Kaki Gunung Slamet Jadi Saksi Dahsyatnya Pertempuran Pasukan Indonesia di Banyumas

Aryo Rizqi
Monumen Prompong dibangun sekitar tahun 1979 untuk mengenang pertempuran yang terjadi di Dusun Prompong antara pasukan RI dengan Belanda. (Foto : Aryo Rizqi).

PURWOKERTO, iNews.id - Sejak masuknya Belanda dan menguasai Kota Purwokerto pada agresi militer pertama 31 Juli 1947, pukul 12.00 WIB. Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan seluruh pusat kekuatan Republik Indonesia di Banyumas berpindah ke Utara Purwokerto atau lereng Gunung Slamet.

Sejak saat itu hampir seluruh kekuatan aparatur RI di daerah Karisidenan Banyumas dan Kementerian Dalam Negeri (Departemen Dalam Negeri) serta Kepolisian Negara menggunakan daerah utara Purwokerto sebagai basis gerilya dan pusat kegiatan Pemerintahan RI. Diantaranya di Desa Baseh, Dawuhan Wetan, Dawuhan Kulon, Blembeng, Windujaya serta desa desa sekitar sebagai basis kekuatan tentara Indonesia.

Meskipun pada akhirnya Kementerian Dalam Negeri yang berkedudukan di Baturraden pindah ke Yogyakarta yang masih dikuasai RI. 

Dikutip iNews Purwokerto dalam buku 'Banyumas Membara Era Tahun 1945-1950'. Setelah menduduki Purwokerto, Belanda kemudian mengadakan pembersihan ke desa-desa sekitar yang menjadi basis perjuangan tentara Indonesia di Banyumas. Di desa-desa yang oleh Belanda diperkirakan diduduki pasukan RI terus menerus dihujani peluru meriam dari Kota Purwokerto.

Patroli Belanda memasuki desa-desa yang letaknya tidak jauh dari kota sambil membersihkan rintangan. Desa Karangnangka juga tidak luput dari dari gempuran kolone (barisan tentara yang diatur sebagai lajur) Belanda. Pada 6 Agustus 1947 sekitar pukul 15.00 WIB, satu kolone Belanda dengan dikawal satu panser tampak menuju Desa Karangnangka melalui arah selatan. 

Pada saat yang sama, dari arah timur, Pamijen datang tentara Belanda lainnya hingga terjadi tembak menembak antara pasukan Belanda dengan pasukan TNI yang dipimpin oleh Kompi Koesworo. Tembak menembak itu akhirnya membuat Belanda mundur.

Pada hari itu pula, setelah pertempuran di Desa Karangnangka, pasukan Kompi Koesworo bergeser ke Desa Prompong yang berjarak 6 kilometer dari alun-alun Kota Purwokerto. Di desa tersebut sudah bersiap pasukan Hizbullah. Hingga pada 7 Agustus 1947 hari Kamis malam, Kompi Koesworo menyerang Kota Purwokerto yang dikuasai Belanda dengan membawa satu regu mortir yang dikawal oleh pasukan pelajar IMAM. 

Pasukan lainnya tetap tinggal di Prompong mengadakan penjagaan yang ketat termasuk pasukan Hizbillah dari Tegal yang dipimpin Asikin. 

Pasukan Pelajar IMAM sendiri merupakan realisasi dari gagasan pemuda Soeparto, seorang pelajar kelas 3 SMP yang mengumpulkan kawan-kawannya yang bersimpati dengan perjuangan untuk membentuk satu pasukan pelajar bersenjata bersama BKR untuk mempertahankan kemerdekaan.

Pada hari Jumat 8 Agustus 1945 sekitar pukul 07.00 WIB, terjadi pertempuran sengit, antara pasukan pelajar IMAM dengan Belanda. Penyergapan oleh Belanda secara tiba-tiba tersebut mengejutkan pasukan pelajar IMAM yang dipimpin oleh Mochammad Besar.

Pesawat pengintai (capung) dan satuan -satuan lapis baja menyerang Dusun Prompong dari arah selatan. Satu kolone menyusuri sungai kecil sebelah timur desa dan kolone lainnya masuk melalui kebun jagung dan jalan desa dengan cara menyelinap tanpa sekalipun mengeluarkan suara tembakan sebelum menyerang. 

Tentara Belanda yang masuk membuka serangan masuk desa, sehingga terjadilah tembak-menembak yang sangat sengit dalam satu desa. Mereka harus menghadapi kondisi dan situasi yang begitu mendadak. Keadaan menjadi kalut dan kacau, karena tembakan datang dari depan dan belakang. Terjadilah pertempuran jarak dekat ditengah ladang jagung milik penduduk. Peluru-peluru mortir musuh maupun dari tentara sendiri berjatuhan di tengah-tengah pasukan yang sedang baku tembak.

Namun karena jumlah pasukan dan senjata pasukan pelajar IMAM kalah dari musuh, pasukan IMAM berlahan mundur dengan membawa serta korban. Termasuk pemimpin mereka Mochammad Besar dan Soeparto anggota Kompi Koesworo yang juga berasal dari IMAM serta dua korban dari Hizbullah dan tiga penduduk desa yang ikut gugur.

Dalam pertempuran tersebut, sangat terasa sekali betapa tidak berdayanya pasukan RI yang kalah dalam segi persenjataan dan pengalamann dibanding pasukan Belanda yang sudah terlatih. Usai pertempuran, pasukan RI mulai bergeser dari Prompong ke utara dan sebagian lagi ke arah barat.

Sebagai bentuk penghormatan untuk mengenang gugurnya para pahlawan dalam pertempuran Prompong. Maka keluarga besar IMAM membangun 'Monumen Prompong' yang terletak di jalan raya antara Purwokerto-Baturraden. 

Tugu berdiameter 200 centimeter dengan tinggi 140 centimeter dan berbentuk silinder serta tidak beraturan dibangun sekitar tahun 1979 untuk mengenang pertempuran yang terjadi di Dusun Prompong antara pasukan RI dengan Belanda. Diantara tugu tersebut tersemat kalimat yang tertulis, meskipun sudah mulai lapuk termakan usia, tapi sepenggal kalimat tersebut menggambarkan betapa dahsyatnya pertempuran kala itu.

Di pagi cerah dan hening ini
Gunung Slamet megah bagai saksi
Musuh datang merobek kesunyian 
Awali hiruk pikuk pertempuran
Akhirnya
Ku relakan jiwa ragaku ini
Kubiarkan darahku membasuh bumi 
Kesemuanya untuk tanah pusaka tercinta 
Indonesia merdeka

Prompong, 8 Agustus 1947

 

Editor : Arbi Anugrah

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network