PURWOKERTO, iNewsPurwokerto.id-Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terus mendorong adanya kesetaraan untuk para penghayat di seluruh Indonesia.
Komisioner Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan bahwa para penghayat kepercayaan di berbagai daerah berharap mendapatkan kesetaraan dalam pelayanan administrasi kependudukan, pendidikan, dan layanan lainnya.
“Sebagai warga negara, mereka berhak mendapatkan pelayanan setara dari pemerintah, terutama terkait hak administrasi kependudukan dan hak atas layanan pendidikan bagi anak-anak mereka,” ungkap Pramono usai Diskusi Publik "Praktik Baik: Mewujudkan Pemenuhan Hak Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa" di Pendopo Si Panji, Purwokerto pada Kamis (15/8/2024).
Pramono menjelaskan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan publik yang setara kepada semua warga negara tanpa memandang latar belakang agama, status sosial, bahasa, dan ras.
Oleh karena itu, forum diskusi publik ini menjadi penting bagi komunitas penghayat kepercayaan untuk mengetahui praktik terbaik dari daerah lain yang sudah lebih maju dalam memberikan layanan kepada penghayat kepercayaan.
"Pemerintah daerah seharusnya belajar dari daerah lain yang telah berhasil memberikan pelayanan yang baik bagi para penghayat kepercayaan," ujarnya.
Pramono menilai masih banyak ketimpangan, seperti dalam pengurusan identitas kependudukan yang masih mempersyaratkan dokumen-dokumen yang seharusnya tidak diperlukan.
Selain itu, di sektor pendidikan, dukungan bagi penghayat kepercayaan masih kurang, seperti penyediaan pengajar yang mengerti kebutuhan mereka.
"Jika ada pengajarnya, maka pihak sekolah harus memberikan jam pelajaran dan insentif bagi pengajar penghayat kepercayaan," jelasnya.
Di level Kabupaten Cilacap, sudah ada pemberian insentif bagi pengajar penghayat kepercayaan meskipun masih terbatas, sementara daerah lain mungkin belum sampai pada tahap tersebut.
Ia menyatakan bahwa kesetaraan dalam layanan pendidikan bagi penghayat kepercayaan tidak hanya mencakup penyediaan pengajar, tetapi juga bahan ajar yang seharusnya ada dalam kurikulum dan buku pegangan.
"Bahan ajar untuk anak-anak penghayat kepercayaan harus standar, dan itu adalah kewajiban pemerintah pusat untuk menyediakannya dan mendistribusikannya ke pemerintah daerah," kata Pramono.
Di tempat yang sama, akademisi dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Mahrus Ali, menyatakan bahwa pihaknya telah bermitra dengan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sejak 2011 untuk mengadvokasi isu-isu penghayat kepercayaan, termasuk di Banyumas.
“Beberapa juga sempat menjadi mitra penguat ketika melakukan uji materi, Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 97 Tahun 2016,” ujarnya.
Lebih lanjut, Mahrus Ali mengakui bahwa regulasi yang berkaitan dengan pengajar penghayat kepercayaan belum ideal karena saat ini baru penyuluh yang dapat diberikan.
Namun, saat ini Kemendikbudristek telah memberikan satu Program Studi Kepercayaan di Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang.
“Salah satu output-nya adalah lulusannya menjadi penyuluh yang setara dengan guru. Jadi sudah tidak hanya penyuluh lagi, tapi menjadi guru penghayat. Kita tunggu saja lulusan dari Untag, mungkin tahun depan,” ujarnya.
Dalam diskusi publik tersebut, terungkap bahwa di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap hanya ada penyuluh penghayat kepercayaan, namun mereka telah mendapatkan beberapa peningkatan kapasitas yang setara dengan guru melalui bimbingan teknis yang diselenggarakan oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat.
Editor : EldeJoyosemito
Artikel Terkait