Berdiri 1980, Ini Kisah Perjalanan Bioskop Purwokerto yang Pertahankan Poster Lukisan di Era Digital
PURWOKERTO, iNews.id - Bioskop di Nusantara saat ini tengah dibanjiri film baru seperti Doctor Strange in the Multiverse of Madness yang baru saja tayang semenjak tanggal 5 Mei. Dengan berbagai poster menarik hasil cetakan alat, tapi bioskop Rajawali Cinema yang berada di jalan S Parman Kelurahan Purwokerto Kulon, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas ini tetap mempertahankan poster film hanya dengan lukisan tangan.
Bahkan, di Twitter sempat trending beberapa waktu lalu saat netizen membagikan cuitan mereka tentang bioskop di Purwokerto ini.
Baca Juga:
Bioskop Purwokerto Viral, Pertahankan Poster Lukis di Film Doctor Strange
Bisa dibilang, bioskop Rajawali Cinema di Purwokerto ini satu-satunya di Indonesia yang masih mempertahankan lukisan poster pada jadwal tayangan film yang terpampang di depan bioskop untuk menarik penonton.
Jadwal tayangan film yang terpampang didepan bioskop (Foto: Arbi Anugrah)
Perjalanan panjang sejarah bioskop ini telah menjadi ikon tersendiri bagi warga Banyumas, bahkan warga di eks Karisidenan Banyumas. Berdiri tahun 1980, bioskop Rajawali Cinema telah melalui banyak perjalanan hingga bertahan sampai saat ini, apalagi diera digital seperti sekarang ini.
Humas Rajawali Cinema, Eny Kuswati (47) yang telah menjadi karyawan Rajawali Cinema sejak 1993 ini mengkisahkan perjalanan naik turunnya bioskop fenomenal itu kepada iNews Purwokerto. Mulai dari dua studio hingga memiliki empat studio dan bertahan hingga saat ini.
"Saya masuk 1993, saat itu Rajawali masih 2 studio, ketika saya masuk itu lagi pembangunan 2 studio lain, jadi 4. Jadi saya ngalamin 4 studio itu, ramai memang awal awal, apalagi masih banyak bioskop-bioskop lain, karena saat itu memang ada. Setelah adanya krisis moneter tahun 1998 itu mulai koleps bioskop (di Purwokerto) pada gulung tikar," kata Eny saat berbincang beberapa waktu lalu.
Ia mengungkapkan saat itu masih terdapat beberapa bioskop di Kota Purwokerto, diantaranya ada bioskop Garuda, Nusantara, Kamandaka, President, Rajawali, Srimaya, dan juga bioskop Dinasti. Namun saat krisis moneter menerpa, banyak diantara bioskop tersebut tidak mampu bertahan, hanya Rajawali yang bertahan.
"Tapi ya itu, pas krisis moneter juga tidak bertahan, akhirnya tutup. Kalau Rajawali bertahan, Rajawali mungkin hampir sama dengan yang lainya waktu itu, dan kita seimbang dengan biokop lain saat itu munculnya. Tapi kita bertahan sampai saat ini, sampai eranya berubah semua dan poster itu tetap bertahan," ungkapnya.
Perjalanan panjang sejarah bioskop ini telah menjadi ikon tersendiri bagi warga Banyumas, bahkan warga di eks Karisidenan Banyumas. (Foto: Arbi Anugrah)
Semua diakuinya berkat perjuangan pendiri bioskop Rajawali Cinema yang tidak ingin jika karyawan bioskop tersebut di rumahkan akibat krisis. Masih teringat dibenaknya, bagaimana keadaan saat itu, bahkan Eny menceritakan perjalanan bioskop Rajawali sambil meneteskan air mata.
“Kalau Rajawali itu saya sangat bersyukur, terutama owner kami almarhum. Beliau tidak mau Rajawali itu tutup, dia itu kasihan sama karyawan-karyawan, kalau tutup kalian mau pada makan apa. Jadi owner itu bener bener jadi memperhatikan karyawan, memang alhamdulilah owner Rajawali itu dekat, jadi sering main kesini, ngobrol. Karena saat itu bener-bener bioskop yang lain pada tutup, apalagi saat itu sering tidak main (tayang film) karena tidak diputar. Almarhum saat itu tetap bilang Rajawali tidak akan tutup, kalian kerja saja. Sampai saya kerja 29 tahun alhamdulilah betah nyaman, karena bosnya baik, baik banget dan benar benar memperhatikan karyawan,” ceritanya sambil menangis, mengenang.
Dia mengungkapkan jika bioskop ini benar-benar berjuang dan merasakan naik turunnya. Bahkan seringkali film yang ditayangkan telat tayang karena masih menggunakan klise film.
"Jadi bioskop ini bener bener berjuang, naik turun. Mungkin kalau dulu itu film kita selalu telat, karena kita belum digital, saat itu masih semacam klise untuk memutar filmnya, terus semakin kesini, mungkin anak anak beliau (owner Rajawali) sudah pada besar-besar, sudah kuliah dan sudah bekerja, lalu mungkin mereka istilahnya rembukan keluarga, karena Rajawali milik keluarga besar, jadi mereka rembukan bagaimana Rajawali biar ramai terus," ujarnya.
Hingga akhirnya, bioskop Rajawali sharing dengan 21 Cinema agar dapat bertahan. Rajawali pun akhirnya mengubah semua peralatan lamanya dengan mesin pemutar berbasis digital dan menjadi jaringan dari 21 Cinema.
"Lalu mereka sharing dengan 21 cinema, lalu sama 21 di support, kalau pingin ramai harus berani ganti mesin ke digital, lalu akhirnya mau disupport, terus sekarang kita akhirnya jadi jaringannya 21. Makanya kita filmnya juga update, jadi kalau ada film apa di Indonesia kita sama ikut tayang. Lalu managemennya juga dirubah sama anak-anak almarhum biar jadi lebih baik lagi. Misal eranya lagi ramai facebook ya kita ada facebook, terus sekarang facebook sudah agak berkurag dibanding Instagram, sekarang alhamdulilah Instagram kita ramai," ungkapnya.
Berbeda dengan cara promosi saat masih menggunakan mobil publikasi, di mana saat itu hanya cara satu-satunya bioskop ini menawarkan filmnya. Publikasinya pun hingga ke Kabupaten tetangga seperti Cilacap, Banjarnegara, Kebumen, Purbalingga.
"Kalau dulu kita publikasinya masih menggunakan mobil keliling, bahkan kita sampai ada dua mobil. Misalnya yang satu kerah barat dan yang satu kearah timur, jadi jangkauannya lebih luas. Tapi memang semakin kesini era digitalnya lebih maju, mereka lebih melihat ke handphone, jadi sekarang kita lebih mempromosikan filmnya di Instagram, di facebook karena sudah lebih efektif, dan untuk mobil publikasinya sekarang sudah kurang efektif jadi kita hentikan," jelasnya.
Namun yang menarik dari bioskop Rajawali dan tetap dipertahankan adalah sosok pelukis dan poster lukisan film. Pelukisnya sendiri adalah Parsan (56).
Sosok pelukis poster film, Parsan (56). (Foto: Arbi Anugrah)
Dia menjelaskan jika Parsan telah bekerja sebagai karyawan sebelum dirinya masuk. Sebelum Parsan melukis poster film, Rajawali memiliki pelukis lain, namun karena sakit akhirnya digantikan oleh Parsan.
"Sebelumnya pak parsan itu memang ada, tapi sudah sepuh (sudah tua) jadi keluar, sama cucu nya juga dibilang sudah jangan kerja, akhirnya diganti pak Parsan, tapi sebelumnya ini pak Parsan ini sudah belajar, jadi kayak belajar ngikutin," ucapnya.
"Ternyata tadinya gambarnya biasa, tapi pak Parsan itu orangnya senang belajar, jadi semakin lama gambarnya itu memang hidup, saya saja merasakan, gambarnya itu hidup, tidak yang seperti lukisan yang kita gambar itu kaku hasilnya, kalau pak Parsan tidak. Saya saja kadang lihat film horor itu jadi takut sendiri, menatap terus kan, dia (Parsan) malah seneng kalau bikin film horor, kan bener bener angker, terus yang kemarin seperti berdarah darah, itu kalau dilihatin terus takut, karena gambarnya hidup seolah olah kayak cerita, kalau saya melihatnya seperti itu," ceritanya.
Ia pun mengakui jika banyak penonton yang terkesima dengan cara Rajawali mempertahankan poster lukisan film. Kebanyakan penonton dari luar kota yang kadang merasa aneh di era seperti saat ini masih ada bioskop yang mempertahankan banner promosinya dengan lukisan.
"Sebenarnya kebanyakan dari luar kota, seperti dari Jakarta itu misalnya datang kesini karena mereka itu belum pernah, nah kalau ke sini lihat atas (lukisan poster film) kayak aneh, artinya dalam hati saya mungkin lebih pada bangga. ‘ih beda lho mba, di Jakarta tidak ada yang kayak begini, adanya begitu’ seperti itu. Lalu mereka foto-foto, ada juga yang bilang supaya dipertahankan. Karena kalau liburan banyak dari luar kota yang datang, begitu turun mobil langsung lihat atas langsung foto-foto dan nanya nanya, saya seneng jadi kayak gimana rasanya," ujarnya.
Sementara menurut Parsan, pelukis poster film mengatakan jika dirinya sangat senang ketika hasil lukisan film nya diapresiasi banyak orang hingga viral beberapa waktu belakangan.
"Rasanya seneng banget, pada ngelihat gambarku, padahal gambar yang dianggap bagus, saya pikir cuma biasa saja. Kok penontonnya pada jeprat jepret pakai handphone," tutur bapak lima anak ini.
Dia mengungkapkan jika pertama kali lukisan poster film nya di apresiasi penonton bioskop saat penayangan film Joker. Saat itu ada salah satu penonton yang ingin membeli poster lukisan film yang masih berada di atas daftar tayangan film.
"Owh iya (film) Joker, dulu ada film Joker dan ada orang Purbalingga naksir gambar itu, lalu diambil ya sudah monggo (silahkan). Lalu dibelikan tripleks baru, saya gampang bikin lagi, lalu dipasang dan bikin yang beda lagi dari yang itu sebelumnya, warnanya lebih banyak. Saya kira gambar jelek, tapi ternyata ada orang suka," ungkapnya.
Tangannya sangat lihai meliukkan kuas cat membentuk gambar film yang akan ditayangkan. (Foto: Arbi Anugrah)
Lukisan nya dulu bukan hanya tampil di dafta tayang film, namun juga dipasang di mobil publikasi yang akan berkeliling mempromosikan film. Saat itu, dirinya belajar dari pendahulunya, hingga akhirnya ia bisa melukis sendiri.
" Waktu pertama (melukis poster film) itu kalau tidak salah bintang film-nya masih kurang paham, kalau tidak salah film barat, Stone Cold Dead, bintangnya saya lupa, itu tahun 1990an. Saya lukis itu untuk dipasang bagian belakang mobil publikasi keliling," jelasnya.
Meskipun demikian, Parsan juga memiliki ketakutan ketika melukiskan poster film, khususnya artis dalam negeri.
"Kesulitannya kalau bintang-bintang film Indonesia ganteng dan cantik, saya takut tidak mirip, kadang saya kasih judul saja. Karena takut tidak mirip nanti dimarahin orang. Beda kalau orang orang barat, kurang sedikit tidak kelhatan, karena hidungnya mancung-mancung dan ganteng-ganteng," ceritanya.
Ia pun mengaku jika akan tetap melukis poster film hingga perusahaan tidak lagi membutuhkannya. "Selama perusahaan membutuhkan saya, saya tetap kerjain sebisanya saya, semampunya saya. Mampunya seperti itu ya monggo (silahkan) adanya seperti itu, saya bukan pelukis profesional, hanya pelukis – pelukis biasa seperti itu," imbuhnya.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait