get app
inews
Aa Text
Read Next : Malam 1 Suro 2024, Ritual Pendakian Gunung Slamet Ditiadakan

Ritual Malam 1 Suro Masyarakat Jawa yang Dianggap Sakral, Lakukan Tradisi Prihatin

Jum'at, 29 Juli 2022 | 19:50 WIB
header img
MALAM 1 Suro bagi masyarakat Jawa dianggap sebagai malam yang sakral dan sering digunakan untuk melakukan ritual malam 1 Suro. Foto istimewa

MALAM 1 Suro bagi masyarakat Jawa dianggap sebagai malam yang sakral dan sering digunakan untuk melakukan ritual malam 1 Suro. Malam 1 Suro sendiri jatuh bersamaan dengan 1 Muharram atau malam Tahun Baru Islam.

Bagi masyarakat Jawa, malam satu Suro dianggap sebagai hari yang sakral dan keramat dan digunakan untuk menata hidup dengan Introspeksi diri. Biasanya, hal tersebut dilakukan dengan tradisi laku prihatin.

Sigit Nurwanto, salah satu tokoh Kejawen di Gunungkidul mengungkapkan jika malam 1 suro adalah malam tahun barunya masyarakat Jawa. Tokoh yang aktif dalam berbagai kegiatan pelestarian alam ini mengatakan jika pada malam 1 Suro, biasanya masyarakat Jawa akan melakukan instropeksi diri apa yang telah dilakukan pada tahun yang telah dilalui untuk menyambut tahun yang baru.

"Dan semoga andaikan di tahun yang dilalui itu dia melakukan kesalahan yang tidak benar pada dirinya di dalam mengarungi 1 tahun itu ia berharap agar tidak mengulanginya di tahun yang akan datang," terang lelaki yang juga berprofesi sebagai Dalang Muda ini.

Malam 1 Suro tersebut sakral bagi masyarakat Jawa di mana sakralnya orang Jawa itu di sana terdapat moment-moment untuk instropeksi diri. biasanya tradisi atau adat yang berjalan mengiringi malam 1 Suro tersebut adalah laku prihatin atau tradisi prihatin.

Tradisi prihatin itu biasanya dilakukan dengan topo broto atau ngesu budi dalam rangka instropeksi. Karena di Jawa itu ada tiga jenis prihatin yaitu Ngelih (Lapar), Mlaku (Berjalan) dan Melek (Tidak tidur). dan itulah yang biasanya dilakukan masyarakat Jawa ketika malam 1 Suro.

Ngelih atau lapar biasanya Laku (melakukan) Prihatin dengan cara puasa biasanya instropeksi dengan puasa atau cegah dahar (menahan untuk makan). Biasanya masyarakat Jawa melakukan puasa selama beberapa hari yaitu sejak malam satu suro hingga beberapa hari kemudian.

Selain itu, laku prihatin lainnya adalah biasanya juga dengan Mlaku atau berjalan. Di Gunungkidul, ketika masih kecil, Sigit melakukannya dengan asal berjalan sampai capek dan kemudian pulang. Namun di Negoro (Kota Yogyakarta) ada yang dilakukan secara berjamaah, yaitu Mubeng Beteng.

"Di mana biasanya topo (bertapa) mlaku (berjalan) mubeng (mengitari) beteng,"terangnya.

Setelah itu ada laku prihatin dengan cara melek yaitu cegah tidur artinya mencoba tidak tidur sepanjang kemampuan seseorang menjalaninya. Artinya masyarakat Jawa dalam memperingati tahun baru tidak seperti dengan orang-orang barat. Masyarakat Jawa menyambut tahun baru dengan melakukan hal-hal prihatin.

Walaupun terkadang dalam bingkai senang-senang, biasanya masyarakat Jawa ada yang menggelar Sholawatan Jowo, Kenduri dan juga bahkan wayangan. Dan ketika memasuki wayangan, biasanya yang diambil filosofinya adalah melek (tidak tidur), kalau mubeng beteng yang diambil adalah berjalan.

Kalau lapar itu biasanya semua masyarakat bisa menjalaninya. Namun ketika berjalan, belum tentu semua orang kuat untuk menjalankannya. Dan ketika seseorang kuat untuk menahan lapar dan tetap bisa berjalan itu bisa melaksanakannya kemungkinan besar melek (tidak tidur) banyak yang gagal.

3 tradisi pada malam 1 suro sebenarnya sudah dilakukan sejak jaman dahulu. Seperti puasa itu sendiri ia mengaku tidak mengetahui sejak kapan dilaksanakan. Namun untuk mlaku Mubeng Beteng Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, tradisi tersebut dilaksanakan sejak jaman Sri Sultan HB I.

"Mungkin sebelumnya ada yang mubeng wilayah mereka masing-masing,"ungkapnya.

Sigit menyebut, tradisi Mubeng Beteng sejatinya bukan hajatan dari Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat namun justru menjadi hajatan kawulo dalem. Artinya hajatan dari masyarakat yang memiliki keinginan agar negara Ngayogyakarto Hadiningrat menjadi negara yang Ayem Tentrem Gemah Ripah Loh Jinawi.

Kenapa Jaman Sri Sultan HB I masyarakat melakukan ritual mubeng beteng Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat, karena di sana merupakan pusat pemerintahan di mana tubuh Yogyakarta atau Jantungnya Yogyakarta ada di sana.

Dan ketika tradisi tersebut tidak dilaksanakan maka nilai-nilai luhur yang ada di dalam Prihatin terkait tuntutan hidup, pergaulan dan menyembang atau spritiual maka akan menghilangkan tradisi karena terbawa moderinasi yang terlihat lebih wah dan gebyarnya

Selain itu, akan hilang nilai andhap ansor lemah lembut akan hilang terbawa tradisi baru. Jika tidak sudah tidak ada lagi masyarakat yang melakukan laku prihatin untuk diri sendrii. Dan budaya peninggalan nenek moyang baik sedikit demi sedikit akan hilang digantikan oleh tradisi dari mancanegara.

 

Editor : Arbi Anugrah

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut