JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Sosok Panglima Besar Jenderal Soedirman patut menjadi teladan bagi bangsa Indonesia. Meski dalam keadaan berperang, Jenderal Soedirman selalu menjaga wudhu dan ibadah sholat serta puasa.
Semangat pemimpin TNI pertama kali dalam membela negara dan beribadah tidak diragukan lagi. Jenderal Soedirman sangat dikenal sebagai sosok yang rajin berpuasa. Walau dalam keadaan berperang gerilya, ia tak pernah meninggalkan sholat, bahkan di tengah kondisi yang tak menentu, ia selalu menjaga wudhu-nya.
Dikutip dari Okezone, Jenderal Soedirman mengawali karier sebagai dai muda yang giat berdakwah di Cilacap dan Banyumas kerap memerintahkan ajudannya untuk membawa kendi yang berisi air semasa bergerilya. Ternyata air yang dibawa ajudannya itu ia gunakan sebagai air wudhu.
Jenderal Soedirman bahkan sering menasihati anak buahnya jika gugur dalam perang, maka gugur sebagai syuhada. Pada 18 Desember 1945 ia diberikan pangkat Jenderal lewat pelantikan Presiden.
Pria bernama asli Raden Soedirman ini lahir pada 24 Januari 1916 di Purbalingga, Jawa Tengah. Ia merupakan anak dari pasangan Karsid Kartawijaya, yang merupakan seorang pekerja di pabrik gula di Kalibagor, Banyumas dan ibunda bernama Siyem yang merupakan keturunan Wedana Rembang.
Sosok yang pernah memimpin pertempuran dengan Jepang dan berhasil merebut senjata Jepang di Banyumas ini dikenal sangat berwibawa dan memiliki kehidupan yang sederhana, sehingga sosok Jenderal Soedirman sangat dikagumi.
Keistimewaan Jenderal Soedirman lainnya, ialah perannya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia memilih berperang gerilya dan keluar masuk hutan untuk melawan pasukan Belanda, meskipun kondisinya saat itu sedang tidak sehat.
Dalam keadaan sakit paru-paru (TBC), Jenderal Soedirman merupakan seorang pemimpin perang gerilya yang selalu mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Saat mendengar pernyataan Belanda yang menyatakan secara sepihak jika mereka sudah tidak terikat dengan perjanjian Renville, serta menyatakan penghentian gencatan senjata, membuat Jenderal Soedirman tidak bisa tinggal diam.
Pada 19 Desember 1948, Jenderal Simons Spoor, seorang panglima tentara Belanda, memimpin Agresi militer ke II, dan menyerang Yogyakarta yang pada saat itu menjadi ibu kota Indonesia.
Saat itu, Belanda berhasil menahan Presiden Soekarno, Mohammad Hatta, dan hampir seluruh menteri. Beruntungnya, mereka tidak berhasil menangkap Jenderal Soedirman, karena saat pasukan Belanda mengepung Istana, ia telah berangkat bersama para pasukannya untuk memulai perang gerilya.
Bahkan, Jenderal Soedirman menolak tawaran dari Presiden Soekarno untuk bersembunyi di dalam kota sembari menunggu sakit TBC yang dideritanya sembuh. Dengan keadaan sakit itu, Jenderal Soedirman menunjukkan tekadnya sebagai panglima pemimpin pasukan.
Dengan diangkat menggunakan sebuah tandu, akhirnya Jenderal Soedirman melakukan perang gerilya melalui hutan. Hanya dengan satu paru-paru, ia dan pasukannya harus menempuh perjalanan panjang, naik turun gunung, keluar masuk hutan demi menghindari serangan dari pasukan Belanda ia lakoni demi kemerdekaan Indonesia.
Meski sedang sakit, perjuangannya bersama para pasukannya saat itu tidak sia-sia. Dengan taktik dan strategi yang diberikannya kepada para pasukannya, ia berhasil membuat pihak Belanda kalang kabut karena adanya serangan yang datang secara tiba-tiba.
Dirinya juga telah menyiapkan sebuah serangan yang telah ia pikirkan dan rencanakan dengan matang. Serangan yang dilakukan secara serentak di wilayah Indonesia, pada 1 Maret 1949 pagi itu, dikenal sebagai peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait