Asal-usul Tradisi Gowok, Warisan Kamasutra Jawa dalam Budaya Kuno

JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Tradisi kuno asal Jawa bernama Gowok kembali menyita perhatian publik setelah diangkat ke layar lebar melalui film terbaru karya Hanung Bramantyo berjudul “Gowok Kamasutra Jawa”. Film ini menampilkan Lola Amaria sebagai Nyai Santi tokoh Gowok legendaris, dan Reza Rahadian sebagai karakter pria utama, menjadikan tema yang diangkat semakin menarik untuk dibahas dari sisi sejarah dan budaya.
Gowok merupakan tradisi Jawa kuno yang berkembang sebelum Indonesia merdeka dan bertahan hingga era 1950-an. Dalam praktiknya, tradisi ini dianggap sebagai bentuk pendidikan nonformal bagi remaja dan pria dewasa, khususnya calon pengantin pria, untuk belajar tentang seksualitas dan peran suami dalam rumah tangga.
Sosok yang menjadi pengajar atau mentor disebut Gowok, yakni perempuan dewasa yang membimbing kehidupan rumah tangga secara emosional dan seksual.
Menurut Latif Kusairi, sejarawan dari UIN Raden Mas Said Surakarta, tradisi ini memang tidak ditemukan dalam dokumen sejarah seperti babad atau serat. Sebaliknya, ia diwariskan secara lisan melalui pitutur (nasihat turun-temurun).
“Sejauh ini kami belum menemukan babad atau serat yang secara eksplisit menggambarkan tradisi Gowok. Tradisi ini berkembang secara lisan, melalui pitutur atau cerita turun-temurun,” jelas Latif dikutip dari Okezone, Selasa (17/6/2025).
Latif mengungkapkan bahwa praktik Gowok lebih banyak ditemui di daerah pedalaman Jawa Tengah, seperti Temanggung, Banyumas, dan Cilacap. Tradisi ini mulai menghilang secara perlahan seiring dengan masuknya ajaran agama secara masif dan meningkatnya akses terhadap informasi modern.
“Kemunculannya diperkirakan sekitar tahun 1900-an hingga 1950-an. Tradisi ini mulai memudar ketika penyebaran agama Islam berlangsung secara masif dan masyarakat mulai memiliki akses terhadap informasi dari luar,” terang Latif.
Lebih lanjut, Latif menjelaskan bahwa keterbatasan akses informasi dan dakwah agama menjadi alasan utama mengapa tradisi Gowok bertahan di daerah pedalaman lebih lama daripada wilayah pesisir yang terbuka terhadap pengaruh luar.
“Fenomena ini hanya terjadi di kawasan pedalaman, seperti daerah Ngapak Banyumasan, Temanggung, dan Cilacap bagian dalam bukan di kawasan pesisir selatan yang lebih mudah diakses. Ini adalah fenomena sosial yang sifatnya lokal,” ungkapnya.
Daerah pesisir seperti Pantura (Pantai Utara Jawa) lebih cepat menerima pengaruh ajaran agama dan budaya asing, yang membuat tradisi seperti Gowok tidak bisa berkembang.
“Penyebaran agama di pedalaman berlangsung lebih lambat dibandingkan di Pantura. Karena itu, tradisi-tradisi lokal seperti Gowok masih bisa bertahan antara tahun 1900 hingga 1950-an,” tambahnya.
Latif juga menyoroti bahwa pria yang mengikuti pendidikan ini umumnya berusia 20-an tahun atau memasuki usia siap menikah. Sementara itu, perempuan yang berperan sebagai Gowok adalah wanita dewasa berusia antara 20 hingga 40 tahun, dan sudah memiliki pengalaman rumah tangga.
“Meski belum ada data tertulis yang valid, dari informasi yang kami himpun, usia perempuan yang menjadi Gowok berkisar antara 20 hingga 40 tahun, dan mereka bertugas ‘mendidik’ laki-laki yang akan menikah,” pungkasnya.
Editor : Arbi Anugrah