JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Satuan 81 Kopassus atau yang sebelumnya bernama Sat-81/Gultor Kopassus memiliki sejarah panjang hingga masih berjalan di usia 40 tahun ini.
Melewati sejarah yang panjang, pasukan tersebut banyak memberikan prestasi emas dalam operasi militer maupun operasi kemanusiaan.
Salah satunya operasi Woyla yang dilakukan saat pembebasan sandera penumpang Pesawat Garuda DC-9 di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Kemudian Operasi Mapenduma pada tahun 1996 di Papua dengan membebaskan sandera 9 peneliti asing yang tergabung dalam Ekspedisi Lorentz.
Prestasi emas lainnya yaitu operasi pembebasan KMV Sinar Kudus dari perompak di Somalia pada 2011; Operasi pembebasan 347 sandera di Tembagapura, Papua pada 2017; dan operasi kemanusiaan lainnya.
Melalui buku berjudul “Kepemimpinan Militer: catatan dari pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto“ karya Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto menceritakan kali pertama bertemu Luhut Pandjaitan yang kini sebagai Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Saat itu, Prabowo masih menjadi kapten, sementara Luhut baru kembali dari Operasi Nanggala 5 di Timor Timur.
Berjalannya waktu, Luhut diangkat menjadi kepala seksi 2 operasi dan Prabowo sebagai wakilnya. Keduanya saat itu langsung dikirim oleh sekolah Special Forces ke Amerika Serikat (AS).
Pada tahun 1981 setelah kembalinya Prabowo dari Amerika, Prabowo dan Luhut mendapatkan perintah dari Benny Moerdani untuk melanjutkan pendidikan ke Jerman, ayitu sekolah antiteror GSG9.
Mereka berdua diperintahkan untuk membentuk pasukan antiteror dengan nama Detasemen 81.
Berjalannya waktu, Detasemen 81 berhasil dalam operasi pembebasan sandera di Woyla yang banyak dunia kenal saat itu. Meskipun masih muda, Prabowo sudah diberi tanggung jawab untuk pembangunan pangkalan maupun pengorganisasian.
Saat membentuk dan melatih pasukan antiteror Indonesia, Prabowo menyebut Luhut banyak memberikan masukan terutama untuk menyusun rencana latihan dan administrasi pembangunan. Maka dari itu, hubungannya dengan Luhut disebut sangat baik.
Menurut Prabowo, gaya kepemimpinan dirinya dan Luhut sama-sama keras. Namun Prabowo banyak belajar dari sosok Luhut yang selalu maju digarda terdepan, sehingga dia mengakui bahwa larinya tidak sekuat Luhut. Selain itu, Luhut juga merupakan penembak yang baik dan teliti dalam perjalannnya.
Hal tersebut diakuinya karena menurut Prabowo orang-orang luar jawa memang biasanya lebih kuat dari pada orang jawa.
Setelah kebersamaan yang cukup melekat, keduanya kemudian berpisah. Luhut melanjutkan Sekolah Staf dan Komandi ABRI, sementara Prabowo menjalani Kursus Lanjutan Perwira.
Meskipun begitu, mereka masih saling menghormati walaupun terkadang memiliki pandangan yang berbeda, namun mereka tetap bersatu apabila melibatkan kepentikan merah putih.
Editor : Pepih Nurlelis