BANYUMAS, iNewsPurwokerto.id - Indonesia merupakan negara kepulauan dengan berjuta keindahan alam. Sumber dayanya memberikan kehidupan dan kesejahteraan untuk kelangsungan kehidupan manusia.
Dikelilingi dengan pegunungan vulkanis, tanah Indonesia yang terkenal subur adalah tempat terbaik untuk ditanami berbagai macam tumbuhan. Salah satunya adalah kopi.
Dikutip iNewsPurwokerto.id dari berbagai sumber pada Rabu (5/10/2022), sejarah kopi di Karisidenan Banyumas, Jawa Tengah kala itu tak lepas dari masa penjajahan Belanda.
Pada tahun 1696, tanaman kopi Arabica (Coffee Arabica L.) yang berasal dari Kannur-Malabar, India dibawa ke Jawa atas anjuran Wali Kota Amsterdam Nicolas Witsen dan komandan tentara Belanda di Malabar Andrian van Ommen sebagai tanaman perkebunan hingga sekarang. Kopi dibawa sebagai salah satu komuditas perkebunan yang dikelola VOC.
Sejak Kopi masuk ke Indonesia oleh pasukan Belanda dan disebar ke berbagai wilayah Indonesia, kopi menjadi komuditas dagang yang paling diandalkan oleh VOC pada masa tanam paksa, salah satunya di karesidenan Banyumas. Kaki Gunung Slamet di wilayah Purbalingga yang waktu itu sebagai bagian dari wilayah Karesidenan Banyumas juga sudah mulai mengenal kopi.
Petani di Banyumas melakukan sortir biji kopi (Foto: Arbi Anugrah/ iNewsPurwokerto.id)
Jutaan pohon kopi tersebar di seluruh Kabupaten seperti Banyumas, Purbalingga, Purwokerto, Dayluhur, Banjarnegara.
Dalam laporan yang dibuat oleh Hallewijn disebutkan bahwa di Distrik Kertanegara, Purbalingga, penduduknya telah menanam tanaman kopi walaupun tidak disebutkan dari mana mereka pertama kali memperoleh bibit tanaman kopi tersebut. (Hallewijn, Overzigt der Land Beschrijving van Banjoemas in het Algemeen, 1831).
Setelah VOC runtuh dan masuk di era tanam paksa pada masa Gubernur Jenderal Van Den Bosch, Purbalingga yang memiliki lahan yang subur dan iklim yang cocok tak luput dari sasaran, komuditas utamanya tentu saja kopi selain teh dan kina.
Tanaman kopi arabika yang ditanam penduduk Purbalingga sebelum masa tanam paksa itu diistilahkan dengan nama "Kopi Manasuka". Kopi Manasuka adalah tanaman kopi yang ditanam di pekarangan serta kebun sekitar rumah sehingga orang Belanda manamakan kopi yang mereka tanam dengan istilah paggerkoffij.
Paggerkoffij atau kopi pager dan kopi kebun ini sebenarnya bukan sebagai tanaman utama dan tidak disiapkan lahan khusus serta biasanya dekat dengan pemukiman penduduk. Tanaman kopi ini ditanam berdampingan dengan tanaman lain, baik tanaman industri maupun tanaman bahan pangan. Jenis kopi berikutnya adalah kopi hutan.
Masing-masing terbagi dalam klasifikasi, yaitu: kopi kebun ( tuin ), kopi hutan ( bosch-koffij ), kopi pagar (pagger-koffij). Pada tahun 1838 di kabupaten Purbalingga sudah terdapat 3.837.215 batang pohon kopi pagar yang dapat ditanam bersama tanaman lainnya. Untuk kopi hutan, ditanam di lereng-lereng gunung yang jauh dari pemukiman penduduk.
Pada masa pelaksanaan tanam paksa, Kepala desa sebagai ujung tombak pelaksanaan sistem tersebut mendapat uang kehormatan yang paling besar yaitu 2 % dari seluruh hasil panenan di desanya. Dengan perangsang ini maka kepala desa bekerja sekuat tenaga untuk memperluas perkebunan di wilayahnya terutama untuk perkebunan kopi.
Dalam tempo yang relatif sangat singkat, di Karesidenan Banyumas telah ditanam jutaan pohon kopi yang tersebar di seluruh kabupaten. Berdasarkan data yang dikumpulkan pada tahun 1838, tujuh tahun setelah sistem tanam paksa diberlakukan di Karesidenan Banyumas, seluruh tanaman kopi berjumlah 21.140.722 pohon.
Data tersebut berdasarkan Statistiek der Residentie Banjoemas yang dilansir oleh pemerintah Hindia tahun 1836 menunjukkan bahwa di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Purbalingga itu sudah terdapat sekitar 10.010.00 batang pohon dari total 21.140.722 pohon di Karesidenan Banyumas. Pohon kopi tersebut diantaranya kopi pager, kopi hutan dan kopi kebun baik pohon muda maupun pohon produktif.
Angka 10.010.00 batang pohon di Kabupaten Purbalingga sendiri merupakan yang terbesar di wilayah Karesidenan Banyumas saat itu. Sehingga Purbalingga bisa dikatakan sebagai produsen kopi terbesar di wilayah Banyumas dan sekitarnya.
Sampai saat ini jejak kejayaan kopi di eks - Karesidenan Banyumas khususnya di Kabupaten Purbalingga masih terlihat, diantaranya ada dua buah bangunan atau yang lebih umum disebut dengan istilah gardu yang berdiri di tepian jalan raya di wilayah Kecamatan Karangreja di Jl.Goa Lawa, Desa Siwarak. Sedangkan satunya lagi berdiri di Desa Tlahab Lor, tepatnya di tepi jalan Provinsi yang menghubungkan wilayah Purbalingga dan Pemalang.
Gardu pos penjagaan yang dibangun pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi perkebunan di Purbalingga. Foto: Dok Stafsus Menkop UKM Agus Santoso.
Gardu itu merupakan pos penjagaan yang dibangun pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi perkebunan, salah satunya perkebunan kopi yang ada di wilayah Karangreja dan sekitarnya.
Selain gardu terdapat pula peninggalan lain berupa lahan yang khusus disiapkan untuk perkebunan kopi yang ada di Desa Siwarak bagian tengah yang dinamakan dengan Koffie Centraal atau Sentra Kopi atau oleh penduduk lokal disebut sebagai Kopi Santri.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Purbalingga tahun 2016, total luas lahan yang ditanami pohon Kopi Robusta di kabupaten Purbalingga mencapai 1.467,8 hektare, dengan hasil produksi pada tahun 2016 mencapai 537,791 ton. Sedangkan lahan yang ditanami pohon Kopi Arabika hanya 57,55 hektare dengan jumlah produksi sebesar 13,922 ton.
Karena kondisi geografis maka tidak mengherankan apabila penanaman kopi hutan di Karesidenan Banyumas lebih sedikit dibandingkan dengan penanaman kopi kebun dan kopi pager.
Kopi pager menempati posisi tertinggi secara kuantitas, sementara kopi kebun hanya seperempatnya. Tenanaman kopi hutan terbanyak di Kabupaten Purwokerto, terutama ditanam di distrik Ajibarang yang tanahnya bergunung-gunung dan sebagian ditanam di lereng-lereng gunung Slamet.
Keterlibatan petani dalam perkebunan kopi ini tidak sebatas menanam dan merawatnya, tetapi juga memanen, menjemur, dan membersihkan biji kopi. Hingga mengangkutnya ke gudang-gudang yang tersedia sebelum akhirnya di bawa ke gudang induk di Cilacap dengan perahu.
Sampai tahun 1838 jumlah keluarga petani yang terlibat dalam perkebunan kopi di Karesidenan Banyumas adalah 32.061 keluarga. Seluruh keluarga ini tersebar di 2.616 desa dan kampung. Selama masa tanam paksa, petani Banyumas paling tidak sudah tiga kali mengganti jenis tanaman kopi mereka. Pertama kopi arabica, diganti kopi liberia dan terakhir kopi robusta.
Banyumas dan Kabupaten yang berada di kaki Gunung Slamet seperti Purbalingga, Pemalang, Tegal, Brebes awalnya merupakan tanah yang kaya penghasil komuditas kopi, jauh sebelum ada gula dan cengkeh.
Namun karena kurang baiknya manajemen produksi, serangan wabah karat daun dan masuknya penjajah Jepang ke Indonesia, sentra perkebunan kopi ini tidak pernah berkembang seperti yang diharapkan.
Seperti kopi di Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, Brebes hilang karena terputusnya pengetahuan tentang pemeliharaan, budidayanya setelah Belanda pergi dan tidak meninggalkan ilmunya. Sehingga ilmunya hilang tidak sampai ke masyarakat. Berbeda dengan daerah lain seperti Temanggung dan Wonosobo dimana dikelola PTPN IX.
Untuk mengembalikan kejayaan kopi di wilayah Kerisidenan Banyumas, pada tahun 2019 para pegiat kopi di sekitar Lereng Gunung Slamet sempat mengadakan Festival Kopi Gunung Slamet. Tujuannya adalah untuk mengungkap jejak sejarah panjang kopi serta memperkuat hulu hilir kopi untuk menghasilkan sebuah Indeks Geografis (IG) Kopi di Lereng Gunung Slamet.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait