get app
inews
Aa Read Next : Ini Alasan Kenapa Kucing Tidak Masuk Surga

Sejarah Panjang Masjid Saka Tunggal, Tertua di Indonesia dan Masih Gunakan Penanggalan Jawa

Jum'at, 31 Maret 2023 | 05:19 WIB
header img
Arsitektur bagian dalam Masjid Saka Tunggal di Cikakak, Wangon, Banyumas. Foto: Arbi Anugrah

BANYUMAS, iNewsPurwokerto.id - Masjid Baitussalam atau lebih dikenal Masjid Saka Tunggal termasuk salah satu cagar budaya yang dilindungi. Berada di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, masjid berusia ratusan tahun ini masih berdiri kokoh hingga saat ini. 

Konon, masjid yang jama'ahnya dikenal dengan karakternya dalam menentukan hari-hari besar Islam ini masih menggunakan perhitungan Jawa, Alif Rebo Wage atau Islam Aboge.

Masjid Saka Tunggal berada disebuah lembah yang diapit oleh perbukitan, dengan suasana alam yang tenang, damai dan sejuk ini menambah ketenangan tersendiri di sebelah barat Kabupaten Banyumas, atau sekitar 30 kilometer dari Kota Purwokerto.

Beradasarkan catatan iNewsPurwokerto.id, Masjid tersebut memiliki sejarah panjang penyebaran Agama Islam di wilayah tersebut. Didirikan pada tahun 1522 oleh Kiai Tolih atau Mbah Mustolih yang dikenal sebagai tokoh penyebar agama Islam di wilayah tersebut. 

Hingga kini, Masjid Saka Tunggal dipercaya sebagai masjid tertua di Indonesia yang ikut mengawali syiar Islam, serta membentuk masyarakat Islam khususnya di wilayah Kabupaten Banyumas.

Meski demikian tidak ada bukti secara tertulis melalui dokumen terkait berdirinya Masjid Saka Tunggal. Bukti yang masih bertahan hingga saat ini hanya cerita yang diwariskan secara turun temurun serta bukti peninggalan fisik Masjid beserta isinya yang masih bertahan.

Berdasarkan penuturan leluhu secara turun temurun, Masjid Saka Tunggal didirikan sebelum Masjid Demak. Didirikan pada masa Majapahit.

Dilingkupi pepohonan nan asri, di lingkungan sekitar Masjid Saka Tunggal juga akan menjumpai sejumlah monyet ekor panjang (Macaca Fascicularis) yang hidup secara liar. Keberadaan monyet-monyet tersebut tetap bisa hidup berdampingan dengan masyarakat sekitar di lingkungan sekitar masjid, menambah betah untuk tidak cepat-cepat beranjak dari lokasi tersebut.

Konon ceritanya, monyet-monyet di sekitar Masjid Saka Tunggal menurut legenda merupakan santri-santri yang dikutuk oleh kyai saka tunggal menjadi monyet. Mereka dikutuk karena nakal dan tidak melaksanakan salat, dan kerap membuat kegaduhan ketika orang-orang tengah melaksanakan salat. 

Kyai akhirnya marah dan mengutuk santri - santrinya tersebut menjadi monyet, seperti tipikal monyet yang susah diatur, sering ganggu, dan suka mencuri.

Namun dibalik semua legenda dalam masjid berusia ratusan tahun itu, keheningan dan kedamaian sangat terasa semakin lengkap ketika berada di dalamnya. Tembok yang khas terbuat dari anyaman bambu bermotif wajik melapisi bagian interior masjid berukuran 15 x 17 meter itu. Semilir angin lembut menelusup dari kisi-kisi jendela yang disusupi cahaya matahari, kemudian berpendar menerangi ruangan.


Sejarah Panjang Masjid Saka Tunggal di Banyumas, Tertua di Indonesia yang Masih Gunakan Penanggalan Jawa. Foto: Arbi Anugrah

 

Sebuah saka atau tiang penyangga berukuran 40 x 40 centimeter dengan tinggi sekitar 5 meter, membuat masjid tetap tegak berdiri menyangga langit-langit atau wuwungan masjid. Tiangnya yang berwarna hijau dipenuhi ukiran bunga dan tanaman serta dilindungi kaca. 

Berdasarkan cerita, Saka Tunggal yang berada di tengah bangunan masjid itu sebagai titik induk berdirinya masjid dengan ditopang di sekeliling saka-saka kecil. Filosofi dari saka tunggal adalah bersatunya atau manunggalnya manusia dengan Sang Pencipta. Manusia menghormati Sang Pencipta dan Sang Pencipta menciptakan manusia untuk berbuat hal-hal yang baik.

Sementara pada bagian ujung atas saka tunggal tersebut, terdapat empat sayap kayu yang disebut sebagai empat kiblat, lima pancer yaitu menunjuk 4 arah mata angin dan 1 pusat atau arah menunjuk ke atas. Semuanya bermakna hidup harus memiliki kiblat atau pedoman, yaitu Allah SWT.

Empat arah itu juga melambangkan manusia yang terdiri dari unsur air, udara atau angin, api, dan tanah berserta dengan nafsu-nafsu yang menyertainya, antara lain aluamah, mutmainah, supiah, dan amarah. 

Makna dari unsur-unsur tersebut adalah belajar nrimo (menerima) atau mengendalikan sifat itu. Kendalikan juga sifat api (amarah). Angin yang menunjukkan kehalusan dan sifat air yang selalu mengalir ke tempat rendah yang memiliki arti harus merendahkan hati.

Meski demikian, sebenarnya sudah banyak ornamen asli pada Masjid Saka Tunggal yang mengalami perubahan. Sehingga ornamen aslinya sudah tidak bisa lagi dilihat oleh generasi sekarang.

Sebab bangunan asli masjid sudah mengalami perubahan pada tahun 1976, sedangkan untuk melihat ornamen aslinya sudah tidak dapat ditemukan oleh generasi saat ini, karena kehilangan bentuk ornamen pada tahun 1976. Bangunan utuh yang masih bertahan hanya saka tunggal.

Berdasarkan catatan yang ada, Masjid Saka Tunggal masuk dan diakui sebagai salah satu cagar budaya pada tahun 1989, dan pada tahun 1976 masih bernama Masjid Baitussalam. Namun jauh sebelum itu, Masjid Saka Tunggal tidak memiliki nama, hanya sebuah masjid yang dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai masjid Cikakak.

Hingga kini, tradisi yang masih kental dan masih terus dilestarikan oleh masyarakat sekitar Masjid Saka Tunggal adalah tradisi penjarohan atau jaroh, yakni ziarah dengan tujuan menghormati leluhur, yang biasa digelar setiap tanggal 26 Rajab. Dalam kegiatan tersebut biasanya warga sekitar akan bergotong - royong mengganti pagar bambu yang mengelilingi masjid dan juga makam yang berada sekitar masjid.

 Jaroh sendiri menurut penuturannya masyarakat sekitar adalah menjaga njaba lan njero atau menjaga luar dan dalam. Artinya menjaga tali silahturahmi dengan sesama dan juga menjaga kepercayaan kepada Allah SWT.

Bukan hanya bangunan, sejarah dan legendanya yang unik dimiliki masjid tertua di Indonesia ini. Jema'ah masjid ini juga dikenal memiliki cara yang berbeda dalam menentukan hari-hari besar Islam, yakni dengan menggunakan perhitungan Jawa atau tidak bergantung pada bulan seperti tahun hijriyah. 

Dalam Islam Aboge, dipercayai perhitungan berdasarkan delapan tahun atau sewindu. Satu windu terdiri atas tahun Alif, Ha, Jim, Awal, Za, Dal, Ba/Be, Wawu, dan Jim akhir serta dalam satu tahun terdiri 12 bulan dan satu bulan terdiri atas 29-30 hari dengan hari pasaran berdasarkan perhitungan Jawa, yakni Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing.

Perhitungan Aboge sendiri mulai dipakai pada abad ke-14 oleh para wali. Penanggalan tersebut kemudian disebarluaskan oleh ulama bernama Raden Rasid Sayid Kuning yang berasal dari Kerajaan Pajang.

Berdasarkan penelitian pola permukiman komunitas Islam Aboge serta struktur bangunan Masjid Saka Tunggal di Desa Cikakak oleh Dosen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Wijayakusuma (Unwiku) Purwokerto. Masjid tersebut diperkirakan sudah berusia ratusan tahun.

Hal tersebut diketahui berdasarkan angka 1288 yang terdapat pada tiang atau saka tunggal masjid. 1288 disebut merupakan tahun Hijriyah yang jika dikonversi ke tahun Masehi menunjuk pada tahun 1522.

 

Editor : Aryo Arbi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut