Nyadran, Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan

Tim iNews
Salah satu prosesi Nyadran di Banyumas sebelum pandemi terjadi

PURWOKERTO,iNews.id - Tradisi Nyadran atau Sadranan masih tetap lestari hingga kini. Masyarakat yang menjalani tradisi Nyadran terutama warga Jawa Tengah (Jateng) dan Yogyakarta. Nyadran sesungguhnya adalah ziarah kubur menjelang Ramadhan. Ada juga yang disertai dengan kenduri bersama.

Mengutip dari berbagai sumber, Sadranan atau Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta, sraddha. Sraddha berarti keyakinan. Nyadran sendiri diartikan sebagai tradisi pembersihan makam dan ziarah kubur oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan.

Sementara dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah syakban. Nyadran dalam budaya Jawa berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.

Waktu prosesi Nyadran berbeda-beda antara daerah yang satu dengan lainnya. Tetapu biasanya pada bulan Rajab atau saat datangnya bulan Sya'ban. 

Dalam ziarah kubur, warga membawa bunga untuk ziarah, terutama bunga telasih. Bunga telasih digunakan sebagai lambang adanya hubungan yang akrab antara peziarah dengan arwah yang diziarahi.

Warga yang mengikuti Nyadran biasanya berdoa untuk keluarganya yang telah meninggal. Seusai berdoa, warga menggelar kenduri atau makan bersama di sepanjang jalan atau di kompleks makam.

Pada beberapa daerah, makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, perkedel, serta tempe dan tahu bacem. 

Di Yogyakarta, Nyadran saat ini dikemas menjadi event wisata budaya, seperti tradisi Sadranan di Makam Sewu, Pajangan Bantul.

Sumber lain menyebutkan Sadranan adalah hasil kreasi dari Walisongo sejak abad ke-15 yang menggabungkan tradisi dengan dakwah, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima masyarakat saat itu.

Pada awalnya, para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agam Islam dinilai musrik. Agar tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelaraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan doa.

Editor : EldeJoyosemito

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network