SEJARAH keberadaan Tanjung Priok tak bisa dilepaskan oleh dua nama jawara yaitu Lagoa dan Haji Tjitra bin Kidang. Mengutip Sejarah Jakarta keduanya menguasai Tanjung Priok sekitar tahun 1920 dan 1950an. Lagoa merupakan tokoh masyarakat Bugis yang bernama asli Labuang De Passore.
Haji Tjitra bin Kidang namanya malang melintang sebagai penguasa penguasa Pelabuhan Tanjung Priok sejak akhir tahun 1920an yang direbutnya melalui pertarungan sengit dengan jago yang juga berasal dari Banten.
Kedua jagoan berbeda etnis ini sempat bertikai memperebutkan wilayah kekuasaan. Nama keduanya kala itu mengisi pemberitaan di koran-koran Ibu Kota.
Perseteruan dua jago tersebut berakhir dengan cerita bahagia. Kedua jagoan ini menjadi juru perdamaian peredam konflik di antara kelompoknya, bahkan dengan komunitas etnis lainnya.
Puncaknya saat ditandai dengan diangkatnya Lagoa menjadi menantu oleh Haji Tjitra bin Kidang sebagai wujud perdamaian dan persaudaraan antara etnis Banten dan Bugis-Makassar di Tanjung Priok.
Sepeninggal keduanya, ternyata aksi premanisme semakin meluas hingga ke luar daerah pelabuhan. Hingga di pertengahan tahun 60an terjadi konflik besar yang memakan banyak korban jiwa antar beberapa etnis penguasa daerah kekerasan di Tanjung Priok. Bahkan, sampai harus melibatkan pejabat tinggi militer yang juga tokoh masyarakat Bugis saat itu, yaitu Jenderal TNI Andi Muhammad Jusuf Amir dan Kolonel TNI Ahmad Daeng Setoedjoe untuk mendamaikan kedua kelompok yang bertikai.
Jenderal Jusuf merupakan salah satu keturunan bangsawan dari suku Bugis. Hal ini dapat dilihat dengan gelar Andi pada Namanya. Namun dia melepaskan gelar kebangsawanannya pada tahun 1957 dan tidak pernah menggunakannya lagi. Dia juga pernah menjabat sebagai Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Selain itu ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan juga Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Meskipun masih ada aksi premanisme, namun Tanjung Priok yang kita kenal sekarang, sudah berubah jauh dan tidak sekeras dahulu, beragam etnis tinggal disana hidup dengan rukun.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta