Di Kemusuk, Kertosudiro dikenal sebagai sosok sederhana yang penampilannya selalu njawani. Dia selalu mengenakan baju adat Jawa, lengkap dengan kain panjang serta blangkon di kepala. Secara ekonomi, Kertosudiro bukan termasuk kalangan berada. Dia tidak memiliki tanah. Sawah seluas kurang dari satu hektar yang dikerjakan, merupakan sawah bengkok dari jabatannya sebagai ulu-ulu.
Karena tak mampu membeli kerbau, Kertosudiro menggarap sawahnya dengan cara mencangkulinya sendiri. Kendati demikian, kelahiran bayi laki-laki harus dirayakan dengan meriah. Tepat seminggu pascakelahiran putranya, Kertosudiro menggelar hajat selamatan. Diundanglah semua saudara, sanak kerabat, tetangga dekat untuk berkumpul dan makan bersama.
Doa semoga bayi yang baru lahir diberi panjang umur, kesehatan, keselamatan dan murah rezeki dipanjatkan sama-sama. Atas petunjuk tetua kampung, bayi laki-laki itu diberi nama Soeharto. Saat bayi itu dilahirkan, di langit tidak terlihat tanda-tanda yang kudus. Tidak ada letusan gunung berapi dan tiada ramalan tentang seorang "Putera Fajar".
"Kelahiran Soeharto tidak berbeda dengan kelahiran anak-anak lainnya di kampung itu, dengan orang tua yang melarat tetapi berbesar hati,” kata O.G Roeder dalam buku "Anak Desa, Biografi Presiden Soeharto".
Harapan Pak Kerto mendapat anak laki-laki tidak muluk-muluk. Dia membayangkan si anak nanti dapat membantunya di sawah dan dengan kehendak Tuhan akan dapat mewarisi pekerjaannya sebagai ulu-ulu.
Namun Tuhan berkehendak lain. Bayi laki-laki bernama Soeharto yang lahir paska tiga tahun perang dunia pertama dan krisis ekonomi tengah melanda di mana-mana itu, kelak menjadi Presiden Republik Indonesia yang kedua.
Soeharto menjabat Presiden RI selama 32 tahun, yakni mulai 12 Maret 1967 dan berakhir dengan diturunkan paksa pada 21 Mei 1998. Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008, pada usia 86 tahun.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait