PURWOKERTO, iNews.id - Gedung Radio Republik Indonesia (RRI) Kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah ini menjadi salah satu saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia untuk mendapatkan Kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Kala itu, tahun 1946, gedung RRI Purwokerto dikenal sebagai gedung pertemuan yang merangkap sebagai gedung bioskop City Theater dan dikenal dengan nama gedung Societeit.
4 Januari 1946 petang, atau 100 hari setelah tentara Inggris mendarat, gedung Societeit digunakan oleh Tan Malaka untuk menggelar rapat politik membangun Persatuan Perjuangan di Purwokerto dalam upaya menyerang politik diplomasi pemerintah dan untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan 100 persen.
Pemilihan Kota Purwokerto kala itu oleh Tan Malaka untuk mendapatkan Kemerdekan, karena Purwokerto dianggap merupakan basis kuat, maka dari itu Tan Malaka memilihnya sebagai tempat kongres para pemimpin berbagai organisasi. Dimana Murba saat itu masih merupakan gerakan rakyat jelata dan belum menjadi partai. Tan Malaka menggagasnya buat melawan kapitalisme dan penjajahan serta untuk menggapai kesejahteraan.
Dikutip dalam buku tentang Tan Malaka, yang ditulis Harry A. Poeze, rapat politik yang juga dihadiri Panglima Besar Soedirman termasuk tiga ratusan orang mewakili 40 organisasi politik, organisasi kemasyarakatan dan laskar. Antara lain pimpinan pusat Partai Sosialis, Partai Kominis Indonesia, Serindo, Masjoemi, Partai Boeroeh Indonesia, Partai Revolosioner Indonesia (Parindo), Organisasi-organisasi pemuda dan pejuang Pasindo, Barisan Pemberontakan Rakjat Indonesia, Badan Kongres Pemoeda Repoeblik Indonesia, Hizbullah.
Hadir pula Gerakan Pemoeda Islam Indonesia (GPII), Angkatan Moeda Repoeblik Indonesia, Kebaktian Rakjat Indonesia Soelawesi (KRIS), Pemuda Republik Indonesia Soematra, Federasi Perempuan Persatoean Wanita Indonesia (Perwari), tentara dan orang-orang dari semua lapisan rakyat.
Dalam koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta terbitan 6 Januari 1946, Harry A. Poeze menggambarkan suasana peserta rapat yang terdiam menahan napas menyambut Tan naik podium. Tan masih terlihat lebih muda, meskipun umurnya saat itu lebih dari 50 tahun. Badan beliau tegap, sehat, kuat, muka tampak segar. Mata agak kecil tapi tajam. Melihat kerut-kerut wajah beliau, maka kelihatanlah dengan nyata karakter beliau yang kukuh, kuat, dan berdisiplin. Pakaian sederhana. Berkemeja dan bercelana pendek dan berkaos kaki panjang.
Saat kongres digelar, suasana ketidakpuasan sempat menyelimuti para peserta yang tak sepakat dengan langkah diplomasi Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir. Tan geram dengan para pemimpin yang tidak bereaksi dengan masuknya Sekutu ke Indonesia.
Tan mengajukan tujuh pasal program minimum: berunding untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan 100 persen, membentuk pemerintah rakyat, membentuk tentara rakyat, melucuti tentara Jepang, mengurus tawanan bangsa Eropa, menyita perkebunan musuh, dan menyita pabrik musuh untuk dikelola sendiri.
Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan mutlak. Sesudah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi dimungkinkan. Tan bertamsil: orang tak akan berunding dengan maling di rumahnya. ”Selama masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan,” katanya.
Jenderal Soedirman juga tidak kalah garang. dia berpidato di kongres: ”Lebih baik diatom (dibom atom) dari pada merdeka kurang dari 100 persen.” Para peserta kongres akhirnya sepakat membentuk Persatuan Perjuangan.
Selama berada di Kota Purwokerto, Tan bersahabat dengan Slamet Gandawijaya. Tokoh Murba kelahiran Madiun, Jawa Timur, 1901 yang menjadi penyandang dana terbesar dalam kongres tersebut, Tan yang menumpang di rumah Slamet mendapatkan kamar khusus.
Di rumah Slamet Gandawijaya yang berada di Jalan Balai Desa Patikraja, Kecamatan Patikraja, Banyumas atau sekitar 30 meter dari jalan utama Patikraja-Purwokerto, Tan selalu menginap dan kerap bertemu dengan Soedirman sebelum kongres. Meja makan dan kursi yang digunakan Tan untuk berdiskusi dengan Soedirman hingga saat ini masih terawat.
Rumah yang sudah beberapa kali mengalami renovasi dan berada di lingkungan padat penduduk. Kanan dan kiri rumah Slamet juga berdiri rumah - rumah lainnya.
Kala itu, dibandingkan tetangga-tetangganya, fasilitas di rumah Slamet bisa terbilang lengkap, karena sudah memiliki telepon dan garasi mobil. Bahkan penduduk setempat menganggap keluarga tersebut sebagai keluarga ningrat dan sering memanggil Slamet dan tiga anaknya dengan panggilan 'Den'.
Karena aktif dalam gerakan kiri dan menentang Belanda, Slamet sempat menjalani Digul (diasingkan). Selama Slamet menjalani Digul, keluarga tersebut hidup sangat prihatin ketika penjajahan, apalagi saat Belanda sering mendatangi rumahnya.
Istri Slamet, Martini, yang lahir di Purwokerto, 5 Oktober 1920 juga dikenal aktif dalam berbagai organisasi, dia meninggal November 2007. Sedangkan Slamet meninggal 4 September 1966, jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Nirwana, Purwokerto, sebagai perintis kemerdekaan.
Kongres di Purwokerto dikatakan memberikan sumbangan besar untuk meyuburkan ide perang rakyat semesta. Padahal konferensi itu awalnya direncanakan akan berlangsung di Malang, Jawa Timur, Desember 1945. Namun saat itu, laskar dan tentara meninggalkan Surabaya setelah pertempuran 10 November 1945. Karena banyak wakil yang berada di Jawa Barat dan Jakarta, konferensi akhirnya dimundurkan. Setelah Tan ke Cirebon menemui wakil-wakil organisasi dari berbagai daerah, akhirnya mereka sepakat bertemu di Purwokerto.
Setelah pertemuan pertama di Purwokerto tersebut, Persatuan kemudian dideklarasikan di Balai Agung, Solo, pada 15 Januari 1946. Kongres Solo disebut Kongres I Persatuan Perjuangan. Kongres ini dihadiri 141 organisasi, termasuk mengundang Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan anggota kabinet.
Namun, yang datang hanya Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, Jaksa Agung Gatot Taroenamihardjo, dan Panglima Besar Soedirman. Sedangkan Sultan Yogya dan Susuhunan Solo hanya mengirimkan wakil mereka. Peserta menginap di Hotel Merdeka, Solo.
Usai bendera oposisi dikibarkan di Purwokerto, Tan ditangkap. Dia kemudian dipenjarakan di sejumlah tempat: Wirogunan Yogyakarta, Madiun, Ponorogo, Tawangmangu, dan Magelang.
Editor : Arbi Anugrah