HUT Kemerdekaan RI Ke-77 besok akan diperingati seluruh bangsa Indonesia. Kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan rahmat Allah Ta'ala.
Pada masa perjuangan tokoh pahlawan banyak berjasa, salah satunya adalah Jenderal Soedirman.
Jenderal Soedirman dikenal sebagai kader Muhammdiyah serta santri atau jamaah yang cukup aktif dalam pengajian “malam Selasa”, yakni pengajian yang diselenggarakan olehMuhammadiyah di Kauman berdekatan dengan Masjid Besar Yogyakarta.
Dalam buku "Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Soedirman" diceritakan, dia lahir dari keluarga petani kecil, di desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Januari 1916.
Ayahnya seorang mandor tebu pada pabrik gula di Purwokerto. Sejak bayi Soedirman diangkat anak oleh asisten wedana (camat) di Rembang, R. Tjokrosunaryo.
Dia emperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi.
Kemudian ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.
Ia juga dikenal sebagai sosok yang rajin beribadah. Di museum Sasmitaloka Panglima Jenderal Besar Soedirman di Jalan Bintaran Wetan, Pakualaman, Yogyakarta terdapat sajadah digunakan untuk beribadah. Tempat sholat itu diletakkan tepat di samping tempat tidurnya yang ada di museum.
Mengawali karir militernya sebagai seorang dai muda yang giat berdakwah di era 1936-1942 di daerah Cilacap dan Banyumas. Hingga pada masa itu ia adalah dai masyhur yang dicintai masyarakat.
Ia selalu menjaga kesuciannya dengan berwudhu. Saat wudhunya batal, ia akan berwudhu kembali. Bahkan, jika tidak dalam masuknya waktu sholat, ia tetap akan berwudhu.
Ia selalu menjaga menjaga wudhunya. Saat mendengar suara azan, ia pun langsung melaksanakan sholat. Saat memimpin perang gerilya, ia tidak pernah menunda untuk beribadah, termasuk dalam kondisi sakit.
Saat bergerilya, Soedirman pun memerintahkan kepada ajudannya untuk membawa kendi yang berisi air. Air itu dgunakan untuk berwudhu saat perang gerilya.
Ia juga berprinsip tidak pernah meninggalkan sholat. Jika tidak bisa berdiri, ia sholat dalam keadaan duduk. Jika tidak bisa duduk, sholat dilakukan dengan berbaring. Ia juga rajin berpuasa.
Sikap prihatinnya juga tampak ketika dia menghadapi masalah. Ia yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.
Pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya.
Ketika itu, ia sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia.
Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden.
Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu.
Pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai.
Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.
Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan.
amun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya, ia tetap memimpin perang gerilya pada Belanda , tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.
Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada.
Seorang Panglima yang istimewa, dengan kekuatan iman dan keislaman yang melekat kuat dalam dadanya. Sangat meneladani kehidupan Rasulullah, yang mengajarkan kesederhaan dan kebersahajaan. Sehingga perlakuan khusus dari jamaah pengajian yang rutin diikutinya, dianggap terlalu berlebihan dan ditolaknya dengan halus.
Ia menanamkan kepada para anak buahnya, bahwa mereka yang gugur dalam perang ini tidaklah mati sia-sia, melainkan gugur sebagai syuhada. Untuk menyebarluaskan semangat perjuangan jihad tersebut, di kalangan tentara atau seluruh rakyat Indonesia, Jenderal besar ini menyebarkan pamflet atau selebaran yang berisikan seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan Belanda.
Ia mengutip hadits Nabi. “Insjafilah! Barangsiapa mati, padahal (sewaktoe hidoepnja) beloem pernah toeroet berperang (membela keadilan) bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia di atas tjabang kemoenafekan.”
Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya. Ia meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun. Pada tanggal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di TMP Semaki, Yogyakarta.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait