get app
inews
Aa Read Next : Ratusan Prajurit Kopassus Jalani Pembaretan di Nusakambangan, Momen Haru Tanpa Kehadiran Keluarga

Letjen TNI Soegito, Pembawa Jenazah Pahlawan Revolusi yang Sempat Gagal Taklukkan Nusakambangan 

Sabtu, 10 September 2022 | 09:03 WIB
header img
Ilustrasi Kopassus (Foto: Istimewa)

JAKARTA, iNewsPurwokerto.id – Keganasan Pulau Nusakambangan tidak hanya angker, tetapi alamnya juga ganas. Begitu juga yang dirasakan oleh Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) ini. 

Awalnya, tentara yang mengangkat jenazah Jenderal TNI Ahmad Yani itu pernah gagal pada saat mengikuti pendidikan komando.

Bagaimana kisah kegagalannya dan kemudian bisa berhasil? Berikut kisah Letjen (Purn) Soegito.

Sebagai anggota pasukan khusus, Soegito diwajibkan berjalan sejauh 500 kilometer (km). Bermula dari Batujajar, Jawa Barat menuju Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Di dalam perjalanan tersebut, setiap personel Kopassus mengikuti berbagai macam latihan yang berat. Latihan tersebut untuk dapat menguasai berbagai keahlian seperti teknik tempur, membaca peta, pionir, patroli, survival, mendaki gunung, pendaratan kendaraan, hingga taktik perang gerilya. 

Tidak hanya itu, personel pasukan khusus tersebut harus menguasai bagaimana bertempur di berbagai medan perang mulai dari perkotaan, pegunungan, perhutanan, rawa-rawa dan laut.

Makanya personel Kopassus merupakan pasukan khusus di bawah naungan TNI-Angkatan Darat. Korps yang berdiri pada 16 April 1952 awalnya disebut RPKAD.  Kopassus merupakan korps dengan kemampuan lengkap di berbagai bidang maupun medan lapangan.

Setiap personel memiliki kenangan masing-masing, begitu beratnya mengikuti Pendidikan komando di Nusakambangan.

Salah satu kisah yang menonjol diungkapkan oleh Letjen TNI (Purn) Soegito. Dalam bukunya "Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen", Soegito mengisahkan beratnya pendidikan komando dimulai di Batujajar pada Februari 1965. 

Waktu itu, Soegito kembali bertemu dengan kelompok juniornya dari AMN (Akademi Militer Nasional) 63 yang baru pulang dari Operasi Tumpas di Sulawesi Selatan. Ada 15 orang perwira remaja alumni 63 mengikuti pendidikan komando.

Tahapan akhirnya adalah para calon prajurit Kopassus itu harus melakukan longmarch dari Batujajar, Bandung Barat ke Nusakambangan, Cilacap sejauh hampir 500 kilometer selama 10 hari. 

Ketika perjalanan itulah, Soegito merasakan sakit tak tertahankan di seluruh sendi-sendi kakinya disertai mendadak lemah sehingga tidak kuat dibawa berjalan. Ia menyerah, meski telah dipaksakan. Tubuhnya lunglai tidak mampu melawan sakitnya. 

Pelatihnya Serma Sutari berusaha menguatkan, tetapi tidak ada pengarihnya. Soegito pun akhirnya ditinggal kelompoknya hingga kemudian dievakuasi oleh pelatih. 

Akhirnya, dia kembali ke Cijantung. Rekannya Soetedjo, tahunya pada waktu finish di Nusakambangan. Sebab, ketika penghitungan, jumlahnya sudah tidak lengkap. Tidak ada Soegito.

Setelah gagal menjalani pendidikan dasar komando, Soegito ditunjuk menjadi staf Mayor Inf Gunawan Wibisono, teman satu letting Mayor Inf Benny Moerdani. 

Mayor Gunawan sedang melakukan penelitian terkait peralatan dan prosedur. Sebagai staf, Lettu Soegito melaksanakan sepenuhnya program yang tengah dijalankan komandannya.

Dia membantu riset untuk melihat kenyamanan penggunaan senapan jika ditambahkan peredam (silencer). Riset lainnya adalah mengenai airdrop resupply alias penerjunan untuk mengirimkan bekal ulang siang dan malam hari.

Riset sekitar dua minggu ini dilaksanakan di Lanud Halim Perdanakusuma dengan dropping zone (DZ) di sisi timur Halim yang berdekatan dengan lapangan golf. Selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Gagal latihan komando, namun malah memberikan kesempatan kepada Soegito untuk menambah jam terjun.

Sebagai salah seorang perwira yang bertanggung jawab dalam riset penerjunan, mau tidak mau ia harus total selama proses penelitian supaya bisa memberikan laporan lengkap kepada atasannya.

Soegito kemudian menyerahkan laporan hasil kegiatan kepada Mayor Gunawan. Saat membantu Mayor Gunawan dengan riset-risetnya inilah, Soegito mendapat perintah untuk membantu pemakaman tujuh Pahlawan Revolusi di TMP Kalibata pada 5 Oktober 1965.

Peristiwa pemakaman ini dikenang sebagai peringatan HUT TNI paling menyedihkan karena bertepatan dengan pemakaman para pahlawan revolusi. Dalam upacara itu, kebetulan sekali Soegito mendapat bagian menggotong peti jenazah Jenderal Ahmad Yani

Baru saja selesai menjadi staf Mayor Gunawan, datang lagi perintah untuk membantu Mayor Inf Heru Sisnodo di Pusdik RPKAD di Batujajar. 

"Dek Gito, nanti kalau mau latihan komando lagi, bila perlu apa-apa bilang saja kepada saya. Sekarang ikut saya jam terjun, sekalian nanti free fall," jelas Mayor Heru yang akrab disapa Soegito dengan panggilan Mas Heru.

Dengan membantu Mayor Heru, jam terjun Soegito semakin bertambah banyak. Anehnya Mayor Heru, kepada Soegito yang nyata-nyata mengikuti pelatihan komando malah diberi tugas merevisi kurikulum latihan komando. 

Soegito keberatan, namun Mayor Heru dengan mengalihkan pembicaraan terkait rencana-rencana penerjunan. "Besok saya terjun, ikut ya,"ucapnya.

Dari kegiatannya membantu Mayor Gunawan dan Mayor Heru, Soegito mengalami peningkatan jumlah jam terjun yang sangat signifikan.

Bahkan dapat dibilang, kam terjun Soegito paling tinggi dari semua perwira lulusan AMN 61. Karena jam terjun yang cukup banyak itu, di kemudian hari di atas wing terjunnya ditambahkan bintang dan bintang merah sekembalinya Dili tahun 1976.

Di sela-sela tugas sambil menunggu dibukanya kembali pendidikan komando, Soegito memeriksakan ke dokter mencari tahu penyebab sakit di kakinya yang menyebabkannya gagal mengikuti pendidikan komando. 

Hasil diagnosa dokter menyebutkan ia terkena malaria, yang salah satunya menyebabkan sakit di persendian kaki dan daya tahan tubuhnya menurun.

Soegito menduga ia tersengat nyamuk yang membawa parasit plasmodium itu saat berdinas di Rindam, Padang. 

Virusnya mendekam sekian tahun di dalam tubuhnya. Terutama di sendi-sendinya.

Kesempatan kedua untuk mengikuti pendidikan komando akhirnya tiba juga. Karena sudah pernah menjalaninya, Soegito malah menikmati setiap tahap yang dilaluinya. 

Bahkan pada tahap long march, petanya disimpan di ransel sewaktu memasuki wilayah Kabupaten Cilacap dan langkahnya diikuti oleh peserta yang lain, yang semuanya adalah juniornya.

Salah satu kenangannya saat pendidikan komando pada tahap pendaratan di Cilacap adalah disuruh jungkir oleh bintara pelatih dari sebuah ketinggian. Alasan pelatih sederhana sekali, hanya karena Soegito orang Cilacap. 

Alasan yang menurutnya jelas-jelas tidak ada korelasinya. Beberapa tahun kemudian, pelatih asal Aceh yang dikenal galak itu malah menjadi anggotanya saat diterjunkan di Dili, Desember 1975.

Komandan RPRAD Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo lalu menarik seluruh peserta latihan ke Cijantung untuk mengikuti parade dan defile di Senayan. 

"Saya salut dengan keuletan Pak Gito. Walaupun gagal latihan awalnya, namun mengulangi lagi sampai selesai. Itu sebuah keuletan yang kami hargai. Beliau tidak pantang menyerah. Mengulangi dari awal itu kan tidak main-main, diperlukan ketabahan yang tinggi,”kata Soetedjo 

Begitu rampung pendidikan komando, Soegito menjabat sebagai Komandan Kompi di Batalion 2 RPKAD di Magelang. Kemudian ia kembali ke Cijantung. Jabatannya Danki A Batalion 1.
 

Editor : Elde Joyosemito

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut