari puasanya.
Untuk mengganti puasa Ramadhan tadi, biasa disebut dengan istilah qadha, yaitu mengganti atau membayar puasa karena udzur syar’i atau halangan yang dibenarkan syariat dan dilakukannya di luar waktu puasa Ramadhan.
Bagi kaum Muslimin yang memiliki utang puasa qadha, sebaiknya segera melaunasi. Ini mumpung masih ada waktu membayarnya dan untuk menghindari dosa tidak melaksanakan puasa wajib.
Qadha puasa atau membayar utang puasa Ramadhan ada aturannya. Siapa yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena sakit atau bersafar (menjadi musafir), maka wajib meng-qadha sesuai jumlah hari yang ia tidak berpuasa.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
"Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (QS Al Baqarah: 185)
Dikutip dari Rumaysho, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal MSc menjelaskan ada beberapa catatan tentang melaksanakan qadha puasa.
Pertama: Qadha puasa Ramadhan sebaiknya dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
"Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya." (QS Al Mu’minun: 61)
Kedua: Qadha puasa tidak boleh dibatalkan kecuali jika ada uzur yang dibolehkan sebagaimana halnya puasa Ramadhan.
Ketiga: Tidak wajib membayar qadha puasa secara berturut-turut, boleh saja secara terpisah, karena dalam ayat diperintahkan dengan perintah umum:
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
"Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (QS Al Baqarah: 185)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, "Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan." (Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad– dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya, 4:241,243, dengan sanad yang sahih)
Keempat: Qadha puasa tetap wajib berniat di malam hari (sebelum subuh) sebagaimana kewajiban dalam puasa Ramadhan. Puasa wajib harus ada niat di malam hari sebelum subuh, berbeda dengan puasa sunah yang boleh berniat di pagi hari.
Dari Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
"Barang siapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya." (HR Abu Daud Nomor 2454; Tirmidzi 730; An-Nasai 2333; dan Ibnu Majah 1700. Para ulama berselisih apakah hadits ini marfu’—sampai pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam—ataukah mauquf— hanya sampai pada sahabat. Yang menyatakan hadis ini marfu’ adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, An-Nawawi. Sedangkan yang menyatakan hadis ini mauqufadalah Al-Imam Al-Bukhari dan itu yang lebih sahih. Lihat Al-Minhah Al-‘Allam fii Syarh Al-Bulugh Al-Maram, 5:18-20)
Adapun puasa sunah (seperti puasa Syawal) boleh berniat dari pagi hari hingga waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ
"Imam Nawawi membawakan judul bab untuk hadits di atas 'Bolehnya berniat di siang hari sebelum zawal untuk puasa sunah. Boleh pula membatalkan puasa sunnah tanpa ada uzur. Namun yang lebih baik adalah menyempurnakannya."
Imam Nawawi juga berkata, "Menurut jumhur (mayoritas) ulama, puasa sunah boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal." (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 32–33)
Kelima: Ketika ada yang melakukan qadha’ puasa lalu berhubungan intim di siang harinya, maka tidak ada kewajiban kafarah, yang ada hanyalah qadha’ disertai dengan tobat. Kafarah berat (yaitu memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu berarti berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu berarti memberi makan pada 60 orang miskin, red) hanya berlaku untuk puasa Ramadhan.
Wallahu a'lam bishawab.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait