JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Nama Boven Digoel terkenal dalam berbagai sejarah dan catatan populer masa kolonial Belanda sebagai tempat kamp pembuangan atau pengasingan (interneeringskamp) tahanan politik. Kamp ini berfungsi sebagai penjara bagi mereka yang dianggap subversif pada pemerintah Belanda, dibangun oleh Kapten Infanteri L Th Becking pada 27 Januari 1927 di masa Gubernur Jenderal De Graeff.
Boven Digoel berarti Digoel bagian atas atau hulu. Keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari Sungai Digoel di Papua bagian selatan.
Berlokasi di tepi Sungai Digoel, kamp ini dibangun setelah terjadi pemberontakan komunis di Banten pada 1926 dan di Sumatra Barat pada 1927. Wilayah kamp konsentrasi dibangun dengan menggunakan tenaga orang-orang buangan (geinterneerden) yang datang pertama ke Boven Digoel. Area ini kemudian dikenal dengan nama Tanah Merah.
Menurut situs resmi Kabupaten Boven Digoel, awalnya geinterneerden tersebut tinggal di 14 rumah darurat atau los. Masing-masing los panjangnya sekitar 30 meter dengan atap rumbia. Para geinterneerden yang membawa anak-istri tinggal dalam los yang sama. Sementara geinterneerden yang bujangan dikumpulkan pada los yang lain.
Selain 14 los untuk tempat tinggal bagi geinterneerden, terdapat 1 los yang diperuntukan sebagai dapur umum. Para geinterneerden yang datang pertama tersebut kemudian membangun perkampungan yang disebut sebagai Kampung A.
Berikutnya, semakin banyak geinterneerden yang berdatangan. Hal ini meendorong munculnya kampung-kampung yang lain yang diberi nama Kampung B, Kampung C, Kampung D, Kampung E, Kampung F, dan Kampung G yang semakin menjauh ke atas dari tepian sungai.
Rumah-rumah yang lebih permanen dibangun dengan atap dari seng, dinding dari kayu nibung dan berlantai tanah. Permukiman geinterneerden diberi batas, di titik-titik tertentu yang berbatasan dengan hutan terdapat pos penjagaan.
Boven Digoel bukan penjara biasa. Tempat ini lebih mirip penjara alam. Tidak perlu menggunakan kekerasan, para tahanan akan tersiksa dengan sendirinya. Hidup terasing, terisolasi dari dunia luar. Hanya berteman rimba belantara. Mereka yang mencoba melarikan diri sudah pasti gagal.
Mereka hanya akan bertemu binatang buas seperti buaya dan harimau. Kalau tidak mampu bertahan, para tahanan akan mati karena gigitan nyamuk malaria. Oleh sebab itu, Boven Digoel disebut kamp tahanan paling menyeramkan yang dimiliki Hindia Belanda.
Puluhan tokoh pejuang kemerdekaan pernah mencicipi kamp konsentrasi ini, bahkan meninggal di Boven Digoel. Menurut buku sejarah terbitan Balai Pustaka tempat ini digunakan sebagai lokasi pembuangan sekitar 1.300 orang. Tidak hanya tokoh PKI, Belanda juga mengasingan tokoh perlawanan berbasis Islam di tempat ini.
Beberapa tokoh pernah merasakan pengsingan di Boven Digel di antaranya Sayuti Melik (1927-1938) dan Mohammad Hatta (1935-1936). Sebagai penanda Hatta pernah datang, dibangun sebuah monumen di Boven Digoel.
Selain itu ada Sutan Sjahrir dan Muchtar Lutffi, Ilyas Yacub (tokoh PERMI dan PSII Minangkabau) serta Mas Marco Kartodikromo yang wafat dan dimakamkan di Digoel pada 1935. Dua orang terakhir yang dikirim ke Boven Digoel adalah Semaun dan Darsono, penggerak pemogokan buruh pada 1923.
Boven Digoel akhirnya ditutup Belanda setelah kalah dari Jepang di awal Perang Asia Pasifik. Para tahanan dipindahkan ke Australia, sebagian dijadikan KNIL atau tentara Kerajaan Belanda.
Namun, itu semua merupakan sejarah masa lalu. Tentu wajah Boven Digoel kini telah banyak berubah.
Berangsur-angsur, bekas kawasan pengasingan itu menjadi pusat keramaian. Pada 25 Oktober 2002 Boven Digoel resmi berdiri sebagai kabupaten otonom berdasarkan UU Nomor 26/2002. Dengan luas wilayah sekitar 27.000 meter persegi, kabupaten ini beribu kota di Tanah Merah.
Berdasarkan data Pemkab Boven Digoel, pada 2019 wilayah ini berpenduduk 62.580 jiwa lebih. Menurut Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Boven Digoel penduduk Orang Asli Papua di Boven Digoel tahun 2019 sebanyak 30.477 jiwa yang tergabung dalam 7.257 keluarga.
Namun seperti wilayah pemekaran lain di Papua, kepadatan penduduk di Boven Digoel tergolong sangat rendah yaitu 2,31 jiwa per kilometer persegi. Ini berarti setiap 1 kilometer persegi wilayah Boven Digoel hanya dihuni 2-3 penduduk. Angka Harapan Hidup penduduk Kabupaten Boven Digoel cukup baik yaitu 59-64 tahun.
Kabupaten Boven Digoel memiliki 23 tempat wisata yang tersebar di beberapa distrik. Tempat wisata di Boven Digoel beragam dan mencakup situs budaya, sejarah, religi, dan alam. Bagi wisatawan sejarah, beberapa situs yang berkaitan dengan masa kolonial Belanda menarik perhatian banyak orang.
Editor : Arbi Anugrah