Peraih Gelar Doktor UGM Ini Teliti Terjadinya Pendangkalan Reforma Agraria

Aryo Rizqi
Barid Hardiyanto, peneliti agraria di Lembaga Penelitian Pengembangan Sumber daya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH). (Foto : Dok Pribadi).

PURWOKERTO, iNews.id - Reforma agraria merupakan konsep yang digunakan untuk mengatasi ketimpangan agraria sekaligus menjadi jalan bagi pembangunan ekonomi politik yang lebih berkeadilan. Namun demikian, reforma agraria bisa saja justru berimplikasi buruk bagi masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi karena terdapat ketidaksesuaian antara kebijakan teknokratis pemerintah dengan artikulasi kepentingan rakyat.

Ketidaksesuaian tersebut terjadi sebagai dampak dari pendangkalan pemikiran akibat dari pola pikir pemerintahan yang menjadikan kebijakan reforma agraria sebagai pencitraan agar dianggap sebagai pemerintahan yang populis.

Demikian pernyataan Barid Hardiyanto, peneliti agraria di Lembaga Penelitian Pengembangan Sumber daya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) yang juga pengajar di Univertas Amikom Purwokerto dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, saat melaksanakan ujian tertutup program doktor di Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM) beberapa waktu yang lalu.

“Terjadinya pendangkalan terhadap reforma agraria sangat mungkin terjadi di setiap pemerintahan. Penelitian yang saya lakukan ini terjadi pada Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada waktu sangat dikenal mengandalkan pencitraan dalam gerak politiknya. Kondisi ini nampaknya terjadi juga di era Jokowi yang memasukkan reforma agraria dalam program Nawa Cita,” kata Barid dalam pesan tertulisnya kepada purwokerto.inews.id , Minggu (23/5/2021).

Selain mengungkapkan adanya pendangkalan reforma agraria, disertasi “Reforma Agraria: Incompatibility antara Kebijakan Teknokrasi dengan Kepentingan Rakyat” yang juga dimuat dalam Jurnal Internasional Land Use Policy berjudul: “Politics of land policies in Indonesia in the era of President Susilo Bambang Yudhoyono” ini menemukan: pertama, dalam setiap tahapan kebijakan terdapat pertarungan kepentingan karena adanya perbedaan antar aktor dalam memahami reforma agraria. 

Di level masyarakat, reforma agraria dipahami sebagai upaya untuk membuat kehidupan yang lebih baik. Pada level swasta, reforma agraria dijalankan untuk sekedar menggugurkan tugas sebagai bagian dari aparatur negara, sedangkan pada level negara, reforma agraria digunakan sekedar untuk kepentingan agar dianggap sebagai pemerintahan yang populis.

Temuan kedua menunjukkan bahwa petani melalui interaksi pengalaman individu dan kondisi sosialnya serta ragam metode telah berupaya untuk mengambil bagian dalam perumusan kebijakan dan implementasi reforma agraria. Namun demikian, upaya tersebut gagal karena dihambat dan tidak diakomodasi oleh birokrasi negara mulai dari level atas sampai bawah.

Penelitian yang dipromotori oleh Prof. Dr. Susetiawan dan Dr. Arie Sujito ini juga meneguhkan pentingnya pelaksanaan land reform plus atau reforma agraria bukan hanya membagi-bagi lahan, tetapi juga menjadi bagian dari perubahan relasi sosial, ekonomi dan politik di masyarakat.

“Tanpa adanya perubahan relasi di masyarakat maka reforma agraria hanya akan menjadi program populis dan sekedar menjadi pemanis pemerintahan dari waktu ke waktu serta tidak berdampak bagi terciptanya keadilan di masyarakat,” tandasnya. 

 

Editor : Arbi Anugrah

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network