HADIS palsu di era majunya teknologi informasi semakin ramai bertebaran. Di era digital, hadis-hadis palsu banyak ditemui di media sosial atau media lainnya.
Hadis palsu, hadis yang disampaikan sebagai dalil atau pijakan atas suatu hukum agama yang belum tentu ke-sahih-an hadisnya.
Lantas bagaimana mengetahui dan mengidentifikasi hadis palsu?.
Hadis secara terminologi adalah segala perkataan, perbuatan, dan takrir dari Nabi Muhammas SAW, yang menjadi patokan sebagai hukum agama Islam setelah Alquran. Demikian para ahli ushul fiqih dalam mendefinisikan hadis.
Namun, banyak sekali orang atau pihak-pihak yang menyebarkan hadis yang lemah sanad-nya (silsilah periwayat hadis) atau bahkan hadis palsu yaitu sebuah hadis yang bukan perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW.
Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya berjudul "Hadis- Hadis Bermasalah", telah menghimpun tiga puluh hadis yang dapat dikatakan dipermasalahkan oleh kaum muslim. Dari tiga puluh Hadis itu, yang dinyatakan palsu atau semi palsu hanya dua puluh enam, itu adalah hadis-hadis yang berkembang di masyarakat.
Melansir laman MUI pada Sabtu (23/7/2022) disebutkan dalam buku tersebut disebutkan jika kenyataan ini membuktikan bahwa dibanding dengan Hadis-hadis yang shahih, Hadis-hadis palsu yang beredar di masyarakat jumlahnya jauh lebih kecil.
Akan tetapi apabila jumlah hadis yang sangat kecil ini dibiarkan, dapat mengotori jumlah yang sangat besar.
Misalnya saja ada hadis yang beredar, hadis tersebut berbunyi,
اطلبوا العلم ولو بالصين فإن طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya: Carilah ilmu meskipun di negeri Cina, karena mencari ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim.
Seperti yang kita tahu, hadis tersebut lumayan populer dan bahkan digunakan untuk berdakwah oleh beberapa da’i. Padahal hadis itu disebut KH. Ali sebagai hadis yang palsu.
Dalam bukunya terdapat perkataan Imam Ibn Hibban yang mengatakan, Hadis ini ‘bathil la ashia lahu’ (batil, palsu, tidak ada dasamya). Pernyataan ibn Hibban ini diulang kembali aleh al-Sekhawi dalam kitabnya al-Maghasid al-Hasanah. Sumber kepalsuan Hadis ini adalah perawi (periwayat) yang bemama Abu Atikah Tanif bin Sulaiman (dalam sumber lain tertulis Salmani).
Menurut para ulama Hadis seperti al-Ugaili, al-Bukhari, al-Nasal, dan Abu Hatim, mereka sepakat bahwa Alu Aukah Tarif bin Sulaiman tidak memiliki kredibillas sebagai rawi Hadis. Bahkan menurut al-Sulaimani Abu Atikah dikenal sebagai pemalsu Hadis.
Sebenarnya masih ada banyak hadis yang dibahas dalam buku ini, seperti ‘hadis tidak makan kecuali lapar’, ‘menyombongi orang sombong adalah sedekah’, dll. Namun sekarang saya tidak akan membahas hal tersebut, karena mungkin butuh narasi yang lebih banyak dan panjang lagi. Bagi yang masih penasaran silahkan untuk membaca buku beliau, atau mungkin akan dibahas di lain kesempatan.
Hingga kini, banyak hadis-hadis palsu yang beredar, populer, dan bahkan menjadi pegangan sebagian umat muslim. Keberadaan hadis-hadis palsu ini bisa berpotensi untuk membuat umat tergelincir dan jatuh dalam kesesatan.
Para ulama sebenarnya telah merumuskan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan untuk mengetahui hadis sahih, hasan ataupun dhaif, mereka juga menentukan ciri-ciri untuk mengetahui ke-maudhuan (kepalsuan) suatu hadis. Ciri-ciri ini dapat diketahui melalui sanad atau matan.
Dalam jurnal karya Abd. Wahid berjudul Strategi Ulama Mengantisipasi Penyebaran Hadis Maudhu, disebutkan ciri-ciri hadis yang palsu atau maudhu:
a. Ciri-ciri hadis maudhu (lemah) pada sanad (silsilah periwayat)
Berhubungan dengan masalah ini, ulama telah mengemukakan beberapa cara untuk mengetahui hadis maudhu berdasarkan pada perawi-perawinya:
Melalui pengakuan dari perawi (periwayat) tersebut yang menyatakan bahwa dia telah membuat hadis-hadis tertentu. Ini adalah bukti yang paling kuat untuk menilai suatu hadis. Hal ini dilihat pada pengakuan yang dibuat oleh beberapa individu yang mengaku telah menciptakan hadis.
Melihat tanda-tanda atau bukti yang dianggap seperti pengakuan dan pemalsu hadis. Cara ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan mengetahui tahun lahir dan kematian perawi, serta melacak negeri-negeri yang pernah dikunjunginya. Oleh sebab itu, ulama hadis membagi perawi kepada beberapa peringkat dan mengenali mereka dari semua sudut sehingga tidak tersembunyi sesuatupun keadaan perawi tersebut.
Dengan melihat pada perawi yang telah dikenal dan dinyatakan sebagai pendusta.
Baik melalui suatu riwayat yang berbeda dengan riwayat yang sahih, dan tidak ada perawi tsiqah yang meriwayatkannya.
b. Ciri-ciri hadis maudhu pada matan
Selain berdasarkan kepada kedudukan seorang perawi, hadist maudhu juga bisa dilihat berdasarkan matan hadist. Ibnu Qayyim pernah ditanya apakah bisa mengenali suatu hadist maudhu berdasarkan tanda-tanda tanpa melihat pada sanad. Ibn Qayyim mengatakan bahwa masalah ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai penguasaan yang mendalam ketika mengenali hadis yang sahih.
Ada beberapa kaidah yang dihimpunkan oleh ulama yang dijadikan sebagai tanda untuk mengetahui kepalsuan suatu hadis berdasarkan pada matan, di antaranya:
Bertentangan dengan nash al-Qur’an. Contohnya hadis yang berkenaan dengan umur dunia hanya tujuh ribu tahun, hadis ini merupakan suatu kedustaan karena seandainya hadis tersebut sahih pasti setiap orang akan mengetahui jarak waktu saat ini hingga hari kiamat. Hal ini bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa hari kiamat adalah hal gaib yang hanya diketahui oleh Allah.
Bertentangan dengan Sunnah. Setiap hadis yang memberi makna kepada kerusakan, kezaliman, sia-sia, pujian yang batil, celaan yang benar, semuanya tidak berhubungan dengan Nabi. Contohnya hadis tentang orang yang bernama Muhammad dan Ahmad tidak akan masuk Neraka, hadis ini bertentangan dengan ajaran Islam, karena orang tidak dapat diselamatkan dari Neraka hanya karena nama atau gelar, akan tetapi diperoleh melalui iman dan amal salih.
Bertentangan dengan ijma. Setiap hadis yang menyebutkan dengan jelas tentang wasiat Nabi kepada Ali bin Abi Thalib atau pemerintahannya adalah maudhu. Karena pada dasarnya Nabi tidak pernah menyebut tentang seorangpun sebagai khalifah setelah wafat.
Kandungan hadis yang mengada-ada dalam pemberian pahala terhadap sesuatu amalan kecil dan ancaman yang besar terhadap perbuatan yang buruk.
Kandungan hadis yang tidak dapat diterima oleh akal.
Inilah cara yang dilakukan oleh ulama dalam menentukan suatu matan hadis benar-benar seperti yang diucapkan oleh Nabi, yaitu dengan membandingkan riwayat-riwayat yang diterima dengan al-Qur’n dan hadist-hadist yang sahih. Jika riwayat tersebut menyalahi al-Qur’an dan hadis yang sahih, dan tidak dapat ditakwilkan, maka akan dinilai sebagai hadis yang lemah atau maudhu.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta