JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Peristiwa 30 September 1965 (G30S PKI), selain menimbulkan banyak korban jiwa, juga meninggalkan rasa duka yang mendalam. Pasukan TNI dari RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat), cikal bakal Kopassus dan unit lainnya dikerahkan untuk membasmi sisa-sisa PKI yang telah menyebar hampir di seluruh Indonesia.
Saat itu, anggota militer Indonesia berusaha untuk mengeksekusi mati seorang anggota PKI, namun peristiwa yang tidak terduga terjadi.
Anggota PKI yang dimaksud terlihat tidak bisa dieksekusi. Dirinya kebal terhadap peluru dan bahkan sama sekali tidak menunjukkan rasa takut, meski sedang menjalankan proses eksekusi mati.
Di tengah alun-alun Blora, seorang tentara menembak seorang tahanan PKI tepat di kening. Anehnya, pria itu tidak mati. Situasi ini membuat Mayor Kemal Idris yang menjadi komandan Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi bingung.
"Ada apa Mayor?" tanya anak buah Mayor Kemal Idris. "Itu tawanan minta mati," tukas Mayor Kemal.
Tidak percaya, si bawahan itu mengambil pistol dan menempelkannya di kening anggota PKI tersebut. Tetapi, pistol tersebut tidak berfungsi, meskipun setelah diperiksa, peluru masih penuh. Anak buah Mayor Kemal Idris terus mengulang proses penembakan, tetapi pistol itu tetap tidak bisa menembak.
"Kamu punya ilmu ya?" tanya sang bawahan. "Tidak," jawab anggota PKI tersebut.
Anak buah itu kembali mencoba mengeksekusi tawanan itu, dan kali ini, pistol berfungsi. Tembakan itu membuat tawanan itu terhempas ke belakang dan tewas di tempat.
"Rupanya, jawaban "Tidak" dari sang jagoan merupakan kunci pelepasan ilmu kebalnya," ungkap Mayjen TNI (Purn) Rachwono. "Sehingga dia mati sesuai permintaannya," tutupnya.
Pada saat itu, Mayjen TNI (Purn) Rachwono memang ikut dalam Batalyon Kala Hitam saat menggulung sisa-sisa kekuatan PKI Madiun seperti dikutip dalam dokumen pribadinya.
Melansir buku "Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando", karya Hendro Subroto, saat itu sedang terjadi pemburuan atas seorang dukun bernama Mbah Mulyono Surodiharjo, yang dikenal sebagai dukun sakti dan sering mengobati orang sakit.
Selain mampu mengobati orang sakit, Mbah Suro, diketahui memiliki ilmu sakti yang membuatnya kebal senjata. Mbah Suro bahkan mampu membuat pengikutnya memiliki kesaktian yang sama seperti dirinya
Sebelum menjadi dukun di sebuah desa bernama Desa Ninggil, Mbah Suro pernah menjadi lurah. Dirinya beralih menjadi dukun dan membuka praktik untuk mengobati orang sakit setelah beberapa lama turun menjadi lurah.
Saat itu, Mulyono Surodiharjo melakukan pergantian nama baru menjadi Mbah Suro juga diikuti dengan perubahan penampilan. Salah satunya adalah memelihara kumis tebal dan rambut panjang layaknya seorang dukun.
Mbah Suro kerap melakukan berbagai kegiatan berbau mistis dan menyebarkan kepercayaan Djawa Dipa. Tidak hanya itu, Mbah Suro juga sering memberi jampi-jampi atau mantera dan air kekebalan kepada para muridnya, terlebih untuk mereka yang dianggap meresahkan.
Pengikutnya percaya bahwa mereka menjadi kebal terhadap senjata tajam dan senjata api berkat ajaran Mbah Suro.
Untuk menangkap dan membubarkan praktek perdukunan Mbah Suro, Kopassus membuat strategi khusus untuk meringkus dirinya. Dalam bukunya, Hendro menuturkan bahwai Kopassus terpaksa menggunakan kekerasan karena gagal menggunakan jalan damai.
Penyerbuan padepokan Mbah Suro dilakukan Kodam VII/ Diponegoro beserta satu Kompi RPKAD (Sebelum berganti nama menjadi Kopassus) di bawah pimpinan Feisal Tanjung. Dengan penyerbuan itu, Mbah Suro pun berhasil ditundukkan.
"Pangdam terpaksa memerintahkan agar penutupan dilakukan dengan jalan kekerasan, karena segala upaya jalan damai yang ditempuh telah menemui jalan buntu," tulis Hendro.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait