BANJARNEGARA, iNewsPurwokerto.id - Selama bertahun-tahun, permasalahan sampah di Dataran Tinggi Dieng, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara kerap menghantui masyarakat sekitar. Bahkan, sampah yang terkumpul dari wisatawan di kawasan Dieng semakin menggunung tanpa ada upaya penanganan.
Kini, untuk mewujudkan sektor pariwisata hijau di kawasan dataran tinggi Dieng, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) dikelola oleh pemerintah Desa Dieng kulon, pelaku wisata dengan dukungan dari Bank Indonesia (BI) kantor perwakilan Purwokerto. Sampah yang sebelumnya menjadi momok karena baunya yang mengganggu kawasan wisata, kini dapat dikelola dengan baik.
Bahkan sampah yang sebelumnya menggunung, kini sudah bisa dipilah dan sebagian dijual hingga memiliki pendapatan dari sampah tersebut.
Sebelum dibangun TPST, sampah dibiarkan begitu saja. Foto: Dok BI Kantor Perwakilan Purwokerto
"Dulu kita hanya baru bisa membuang, mungkin jangka waktu 3-4 tahun ke depan kita sudah tidak punya tempat. Tapi setelah ada hanggar dan ada pengolahannya, dan semuanya bisa terlibat termasuk dari SDM nya, Alhamdulillah ini sudah 7 bulan tidak ada sampah di luar, semuanya terolah dan ada nilai ekonominya, walaupun sekala kecil," kata Kades Dieng Kulon, Slamet Budiono kepada wartawan di Dieng, Selasa (5/9/2023).
Menurut Slamet, saat sampah-sampah belum diolah seperti saat ini, aromanya bahkan dapat tercium hingga obyek wisata di Kawah Sikidang.
"Objek wisata yang di kawah sikidang itu aroma di sana tidak aroma Kawah Sikidang, tapi aroma sampah dari sini," ujarnya.
Namun sejak adanya bantuan dari BI, diungkapkan Slamet sangat membantu sekali. Apalagi seperti sampah botol, plastik dan karung bisa dimanfaatkan semuanya dengan cara di jual. Sisanya, sekitar 5 persen dari sampah yang terbuang tersebut, belum dapat dimanfaatkan.
"Paling yang benar-benar nggak bisa kita manfaatkan mungkin 5% itu kita bakar," ujarnya.
Slamet mengungkapkan, kini dampak dari adanya TPST, sampah-sampah yang sebelumnya tidak terkelola dengan baik, berangsur-angsur membaik. Bahkan, pihaknya sudah tidak lagi bingung dengan tempat pembuangan sampah, apalagi ke depan pihaknya akan memanfaatkan sampah organik dari hasil pengolahan digunakan untuk pupuk pada tanaman sayuran di kawasan Dataran Tinggi Dieng, sebagai bentuk mendukung sektor pariwisata hijau.
"Lebih bersih otomatis itu, yang jelas kami sudah tidak bingung dengan tempat pembuangan sampah, tapi itu malah kita terbantu dengan adanya ini malah bisa dikelola dengan baik dan ada rencana lagi nanti untuk yang organiknya itu nanti ada dua organik ada yang organik padat dan ada yang organik cair," jelasnya.
Meski demikian, saat ini untuk mengolah sampah menjadi pupuk organik, pihaknya masih kekurangan mesin pengayak kompos. Sehingga, ketika pupuk organik diterapkan di lahan budidaya sayur, masih terdapat campuran sampah plastik.
Wujudkan Sektor Pariwisata Hijau di Dataran Tinggi Dieng, BI Dorong Sampah Jadi Berkah. Foto: Arbi Anugrah
"Seperti yang masih kekurangan di mesin pengayak kompos, jadi belum bisa langsung di terima masyarakat untuk pemupukan karena masih ada campuran-campuran plastik yang kecil-kecil," ujarnya.
Dia menjelaskan jika Dataran Tinggi Dieng adalah salah satu Desa penghasil sampah terbanyak, setidaknya dalam seminggu sekali pihaknya bisa mengambil dua kali dan itu tidak kurang dari empat truk. Jika dihitung sekali pengambilan 12 ton, maka dalam satu minggu pengambilan sampah sebanyak dua kali pengambilan sudah mencapai 24 ton.
"Coba bayangkan kalau dalam 1 bulan terus sampai tidak diolah hanya mengandalkan tempat saja serta kita tidak punya tempat. Memang sangat luar biasa ini," ungkapnya.
Apalagi ketika ada event-event seperti Dieng Culture Festival dan potong rambut anak gimbal yang kunjungan wisatawan pada saat itu sangat banyak, setidaknya dalam sehari saja, pihaknya bisa mengangkut hingga dua dump truk.
"Dalam 3 hari sudah berapa, kita ngitung normalnya untuk yang hariannya itu seperti itu memang beda dengan sampah perkotaan. Tapi diantara banyaknya wisatawan, selain membawa rejeki ke masyarakat juga membawa rejeki ke sampah," ujarnya.
Ia mengungkapkan jika sampah dari TPST ini sudah bisa menghasilkan. Hasil dari pengolahan sampah ini didapatkan dari hasil dari iuran masyarakat dan hasil dari penjualan sampah.
Senada dengan Slamet, Ketua TPST Dewanata, Kabul Suwoto mengatakan jika sampah-sampah yang masuk ke TPST kemudian dipilah dan hasilnya di jual. Meski harga sampah disebut Kabul sangat fluktuatif, setidaknya paling rendah harga plastik Rp250 perkilogram dan sampah kresek pernah dijual seharga Rp1000 perkilogram.
Selain pendapatan dari hasil pemilahan sampah, pendapatan dari TPST di Desa Dieng Kulon ini juga didapatkan dari warga dan pemilik homestay. Adapula kerjasama dengan basecamp pendakian di gunung Prau yang membuang sampahnya ke TPST.
"Iuran warga ada tingkatan, untuk rumah tangga biasa Rp10 ribu per bulan dan yang punya homestay dan usaha Rp25 ribu, itu sudah mengcover tenaga yang mengambil dan yang mengolah. Ada sekitar 1000 KK, dan pelaku usaha sekitar 50 persen," ucapnya.
Dalam sehari, dirinya biasa mengambil sampah di satu Desa Dieng Kulon sebanyak 5 ton. Sampah sampah tersebut hanya baru dapat di pilah dan sebagian diuji cobakan untuk pembuatan pupuk organik untuk tanaman kentang.
"Di sini baru pemilahan saja, dan yang pupuk sedang di uji coba karena ada sampah yang kecil kecil ikut jadi perlu di ayak lagi, karena tidak mungkin kita jual sebagai produk," jelasnya.
Sementara menurut Kepala Perwakilan Bank Indonesia ( BI) Purwokerto Rony Hartawan mengatakan jika awalnya Bank Indonesia melihat bagaimana ekosistem pariwisata dibangun jika daerah sekitarnya kotor. Dari beberapa perkembangan yang dilakukan, dapat merubah sampah menjadi berkah atau uang.
"Menjadi sangat sinergi kalau sampah yang di sini yang tadinya tumpukan bisa membantu biar line sama pariwisata, tapi kan kalau misalkan kita tidak bantu dia menjadi circular economy, itu tidak dapat, karena kita larinya ke circular economy, itu dari sisi di lapangan. Tapi kalau dari sisi perekonomian kita tahu bahwa ekonomi hijau menjadi sumber perekonomian baru, dan ini yang mau kita angkat, dan di daerah sangat link dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat, bagaimana mereka mendapat tambahan penghasilan dari perputaran sampah ini," jelasnya.
Dia menjelaskan jika TPST di Dieng Kulon ini diakuinya belum berkembang signifikan. Sebab masih sekedar pemilahan sampah dengan hasil dari pemilahan yang dapat dijual. Tetapi hasilnya dapat menambah ekonomi dan mengurangi jumlah sampah yang sebelumnya kerap menjadi masalah di sekitar obyek wisata.
"Ini belum berkembang, kita juga belum ngomongin (sampah diolah) menjadi paving blok, menjadi batako, maggot," ucapnya.
Maka dari itu, Bank Indonesia konsen untuk menjadikan kawasan dataran tinggi Dieng menjadi sektor pariwisata hijau agar masyarakat dan pelaku wisata mendapatkan dari hasil pengolahan sampah yang di kelola ini.
"Tempat ini masih subur, kalau dilihat sebelumnya ini luar biasa, sewaktu saya datang ini masih gunung sampah. Intinya, lihat dari makronya dapat mikronya dapat, itulah kenapa BI konsen ke sana," pungkasnya.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait