PURWOKERTO, iNewsPurwokerto.id — Penataan pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Menara Teratai atau di Jl Bung Karno Purwokerto, kini menjadi fokus perhatian serius dari DPRD Jawa Tengah.
Upaya ini tidak hanya untuk menata ulang kawasan wisata yang semakin padat, tetapi juga demi menciptakan ruang publik yang tertib, ramah pengunjung, dan tetap berpihak pada ekonomi rakyat. Solusinya harus berpihak pada ekonomi rakyat dan inklusif.
Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah, Setya Arinugraha, menegaskan bahwa keberadaan PKL bukan untuk dihapus, melainkan diintegrasikan secara fungsional dan estetis dalam ruang kota.
“Penataan yang tepat justru akan memperkuat citra Menara Teratai sebagai ikon wisata dan penggerak ekonomi lokal. Kita butuh area khusus yang terjangkau dan mudah diakses bagi PKL,” ujarnya dalam sebuah forum dialog.
Menara Teratai sendiri kini menjadi primadona wisata baru di Purwokerto. Dengan ketinggian 117 meter dan lima lantai multifungsi, kawasan ini berkembang pesat sebagai ruang interaksi publik. Namun, pesatnya kunjungan juga memunculkan persoalan tata ruang, terutama dengan menjamurnya aktivitas ekonomi informal di sekitarnya.
Arinugraha menilai, pengelolaan kawasan semestinya dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan desain yang inklusif. Ia mendorong evaluasi menyeluruh terhadap kinerja BLUD Pariwisata Banyumas serta penyusunan rencana ruang yang menjangkau semua lapisan masyarakat.
Sejumlah strategi telah dirancang untuk mengharmoniskan aktivitas pariwisata dan ekonomi informal di sekitar Menara Teratai, di antaranya relokasi PKL ke zona khusus yang tertata dan tetap strategis dan embentukan paguyuban sebagai forum komunikasi dan penguatan tanggung jawab bersama.
Selain itu, juga ada program pelatihan usaha, digital marketing, dan sanitasi lingkungan, penyediaan fasilitas pendukung seperti gerobak seragam, tenda estetis, serta toilet umum dan pemanfaatan teknologi digital berbasis lokasi untuk memantau dan mengelola aktivitas PKL secara real-time.
Selain langkah teknis, penataan ini juga mengadopsi prinsip-prinsip perencanaan kota modern, seperti mixed-use development, zonasi fleksibel, urban acupuncture, hingga pengelolaan digital berbasis data.
Model semacam ini telah terbukti efektif di sejumlah kota besar di Asia seperti Seoul dan Bangkok, serta contoh domestik seperti kawasan Malioboro, Yogyakarta.
“Penataan Malioboro adalah bukti bahwa PKL bisa hidup berdampingan dengan estetika kota. Kuncinya adalah kolaborasi dan manajemen yang bijak,” ujar Arinugraha.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa setiap kebijakan penataan harus dilandasi kajian mendalam. Mulai dari alasan PKL memilih berdagang di trotoar, aksesibilitas lokasi baru, hingga kelayakan ekonomi di shelter relokasi. Kajian ini, menurutnya, idealnya melibatkan akademisi, pemerintah, dan para pelaku UMKM secara langsung.
“Penataan PKL tidak bisa hanya dilihat sebagai penertiban semata. Ini bagian dari upaya mewujudkan keadilan sosial dan pemberdayaan ekonomi di ruang publik,” tegasnya.
Editor : EldeJoyosemito
Artikel Terkait