BANYUMAS, iNewsPurwokerto.id - Mahasiswa Program Studi Sejarah Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) bersama Yayasan Lestari Banjoemas Raya (YLBR) dan Banjoemas History and Heritage Community (BHHC) menggelar Jelajah Kota Lama Banyumas (JKLB) 2025 pada Minggu, (19/1) lalu. Kegiatan ini bertujuan untuk menggali lebih dalam sejarah serta akulturasi budaya yang membentuk identitas Kota Lama Banyumas.
Sebanyak 24 mahasiswa semester pertama yang mengikuti mata kuliah Antropologi Budaya, didampingi dosen pengampu Sumiyatun Septianingsih, memulai perjalanan dari Kampus UMP pukul 06.00 WIB. Destinasi pertama mereka adalah Kelenteng Boen Tek Bio, satu-satunya kelenteng di Kota Lama Banyumas, yang menjadi titik awal eksplorasi sejarah. Kedatangan rombongan disambut oleh panitia JKLB, termasuk Ketua YLBR Jatmiko Wicaksono, Ketua BHHC Ko Grytje Gregory Gery, serta perwakilan dari Kelenteng Boen Tek Bio, Sobita.
Kegiatan ini bertujuan untuk menggali lebih dalam sejarah serta akulturasi budaya yang membentuk identitas Kota Lama Banyumas. Foto: UMP
Kolaborasi Pecinta Sejarah untuk Pelestarian Warisan Budaya Banyumas
YLBR dan BHHC merupakan komunitas yang aktif dalam pelestarian sejarah Banyumas Raya, termasuk kawasan Kota Lama yang mencakup wilayah Cilacap dan Purbalingga. Sejak didirikan pada 2023, YLBR telah menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, seperti akademisi, sejarawan, dan pecinta sejarah.
Sebelumnya, Prodi Sejarah UMP juga telah berkolaborasi dengan YLBR dalam kegiatan Edukasi Sejarah situs Banyumas bersama para guru sejarah SMA-MA MGMP Banyumas pada Desember 2024.
Sementara itu, BHHC yang berdiri sejak 2011, lahir dari keprihatinan terhadap hilangnya bangunan-bangunan bersejarah, terutama peninggalan kolonial yang terancam pembongkaran atau kurangnya perawatan. Kini, BHHC menjadi bagian dari YLBR dan terus mengampanyekan kesadaran akan pentingnya sejarah di tengah masyarakat.
Dalam Jelajah Kota Lama Banyumas 2025 juga menarik peserta dari berbagai daerah, seperti Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Cilacap, Purbalingga, Kebumen, dan Brebes. Selain itu, turut hadir pegiat sosial yang fokus pada sejarah dan budaya Tionghoa, serta praktisi bahasa Mandarin.
Menelusuri Jejak Budaya Batik, Arsitektur Kolonial, dan Tradisi Tionghoa
Sebagai kawasan yang mencerminkan pertemuan tiga budaya Eropa, Jawa, dan Tionghoa, Kota Lama Banyumas menyimpan jejak akulturasi yang terlihat dari bangunan kolonial Belanda, seni batik khas Banyumas, serta kuliner Tionghoa yang beradaptasi dengan cita rasa lokal.
Eksplorasi dimulai pukul 08.00 WIB dari Kelenteng Boen Tek Bio, kemudian berlanjut ke Jalan Pungkuran, pusat Kota Lama Banyumas. Sepanjang jalan, peserta menikmati pemandangan bangunan kolonial yang telah direvitalisasi, seperti Gedung Toko Buku 1001 yang kini menjadi Kedai Yammie dan Kopi 1001, serta toko kue legendaris yang menjual semprong dan pia.
Mereka juga mengunjungi rumah batik tua dan Toko Roti Mruyung sebelum singgah di Toko Batik Hadi Priyanto untuk mempelajari motif batik klasik, seperti Batik Ayam Puger.
"Banyumas Kota Lama pernah mengalami banjir besar akibat luapan Sungai Serayu pada akhir 1900-an. Peristiwa ini dikenal masyarakat dengan sebutan Bethik mangan manggar (ikan Bethik makan bunga kelapa). Pasca banjir, Banyumas sempat dianggap sebagai kota mati sebelum akhirnya aktivitas kota beralih ke Purwokerto," ungkap Jatmiko Wicaksono, saat sesi kolaborasi lapangan bersama para peserta JKLB.
Sekitar pukul 11.30 WIB, kegiatan jelajah sejarah ini ditutup dengan ramah tamah dan diskusi antara peserta dengan pengurus YLBR-BHHC di pendopo Kelenteng Boen Tek Bio.
Masa Depan Kota Lama Banyumas
Ketua BHHC, Ko Grytje Gregory Gery, menegaskan bahwa JKLB merupakan agenda tahunan yang dilaksanakan lebih dari tiga kali dalam setahun. "Tujuan utama kegiatan ini adalah menumbuhkan kesadaran sejarah dan kecintaan terhadap situs-situs bersejarah serta cagar budaya di Banyumas, khususnya peninggalan dari masa kolonial," ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh Prof. Sugeng Priyadi, Guru Besar Sejarah UMP yang turut mendukung revitalisasi Kota Lama Banyumas. Dalam wawancara terpisah, ia menekankan bahwa Kota Lama Banyumas tidak boleh hanya menjadi destinasi wisata sejarah, tetapi harus menjadi pusat edukasi jangka panjang.
"Edukasi ini akan berdampak besar dalam membangun kesadaran historis masyarakat, baik di Banyumas maupun di daerah lain,” ujar Prof. Sugeng. Ia juga mendorong agar pengembangan kawasan ini dilakukan secara serius dan berkelanjutan.
"Jika ingin dikembangkan lebih jauh, perluasan pembangunan hingga ke Sungai Serayu dapat menjadi opsi, tetapi harus memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dari Kota Lama lainnya di Indonesia," tambahnya.
Dukungan dari Pemerintah Kabupaten Banyumas dan pemerintah pusat juga diperlukan untuk mempercepat revitalisasi kawasan ini. Meski proses revitalisasi baru dimulai pada 2022-2023 dengan anggaran Rp15 miliar dari Kementerian PUPR, upaya lebih lanjut masih dibutuhkan untuk menjaga kelestarian warisan sejarah ini.
"Kesadaran kolektif adalah kunci. Ambagyo sesarengan (merawat bersama dengan sepenuh hati) harus menjadi gerakan nyata, melibatkan masyarakat, akademisi, sejarawan, arkeolog, pegiat budaya, serta pemerintah, baik dalam moril materiil maupun payung hukumnya," tutup Prof. Sugeng.
Sekitar pukul 13.00 WIB, Jelajah Kota Lama Banyumas 2025 berakhir. Kegiatan ini menjadi simbol komitmen bersama untuk terus melestarikan sejarah dan warisan budaya Banyumas bagi generasi mendatang.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait