Oleh: Adi Haryo Wicaksono
Masa pandemi COVID-19 merupakan periode waktu yang menjadi transisi perubahan signifikan dalam keseharian hidup. Tidak hanya perubahan dalam individu, proses perubahan juga terjadi dalam cakupan korporasi, tak terkecuali pada UMKM di Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah bulan Maret 2021, jumlah UMKM mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 61,07% atau senilai Rp8.573,89 triliun. UMKM mampu menyerap 97% dari total tenaga kerja yang ada, serta dapat menghimpun sampai 60,42% dari total investasi di Indonesia.
Hal ini berarti bahwa sektor UMKM merupakan penyangga ekonomi yang cukup vital. Namun pandemi COVID-19 memberikan tekanan yang cukup besar pada sektor UMKM yang memang rentan terhadap perubahan dan dinamika kondisi global sampai dengan terjadinya krisis.
Kondisi tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi pada awal pandemi tahun 2020 yang mengalami kontraksi sebesar 2,07%.
Seperti yang telah disampaikan oleh Bapak Presiden Joko Widodo “Krisis memberikan momentum bagi kita untuk mengejar ketertinggalan, melakukan transformasi besar dengan melaksanakan strategi besar”.
Kondisi tidak ideal yang terjadi selama kurun waktu pandemi justru memberikan inspirasi inovasi bagi kebangkitan UMKM. Untuk mempertahankan eksistensi, mereka melakukan adaptasi secara massif serta jeli dalam menangkap peluang dan mengubahnya menjadi satu tantangan yang menghasilkan uang. Salah satu isu utama yang harus dilakukan untuk mepertahankan eksistensi yaitu faktor digitalisasi.
Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa selama masa pandemi jumlah transaksi e-commerce meningkat hampir 2 (dua) kali lipat dibandingkan periode sebelumnya, yaitu dari 80 juta transaksi pada tahun 2019 ke 140 juta transaksi pada bulan Agustus 2022.
Kondisi ini menunjukkan adaptasi ke transaksi e-commerce yang berbasis teknologi digital menjadi keharusan bagi pelaku UMKM seiring terbukanya peluang pasar yang sangat besar.
Untuk masuk kedalam dunia digital tersebut, diperlukan peningkatan atau on boarding UMKM diantaranya dari aspek permodalan yang dapat dipergunakan dalam enhancement kapabilitas teknologi. Namun kendala utama yang yang dihadapi oleh UMKM untuk mendapatkan modal salah satunya yaitu dari sisi akses keuangan. Sektor perbankan yang mempunyai peran sebagai lembaga intermediasi merupakan kunci dalam pengembangan UMKM serta pergerakan ekonomi secara keseluruhan dan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi.
Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan melalui PBI No.24/3/PBI/2022 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Pemberlakuan kebijakan tersebut dilakukan sebagai upaya bersama dengan pemerintah dalam rangka mewujudkan peningkatan akses pembiayaan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) serta Perorangan Berpenghasilan Rendah (PBR).
Selain itu, kebijakan dimaksud dilakukan untuk mendorong kontribusi bank secara optimal dalam pemenuhan RPIM dengan mempertimbangkan keahlian dan model bisnis bank dalam pembiayaan inklusif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh UMKM dalam mendapatkan akses permodalan ke perbankan dengan pemanfaatan teknologi yaitu melalui digital banking. Digital banking mampu diakses dimanapun termasuk oleh UMKM di pedesaan yang mungkin belum tesentuh oleh akses perbankan.
Namun untuk meningkatkan asas governance serta menjaga rasio Non Performance Loan (NPL) perlu adanya inovasi yang memudahkan bagi lembaga keuangan untuk menilai kelayakan kredit mengingat faktor keterbatasan kemampuan UMKM untuk menghasilkan laporan keuangan yang menjadi alat utama penilaian.
Tidak hanya dari sisi permodalan saja, namun juga dalam aspek transaksi pada bisnis UMKM diperlukan sistem pembayaran yang handal. Melalui Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 23/15/PADG/2021 tentang Standar Nasional Open Application Programming Interface (SNAP), diharapkan dapat menciptakan industri sistem pembayaran yang sehat, kompetitif, dan inovatif.
Sehingga dapat menyediakan layanan sistem pembayaran kepada masyarakat yang efisien, aman dan andal dalam mengakselerasi ekonomi dan keuangan digital bagi pertumbuhan dan percepatan ekonomi.
Hal tersebut dapat memberikan dampak positif kepada pelaku UMKM mengingat kecepatan perputaran transaksi diyakini berpengaruh dalam perputaran modal dan pertumbuhan UMKM itu sendiri.
Menurut data Bank Indonesia, nilai transaksi digital banking meningkat 27,96% yoy mencapai Rp4900,6 triliun sampai dengan Januari 2023 dan akan terus bertumbuh sepanjang tahun 2023. Dengan populasi yang terbilang besar dan didominasi oleh generasi Y dan Z, merupakan pasar yang prospektif.
Di satu sisi, kuatnya dampak digitalisasi dan akses teknologi yang semakin terjangkau, memungkinkan peningkatan partisipasi segmen masyarakat yang selama ini tidak terjangkau layanan keuangan terutama di daerah pedesaan dalam mendukung akses permodalan UMKM.
Kondisi ini menuntut transformasi digital pada sektor perbankan agar dapat memfasilitasi UMKM yang bertumbuh. Dampak yang dapat ditimbulkan dengan transformasi tersebut, akan timbul biaya yang cukup besar bagi sektor perbankan dalam berinvestasi pada infrastrukur jaringan.
Hal inilah yang menjadi salah satu kendala dalam proses intermediasi antara lembaga keuangan dengan sektor riil sehingga masih berjalan lambat. Implikasi lainnya yaitu tingginya biaya overhead cost dikarenakan coverage negara Indonesia yang sangat luas, akan berpengaruh terhadap tingkat suku bunga. Dimana saat ini rata-rata tingkat suku bunga pinjaman perbankan masih diatas suku bunga acuan Bank Indonesia.
Selain hal tersebut, dengan meningkatnya pengguna digital banking, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur ketentuan yang mewajibkan setiap bank mempunyai “digital branch” yang secara tidak langsung dapat meningkatkan sisi biaya oleh perbankan.
Faktor lainnya yang dapat menghambat dalam implementasi digital banking di sektor UMKM yaitu tingkat literasi digital yang umumnya masih cukup rendah. Walaupun di satu sisi berdasarkan data dari Kominfo terdapat kenaikan dari semula 3,49 menjadi 3,54 dari skala 5 ditahun 2022, diyakini bahwa kenaikan didominasi pada kota-kota besar dan relatif tidak signifikan.
Ancaman lainnya yaitu maraknya cyber crime (kejahatan siber) sehingga diperlukan effort yang lebih tinggi untuk memberikan sosialisasi digital safety kepada masyarakat.
Selanjutnya, sebagai upaya percepatan melek teknologi pada UMKM, diperlukan inovasi dan sinergi antar lembaga agar implementasi digital banking sebagai sarana intermediasi pada sektor UMKM untuk akses permodalan serta transaksi pembayaran dapat lebih cepat terwujud.
Salah satunya bersama dengan pemerintah melalui Kominfo lewat Badan Aksestabilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) untuk meningkatkan pemerataan akses telekomunikasi dan informasi diseluruh wilayah Indonesia serta dimungkinkan dengan pemanfaatan bantuan dana desa dari pemerintah yang dititikberatkan pada jaringan dan teknologi untuk mendukung upaya intermediasi dalam pengembangan UMKM.
Kesuksesan digital banking sebagai intermediasi bagi pelaku UMKM akan menggairahkan potensi ekonomi sekaligus sebagai upaya dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dalam kerangka kebijakan makroprudensial.
UMKM dipercaya memiliki ketahanan ekonomi yang tinggi sehingga ketika terjadi krisis, UMKM dapat menjadi penopang stabilitas sistem keuangan dan perekonomian Indonesia.
Adi Haryo Wicaksono, Kepala Seksi Keuangan Kantor Perwakilan BI Purwokerto
Editor : EldeJoyosemito