Bagi Rianto, Menari Adalah Sebuah Ibadah dan Perjalanan Kehidupan

Agustinus Yoga Primantoro
Penari ternama asal Banyumas, Rianto (40). (Foto : Agustinus Yoga Primantoro)

BANYUMAS, iNews.id - Langit Banyumas sore itu menampakkan wajahnya yang kelabu. Di sisi lain, dari jauh terdengar suara alunan nada-nada yang merdu dari bunyi calung khas Banyumasan. 

Dua momen berbeda yang tertangkap secara bersamaan kala itu seakan membawa alam pikiran pada sebuah dualisme, antara indahnya perpaduan suara dengan pemandangan sore yang temaram. Keduanya seakan hendak memberikan pesan bahwa dua hal yang berbeda sekalipun dapat menyatu dan memberi kesan tersendiri.

Di sebuah bangunan yang tersembunyi di balik kantor dinas pemerintahan, tampak sekelompok orang yang sedang berlatih tari. Bukannya tanpa maksud, kedatangan saya ke Rumah Lengger yang berada di kompleks kantor Kecamatan Banyumas kali ini adalah untuk bertemu dengan sang Maestro Lengger Banyumas, Rianto.

Singkat cerita, kami pun menepi sejenak ke kompleks Ampiteater. Dengan diiringi suara calung yang mengalun merdu, layaknya dalam sebuah pertunjukan, obrolan kami melenggak ngalor-ngidul bak seorang penari.

Rianto pun mulai menceritakan kilas perjalanannya dalam berkarya di dunia tari. Ia mengaku bahwa dalam berkarya, dirinya tak tanggung-tanggung. Bahkan, untuk melahirkan sebuah karya, Rianto harus melakukan sebuah riset yang memakan waktu hingga 3 tahun lamanya. Hal itu dilakukannya sebagai bentuk totalitas dalam mewujudkan sebuah karya seni.


Rianto (paling kiri) mengajarkan tarian tradisional Jawa untuk warga Jepang.

“Sama mas Garin Nugroho untuk film Kucumbu Tubuh Indahku itu dari tahun 2016 baru terealisasi 2018, terus kemudian karya tari kontemporer, judulnya Medium, itu juga 3 tahun, dari mulai tahun 2013 sampai tahun 2016, terus tahun 2016 itu udah mulai tour-tour, ditambah karya Hijrah ini, dari tahun 2018, baru rilis 2021,”ujar pria yang berasal dari Desa Kaliori, Kalibagor, Banyumas itu.

Kemudian, Rianto juga mengisahkan awal mula dirinya bersinggungan dengan dunia tari, terutama dalam kesenian Lengger. Ia mengaku bahwa sejak kecil, jiwa penari dirasakannya telah merasuk ke dalam tubuhnya. Tak hanya itu, ternyata ia juga memiliki sebuah tanda biru di keningnya saat lahir. Hal itu kemudian membuat ibunya membawa Rianto kecil ke sebuah pertunjukkan Lengger.

“Latar belakang keluarga saya sebenarnya bukan penari ataupun seniman. Cuma saya percaya dengan adanya blessing (berkat), kepercayaan Lengger yang mendoakan waktu saya masih kecil itu merasuk dalam tubuh saya, sehingga mungkin saya sejak kecil sudah suka dengan tari, musik, seperti itu. Sejak kecil sampai sekarang, hidup saya, saya dedikasikan untuk menari, karena bagi saya menari adalah sebuah perjalanan ibadah,” tuturnya pada iNewsPurwokerto.id beberapa waktu lalu.

Dalam mengekspresikan dirinya lewat tarian, Rianto memiliki sebuah keyakinan filosofis yang mendalam. Seperti yang diketahui banyak orang, di setiap pertunjukkannya, Rianto mampu menghadirkan dua persona yang berbeda dalam satu tubuh. 

Ia dapat megerakkan tubuhnya secara lemah gemulai layaknya seorang penari wanita, sekaligus ia juga dapat membawakan gerak tegas nan perkasa layaknya seorang penari pria. Apa yang hendak ditampilkannya adalah sebuah kejujuran tubuh yang terbuka sekaligus bersatu dengan alam.

“Sebuah penyatuan antara tubuh dengan alam, kemudian sebuah tubuh yang jujur di atas panggung. Ketika mengekspresikan itu mencoba untuk tidak berpura-pura. Apa yang saya miliki dalam berekspresi itu lewat tari, di situ lebih melebur/nyawiji antara tubuh dengan alam,” jelasnya sembari melenggakkan tangannya dengan lentur.

Apa yang telah dilalui oleh Rianto bukanlah sebuah perjalanan yang mudah, melainkan sebuah jalan terjal nan berbatu. Di tengah masyarakat yang lebih suka membuka mulut ketimbang memasang kedua telinganya dan berusaha memahami apa yang terjadi, pilihan Rianto untuk menjadi seorang penari sejak kecil sudah dianggap nyeleneh. 

Menari yang di mata orang-orang adalah kegiatan yang identik dengan kaum haw aitu seakan tertanam menjadi sebuah dogma di tengah masyarakat. Tentu saja, hal itu tak menyurutkan tekad pria yang berhasil menyelesaikan pendidikannya hingga perguruan tinggi di Sekolah Tinggi Seni Indonesia atau yang sekarang disebut Institut Seni Indonesia (ISI) Solo.

“Seorang laki-laki menari itu dianggapnya banci. Itu sering saya alami ketika masih kecil, tetapi saya ingin menunjukkan dari apa yang dikatakan oleh mereka dengan prestasi dan saya fokus pada dunia tari. Ternyata, dari tari itu bisa menghidupi kehidupan saya. Dari yang mungkin ekonomi kecil atau dari desa bisa menjelajah dunia. Jadi, saya ingin menunjukkan bahwa tari adalah sebuah perjalanan kehidupan yang sebenarnya adalah untuk beribadah, membuat orang jadi bahagia, membuat orang jadi senang, membuat orang yang tadinya berpikir tidak baik menjadi baik, dan sebagainya,” ungkap pria yang berhasil mendirikan sanggar tari di Jepang, Dewandaru Dance Company.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Editor : Arbi Anugrah

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network