Perjuangan Hendro, Nestapa Seorang Penjaja Koran di Era Digital

Agustinus Yoga Primantoro
Berbekal plastik untuk menutupi setumpukan koran yang dibawanya, pria itu menawarkan koran-koran jualannya ke tiap pengemudi yang berhenti kala lampu merah menyala. (Foto: Agustinus Yoga Primantoro/iNews Purwokerto)

PURWOKERTO, iNews.id - Rintik hujan petang itu tak menyurutkan semangat seorang pria yang tengah berpacu dengan lampu merah Perempatan Jalan Masjid, Purwokerto, Kabupaten Banyumas. Berbekal plastik untuk menutupi setumpukan koran yang dibawanya, pria itu menawarkan koran-koran jualannya ke tiap pengemudi yang berhenti kala lampu merah menyala. Dengan tekun, ia mengetuk tiap kaca jendela kuda besi yang berhenti, meski riuh hujan menyerbunya dari segala arah.

Pria berpeci yang usianya hampir menginjak paruh baya itu bernama Hendro Yudi yang tinggal di daerah Pasirmuncang, Purwokerto Barat. Sudah sejak pukul 17.00 WIB ia berada di sana, tak terhitung berapa banyak kendaraan silih berganti yang sudah ia jajaki koran dagangannya. 

Tak terhitung juga isyarat lambaian tangan tanda baginya untuk beranjak ke kendaraan lain. Meski demikian, ia tetap teguh berdiri di samping pohon dan menggantungkan renjananya pada nyala lampu merah.

Telah 5 tahun lamanya, Hendro berkutat menjadi seorang penjual koran setelah sebelumnya ia bekerja secara serabutan. Selama lima tahun ini, ia biasa menuju tempat biasanya berjualan dengan mengendarai sebuah sepeda hijau miliknya. Ia mengaku lebih sering berjualan di lampu merah Persimpangan Jalan Masjid di sisi Barat. Di antara tumpukan koran yang dibawa Hendro, tampak sejumlah nama-nama media cetak lokal kenamaan. Dari situlah, pria berusia 41 tahun tersebut mencari sesuap nasi.

“Biasanya yang sering dibeli itu Radar. Nah, yang Radar itu kalo setor ke sana kan per korannya Rp 2.200, saya jualnya Rp 3.000,” ujar pria yang tergabung dalam sebuah agen koran cetak yang tak jauh dari tempatnya berjualan.

Hari ini, Hendro membawa kurang lebih sekitar 35 bundel koran dan baru dua buah bundel saja yang laku terjual. Ditambah lagi, hujan yang turun sejak sore terus mengguyur Kota Purwokerto. Kendati demikian, ia tidak kehilangan semangatnya. Dengan keuntungan sekitar Rp 800 dari setiap koran yang berhasil ia jual, Hendro mampu mencukupi kebutuhan hidupnya bersama orangtua dan adiknya di rumah.

“Ya nggak mesti, Mas. Lagi mandan (agak) berkurang. Kadang Rp 20 ribu, kadang Rp 50 ribu, kadang malah Rp 15 ribu,” terangnya tentang pendapatan bersih dalam sehari pada iNewsPurwokerto.id, Sabtu (11/6/2022) kemarin.

Seperti biasanya, Hendro terkadang berangkat pagi atau bahkan terkadang sore hari. Entah terkadang karena ada pekerjaan rumah, atau jadwal yang rancu membuatnya berjualan secara tak tentu. Kendati demikian, Hendro tetap melakukannya dan mengaku bahwa yang penting baginya adalah ada sesuatu yang ia kerjakan.

“Nggak mesti berangkatnya, bisa berangkat pagi, bisa berangkat sore. Ya nggak mesti, kadang jam 8 pulang jam 10, berangkat jam 5 sore pulang jam 8 malam. Ada yang jahil, ya nggak mesti itu, saya nggak tahu-menahu, kaya dingel-ngeli (dipersulit). Misal, sudah berangkat pagi, tapi diulur-ulur. Yang jelas kalo berangkat pagi, paginya itu diberi dagangan, siangnya dijual, besok paginya setor,” ceritanya lirih.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin istilah itu bisa menggambarkan keadaan Hendro. Bagaimana tidak, ketidakpastian yang ia hadapi dalam berjualan koran, belum lagi pendapatannya yang tidak seberapa, dan semua itu masih ditambah kerasnya kehidupan di jallanan dengan praktik premanisme yang ia alami. Hendro mengaku bahwa sempat ada orang yang meminta uang padanya. Meski pendapatannya hanya cukup, Hendro terkadap tetap memberikannya dan menurutnya itu menjadi bagian dalam sedekah.

“Ya sering, biasa lah orang lewat minta uang, saya kasih Rp 2000 atau Rp 4000. Kalau nggak dikasih, paling saya dihus-hus gitu, diusir. Suruh jangan di sini,” katanya sembari melempar sedikit tawa.

Di tengah perkembangan era yang saat ini serba digital, perlahan media cetak mulai ditinggalkan. Meski demikian, masih banyak para pejuang rupiah, termasuk Hendro dan penjaja koran lainnya, yang menggantungkan nafas kehidupannya pada berjualan media cetak. 

Belajar dari pengalaman hidup Hendro, keteguhan dan semangatnya patut ditiru. Berhadapan dengan ketidakpastian yang silih berganti ia hadapi tak membuatnya gentar. Baginya, hidup ini harus terus dijalani dengan semangat, ikhlas, dan percaya akan adanya jalan terbaik dari sang Khalik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Editor : Arbi Anugrah

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network