PURWOKERTO, iNews.id - Setelah kasus pencabulan yang dialami 15 siswi Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Patimuan, Kabupaten Cilacap oleh seorang guru agama berinisial M (51). Terungkap pula kasus pelecehan seksual yang dilakukan pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto terhadap pengurus lainnya.
Dalam catatan iNews Purwokerto, kasus pencabulan guru agama berinisial M terhadap 15 siswi yang masih dibawah umur terungkap setelah salah satu siswi mengadu pada orangtuanya. Akhirnya, dari hasil penyelidikan unit PPA Satreskrim Polres Cilacap menemukan 14 korban lainnya yang mengalami hal serupa.
Aksi pencabulan yang dilakukan kepada para siswa dengan cara dipeluk, diremas payudaranya hingga diraba kemaluannya. Itu berdasarkan pelaporan yang dilakukan oleh keluarga korban.
Modusnya yang dilakukan oleh M adalah dengan mengiming-imingi siswa agar mendapatkan nilai bagus. Pelaku melakukan aksi bejatnya saat jam istirahat dimana banyak diantara siswa di kelas keluar ruangan.
M sendiri berstatus aparatur sipil negara (ASN). Bahkan, guru tersebut telah mengajar di sekolah setempat selama 14 tahun.
Bahkan terungkap fakta terbaru kasus pencabulan terhadap 15 siswi Sekolah Dasar (SD) yang dilakukan oknum guru agama berinisial M (51). Dimana M juga pernah melakukan pencabulan terhadap siswi di sekolah lain setahun lalu.
Kemudian adanya dugaan pelecehan seksual di BEM Unsoed Purwokerto. Berawal dari isu di media sosial twitter, kemudian menjadi ramai diperbincangkan. Bahkan, kemudian Rektorat Unsoed juga turun tangan. Pihak Rektorat bakal melakukan tindakan tegas.
Menindaklanjuti kasus ini dengan melakukan pendampingan bagi korban dan memastikan kondisi korban pulih secara psikologis. Selain itu, Rektorat menyelidiki lebih lanjut kejadiannya.
Kasus pencabulan dan pelecehan seksual saat ini semakin marak. Menanggapi persoalan ini, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Dr Ugung Dwi Ario Wibowo MSi mengatakan kasus pelecehan seksual pada anak sebenarnya ini bukan masalah baru dan sudah seringkali muncul.
"Dari pengaduan di KPAI kita melihat angkanya terus merambat naik, dan jumlah korbannya rata rata cukup banyak, ini yang membuat keprihatinan kita semua. Karena sekarang ini eranya sudah era keterbukaan, artinya apapun yang terjadi pasti akan ter-share ke sosial media terutama kasus kasus seperti ini," ujar Ugung saat dihubungi iNews Purwokerto, Minggu (12/12/2021).
Dia menduga maraknya kasus tersebut dikarenakan semakin mudahnya orang mengakses internet, sehingga banyak orang bisa mendapatkan ide seksualitas dari media sosial.
"Ketersediaan pornografi atau pornoaksi itu di media sosial ataupun di media lain itu makin tersedia, artinya dengan era yang sekarang serba dimudahkan dan semuanya bisa di share kapan saja oleh siapa saja kemana saja. Pornografi dan pornoaksi itu seakan akan menjadi lebih vulgar, jadi semua bisa mengakses dari segala kalangan, terutama dikalangan anak anak, bahkan sampai ke lansia," ujarnya.
Dalam hal ini dia menilai masih kurangnya literasi media dan literasi sosial media, terutama dalam konteks pornografi dan pornoaksi serta seksualitas yang sifatnya cyber bullying. Sehingga pencegahan lebih penting daripada membahas kasus yang sudah terjadi.
"Yang pertama adalah adanya kesadaran dari semua pihak, kalau itu dalam konteks anak anak seperti di kasus pencabulan Cilacap harusnya parenting. Bagaimana kedekatan orang tua dengan anak, komunikasi orang tuanya dengan anak. Lalu adanya formal legal aturan yang jelas terkait dengan hukum yang mengatur ataupun memberi sanksi terhadap perilaku ataupun seksualitas seperti itu, baik pelecehan maupun pencabulan," jelasnya.
Kemudian perlu adanya informal kultural, dalam arti budaya yang ada di masyarakat ketimuran maupun terkait dengan keagamaan.
"Konkritnya harus ada tim mitigasi kerawanan kejahatan seksual, dimana mereka sejak jauh hari sudah membuat aturan aturan yang jelas, yang boleh dan tidak boleh, sehingga saat terjadi kasus tahu apa yang harus dilakukan," ucapnya.
Lalu Ugung juga menjelaskan pentingnya pendidikan seksual pada anak anak sejak kecil, termasuk pendidikan kesehatan reproduksi. Sehingga mereka tahu, boleh berbuat apa terhadap orang orang disekitarnya, lalu mana yang masih beleh ditolerir dan mana yang harus ditolak.
"Kalau terjadi hal yang menimbulkan ketidaknyamanan sampai kebatas pelecehan, anak juga harus tahu lapor kepada siapa dan tidak perlu ada ketakutan, terutama ketika diancam oleh pelaku," ungkapnya.
Berbeda dengan kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswi Unsoed Purwokerto, secara hukum, kasus mahasiswi dilecehkan sudah memiliki kekuatan hukum. Dimana terdapat juga Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.
"Perilaku pelecehan seksual entah itu dilakukan mahasiswa atau bukan mahasiswa, tapi yang jelas pada orang-orang dewasa atau yang sudah memiliki kekuatan hukum terutama diatas 18 tahun. Pastinya pasalnya akan berbeda dengan yang dikenakan pada anak dibawah umur," jelasnya.
"Hukum kita sudah tersedia untuk orang orang yang sudah memiliki kekuatan hukum, termasuk juga pencabulan untuk anak dibawah umur. Yang penting adalah undang undang yang terkait dengan itu diturunkan juga ke peraturan kemahasiswaan ataupun peraturan tata krama berkehidupan di perguruan tinggi," tuturnya.
Editor : Arbi Anugrah