Kendati demikian, menurut Melati, tetap ada cara mencegah terjadinya perundungan. Di sini peran orangtua dan guru sangat besar, antara mencegah anak menjadi korban dan mencegah anak menjadi pelaku perundungan.
"Anak butuh didengarkan. Seringkali kita sebagai orang dewasa mengabaikan suara mereka. Pola pengasuhan baik di dalam rumah atau di luar rumah terutama di sekolah masih lebih banyak top down. Meskipun anak tetap membutuhkan otorisasi atau kewenangan orangtua atau guru, namun jangan sampai kita lupa bahwa anak memiliki ide, pendapat, persepsi, yang perlu untuk kita dengarkan dan kita hargai," katanya.
Kedua, orangtua harus lebih peka dan responsif. Perundungan biasanya tidak terjadi hanya satu kali, anak yang menjadi korban biasanya sudah beberapa kali mengalami hal serupa.
"Biasanya hal ini disebabkan anak tidak terbiasa bercerita atau berpendapat, sehingga bahkan untuk memahami isi pikirannya sendiri pun mereka mengalami kesulitan," jelasnya.
Ketiga, terapkan disiplin positif. Perlu menerapkan aturan yang konkret di rumah dan di sekolah, yang dapat dipahami dengan mudah oleh anak, lengkap dengan penerapan konsekuensi yang konsisten, yang didiskusikan dan disepakati dengan anak di awal.
Kemudian latih dan biasakan keterampilan asertif. Anak perlu diajarkan menyampaikan pendapatnya secara tepat dan kuat, aktif tidak pasif, namun tanpa harus menyakiti orang lain atau tanpa menggunakan cara-cara kekerasan.
Selain itu, perlu kerja sama aktif antara orangtua, guru, dan masyarakat dengan stakeholder. Melati mengatakan, seorang anak bisa menjadi pelaku perundungan biasanya karena adanya trauma masa lalu terkait dengan pengalaman kekerasan yang pernah diterima terutama di masa kecil atau early life nya.
Editor : Alfiatin
Artikel Terkait