BANYUMAS, iNewsPurwokerto.id - Memang betul, bahwa lereng Gunung Slamet wilayah selatan menyimpan beragam kekayaan, salah satunya air. Tetapi, dulu ada dusun-dusun yang tidak pernah mendapatkan suplai air karena terhalang perbukitan.
Padahal, di sekitarnya ada sumber air. Ironisnya, sawah-sawah di lokasi setempat mengalami kekeringan saat musim kemarau.
Sebab, sawahnya adalah tanah hujan. Daerah setempat seperti wilayah yang jauh dari sumber air, padahal begitu dekat.
Itulah mengapa, sejarah membuktikan bagaimana orang-orang Banyumas dahulu berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan air bersih maupun irigasi sawah.
Dimulai tahun 1948, ketika Indonesia baru saja merdeka empat tahun. Situasinya masih serba terbatas, apalagi desa-desa seperti Kalisalak, Windujaya, dan Baseh.
Ketiga desa tersebut berada di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Umumnya warga sebagai petani yang kondisinya miskin.
Hal itu diperparah dengan hasil panen yang hanya sekali dalam setahun. Petani setempat hanya mengandalkan hujan untuk irigasi sawah mereka.
Padahal, di bagian atas desa ada aliran air besar. Namun, tidak bisa mengalir karena terhalang bukit tinggi dan berbatu.
Sebagian warga sejumlah desa memiliki ide. Mereka memikirkan bagaimana supaya air mengalir sampai ke desanya. Ya, gagasannya brilian. Membuat terowongan air.
Bisa dibayangkan, pada tahun 1948 sudah memiliki ide membuat terowongan air. Bagi sebagian besar warga terlalu ngayawara atau mengada-ada. Sebab, selain menembus bukit berbatu, mereka juga tidak pengalaman apalagi alat yang mumpuni.
Penjaga terowongan air. (Foto iNewsPurwokerto.id/Arbi Anugrah)
Dengan mengucap Bismillah, mereka nekad memulainya. Mulai tahun 1949 hingga 1952. Mereka adalah 8 warga yang berpikir untuk dapat mengalirkan air menembus perbukitan berbatu.
Namanya, San Basri, Tadirana, Darwan, Sanwiraji, Sandirana, Ngalireja, Sumardi, dan Sanbesari. Delapan orang itulah yang memiliki ide, bagaimana membangun terowongan yang dapat mengalirkan air dari Sungai Logawa.
Masing-masing warga memiliki peran. Salah satu yang vital adalah penanggung jawab pekerjaan yakni San Basri. Lalu ada Tadirana yang menggambar atau kerennya insinyur desa. Dialah yang bertugas menggambar bagaimana air dialirkan dengan menembus perbukitan.
Sementara Darwan yang merupakan Kades Kalisalak mengatur keuangan. Ada tugas-tugas lainnya yang dilaksanakan oleh lima orang lainnya.
Alatnya? Sangat sederhana. Padahal, mereka harus memecah batu. Ada linggis yang terbuat dari pelepah nira, kemudian ruyung atau sada lanang dan dandang. Untuk penerangan adalah teplok, ting, sentir dan obor.
Menurut Kusnanto (60), warga Kalisalak mengatakan bahwa berdasarkan cerita, pengerjaan pada siang dan malam hari.
“Sehingga kalau malam harus dengan penerangan. Pengerjaan dimulai dari dua sisi, yakni atas dan bawah. Tinggi terowongan sekitar 2 meter dan lebar 80 cm. Pengerjaannya siang malam dan membutuhkan waktu bertahun tahun,”kata Kusnanto yang kini menjadi penjaga terowongan air tersebut.
Kusnanto mengatakan bahwa warga dulu membangun dengan alat sederhana mulai 1949 hingga 1956. Hebatnya, terowongan sepanjang 550 meter tersebut selesai.
Keberadaan terowongan itu mampu menyuplai kebutuhan air untuk 6 desa di Kecamatan Kedungbanteng . Di antaranya adalah Desa Kalisalak, Baseh, Kalikesur, Windujaya, Dawuhan dan Keniten. Desa-desa tersebut berada di lereng Gunung Slamet bagian selatan dari atas sampai bawah.
Terowongan ini memang telah berjasa besar karena telah menghidupi sektor pertanian pada enam desa yang terletak di pertanian bawahnya.
Terowongan air itu bernama Tirtapala atau masyarakat sekitar kerap menyebutnya dengan terowongan air Sanbasri. Letak terowongan sepanjang 550 meter di Grumbul Windusari, Desa Kalisalak, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas.
Kusnanto ditemani Agus Salim (48) memiliki pekerjaan membersihkan saluran air dari bebatuan, batang pohon dan membatasi masuk ke dalamnya. Berbekal sepatu boot, golok dan lampu penerangan yang menempel di kepala, mereka berjalan menembus gelapnya lorong yang dipenuhi dengan suara gemricik air.
Pekerjaan tersebut untuk menjaga sumber penghidupan bagi warga di enam desa yang tinggal di kaki Gunung Slamet.
Kedua lelaki tangguh ini dipercaya untuk merawat terowongan air tersebut mulai dari hulu hingga saluran irigasi yang mengaliri desa sepanjang 2 km.
Terowongan air. (Foto iNewsPurwokerto.id/ Arbi Anugrah)
Tantangannya berat, karena di dalam terowongan gelap dan menjadi sarang kelelawar. Pekerjaan mereka juga penuh dengan risiko, bahkan bertaruh nyawa. Karena terowongan air itu berpotensi longsor serta derasnya arus tak ayal juga dapat menyeret mereka.
"Setahu saya, kesulitannya itu kalau ada longsoran, memang tidak seluruh terowongan kerena ada jendela-jendela itu. Jadi, kalau ada longsoran itu kan masuk, nah kerjaan yang berat di situ, harus dikeruk, harus dibuang itu sampai perjalanan air itu lancar,”ujarnya.
Kusnanto dan Agus Salim telah dipercaya pihak Desa Kalisalak selama enam tahun belakangan untuk merawat terowongan bersejarah ini.
Dengan upah sebesar Rp 350 ribu per orang dianggarkan oleh Desa Kalisalak, Kusnanto dan Agus Salim tetap ikhlas menjalankan tugas menjaga terowongan bersejarah itu.
Walaupun dibayar sedikit, tapi saya ikhlas, saya merawat saluran irigasi Sanbasri sepanjang itu untuk kebutuhan banyak orang, saya menganggap ibadah. Di pikiran saya, dua orang sedang dipercaya untuk melanjutkan perjuangan orang dulu yang menembus igir bukit yang berupa batu ditata sampai sekarang, saya melanjutkan melanjutkan perjuangan,”jelas dua.
Agus Salim menambahkan dirinya dan Kusnanto tak pernah menentukan waktu membersihkan terowonganb air. Mereka akan melakukan pengecekan hingga empat kali dalam seminggu. Semua itu ditentukan oleh faktor cuaca dan kendala yang menghambat jalannya saluran air.
"Makanya, kalau ada bencana, saya tetap fokus ke saluran air, ada apa pun di dalam terowongan yang menyumbat jalan air, pasti saya masuk sama Pak Kus, saya bersihkan di dalam. Rasa was-was pasti ada, namanya kita di dalam tanah, pasti ada was-was,”jelas dia
Agus juga bercerita bahwa suatu ketika, pernah ada sebuah batang kayu besar yang terbawa dari Sungai Logawa saat banjir besar masuk. Batang kayu tersebut menyumbat saluran air. Agus dan Kusnanto mau tak mau harus memindahkannya. Tentu ini bukanlah perkara mudah karena batang kayu tersebut hampir memenuhi terowongan.
"Saya sama Pak Kus berdua, tapi posisinya tidak bisa jongkok dan tidak bisa berdiri, jadi merangkak ngeluarin batang kayu besar itu. Tidak dipotong, karena ada batu, kayunya kejepit, dan itu harus dikeluarkan," ceritanya.
Tidak hanya itu, bahaya longsor yang selalu mereka waspadai juga pernah terjadi. Kala itu, hujan deras mengguyur bagian hulu sungai. Hal itu membuat tanah amblas sehingga menyebabkan aliran air tertambat. Tak pandang waktu, kedua pria paruh baya ini tetap menerobos malam dan masuk ke dalam hutan untuk melakukan pengecekan.
"Saat itu malam, karena ada jebol di pertengahan terowongan, otomatis posisi air dari atas lebih besar (karena hujan di atas), tapi air tidak sampai di sini, karena terhambat. Air itu membentuk pusaran, tidak tahu hilang kemana, masuk kedalam tanah sepertinya, pernah terjadi itu," ucapnya.
Selain sebagai penjaga aliran air Tirtapala, sehari-hari keduanya bekerja sebagai penyadap getah pohon damar. setidaknya dalam setengah bulan, Kusnanto dan Agus Salim dapat mengumpulkan satu kuintal getah damar dengan sekitar Rp 300 ribu.
Sejarah panjang pembangunan terowongan saluran air itu tak lepas dari seorang tokoh yang namanya diabadikan menjadi nama terowongan tersebut, yakni Sanbasri.
Editor : EldeJoyosemito