Oleh : Ilham Alhamdi
DALAM beberapa pekan terakhir, isu penataan ruang parkir di Purwokerto, ibu kota Kabupaten Banyumas, menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan, mulai dari pengusaha kecil, pengemudi ojek online, hingga para pedagang kaki lima. Pemerintah Kabupaten Banyumas memang tengah menggencarkan penertiban dan penataan ulang titik-titik parkir, terutama di kawasan pusat kota seperti Jalan Jenderal Soedirman, GOR Satria, dan Pasar Wage. Tujuannya tak lain adalah untuk menciptakan ketertiban, mengurangi kemacetan, dan mendukung tata ruang kota yang lebih modern.
Namun, di balik kebijakan yang tampak ideal tersebut, muncul kekhawatiran dari sebagian warga. Banyak yang menggantungkan penghasilan harian mereka dari sektor informal yang berkaitan langsung dengan ruang parkir, seperti juru parkir, pedagang asongan, hingga pelaku usaha mikro di sekitar area yang ditata.
Pertanyaan krusial pun muncul: apakah penataan ini memperhatikan dimensi ekonomi masyarakat kecil? Dan bagaimana regulasi mampu menjadi solusi, bukan sekadar alat penertiban?
Perspektif Hukum: Antara Tata Ruang dan Hak Ekonomi
Penataan parkir sejatinya memiliki dasar hukum yang kuat. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) dalam Pasal 43 menyebutkan bahwa penyelenggaraan parkir harus memperhatikan aspek keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas. Sementara itu, pengelolaan ruang parkir juga merupakan bagian dari implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Namun, perlu diingat bahwa aspek sosial ekonomi masyarakat juga memiliki payung hukum yang tidak kalah penting. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mengamanatkan pemerintah daerah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku ekonomi mikro. Di sinilah kebijakan parkir harus berdiri di titik keseimbangan: menata tanpa menyingkirkan.
Parkir sebagai Nafas Ekonomi Lokal
Di Banyumas, khususnya di Purwokerto, parkir bukan sekadar ruang kendaraan berhenti. Ia telah menjelma menjadi "lahan ekonomi" bagi banyak orang. Seorang juru parkir yang bertugas di sekitar Pasar Manis mengaku bisa menghidupi keluarganya dari uang parkir harian, yang meski kecil namun stabil.
Di sisi lain, pedagang kecil menggantungkan keramaian pelanggan dari kemudahan akses parkir. Jika area parkir digusur atau dipindahkan ke lokasi yang tidak strategis, maka dampaknya bisa merembet pada turunnya omzet dagangan.
Hal ini menunjukkan bahwa parkir tidak bisa hanya dipandang dari kacamata lalu lintas semata. Ia adalah simpul ekonomi mikro yang jika dikelola dengan bijak, bisa menjadi pengungkit pengendalian ekonomi masyarakat lokal. Tapi jika ditata tanpa pendekatan sosial, justru bisa menjadi pemicu ketimpangan baru.
Solusi Solutif untuk Banyumas
Pemerintah Kabupaten Banyumas perlu mengembangkan pendekatan partisipatif dalam menata ruang parkir. Alih-alih sekadar mengatur dan menertibkan, Pemkab bisa melibatkan para pelaku ekonomi informal sebagai bagian dari sistem parkir yang tertata. Misalnya, dengan menerapkan model parkir berbasis koperasi juru parkir atau kemitraan antara pelaku UMKM dan pengelola parkir resmi. Hal ini sejalan dengan semangat pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang juga didorong oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Penerapan teknologi juga menjadi langkah maju, seperti parkir elektronik (e-parking) yang transparan dan menghindari kebocoran pendapatan daerah. Namun teknologi ini harus dibarengi dengan pelatihan bagi juru parkir lokal agar tidak tertinggal dan bisa tetap berperan dalam ekosistem baru.
Selain itu, perlunya ruang dialog publik antara pemerintah, pengusaha lokal, dan masyarakat sipil agar setiap kebijakan tidak semata top-down, tapi hasil kesepahaman bersama. Ini penting agar warga merasa dilibatkan, bukan sekadar diatur.
Penutup
Penataan ruang parkir di Purwokerto tidak boleh berdiri sendiri dari konteks sosial ekonomi masyarakat Banyumas. Kebijakan publik seharusnya hadir sebagai jembatan antara kebutuhan tata ruang kota dengan keberlangsungan hidup masyarakat kecil. Ruang parkir bukan sekadar tempat kendaraan, tapi juga ruang penghidupan. Maka, dalam menata parkir, kita sejatinya sedang menata keadilan.
Penulis:
Ilham Alhamdi, Mahasiswa HTN (Hukum Tata Negara) UIN. Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait