CILACAP, iNewsPurwokerto.id - Kelir, sebuah tirai kain yang berfungsi untuk menangkap bayangan, dengan panjang 2,5 meter dan lebar 6 meter, terhampar di halaman Masjid Al-Muttaqin, Dusun Bendagede, Desa Binangun, Kecamatan Bantarsari, Kabupaten Cilacap. Ratusan warga berkumpul di area masjid, dengan sebagian duduk di kursi di bawah tenda, sementara yang lainnya berkumpul di pelataran masjid. Pada malam itu, Minggu, 15 September 2024, pukul 20.00 WIB, warga sedang menantikan pertunjukan seni yang berjudul Mahabbah, Musikalisasi Barzanji, dan Wayang Santri.
Suara darbuka terdengar dengan keras saat ditabuh. Lampu menyinari bagian belakang kelir. Di kelir, terlihat bayangan dua orang berpeci yang saling berhadapan. Keduanya kemudian mulai menabuh rebana. Selanjutnya, dua orang laki-laki berpeci berdiri di depan penabuh hadrah, tampak membuka buku dan melantunkan kidung dalam bahasa Arab.
Tidak lama kemudian, muncul secara bergantian di belakang layar, seorang dalang yang mengenakan blangkon dan keris di pinggangnya. Sambil memainkan gunungan wayang, ia memulai kisah penyerangan Abrahah di Mekah. Suara dalang yang bermonolog ini mengisahkan kehidupan Nabi Muhammad, diselingi dengan pembacaan dari kitab Iqd Al-Jawahir (Kalung Permata) karya Sayyid Zainal Abidin Ja'far, serta diiringi oleh bunyi hadrah yang dipadukan dengan alat musik bambu tradisional petani desa, yaitu Gumbeng dan Gong Bumbung, yang merupakan bagian dari seni tradisi lengger.
Mahabbah, sebuah pertunjukan musikalisasi Barzanji dan Wayang Santri, merupakan bagian dari program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X Yogya-Jateng. Abdul Aziz, selaku sutradara Mahabbah, menjelaskan bahwa pertunjukan ini merupakan hasil perpaduan seni yang berkembang secara alami di kalangan masyarakat Dusun Bendagede. Misalnya saja, Barzanji sering dilantunkan oleh warga, baik oleh anak-anak, perempuan, maupun orang tua, di langgar-langgar atau masjid setiap harinya. Selain itu, Barzanji juga menjadi bagian dari tradisi yang dibacakan pada saat penamaan bayi yang baru lahir.
“Barzanji di dusun ini menjadi ekspresi seni yang mendarah daging. Di bulan maulid ini, dimulai pada tanggal 12 rabiul awal, Barzanji dibacakan sebulan penuh bergantian dari satu rumah warga ke warga lain oleh kelompok perempuan. Barzanji dibacakan untuk memperingati kelahiran nabi Muhammad SAW,” kata Aziz.
Sedangkan kesenian hadrah telah menjadi kegiatan rutin bagi kelompok remaja yang dilaksanakan setiap minggu. Selain itu, kesenian wayang juga merupakan bagian dari aktivitas masyarakat yang tinggal di sanggar yang dikelola secara mandiri oleh warga. Pentas Mahabbah merupakan inisiatif untuk membuka keberagaman bagi berbagai kelompok seni di dusun Bendagede untuk berkolaborasi dalam praktik seni bersama pada momen Maulid Nabi.
“Bisa saya katakan kisah nabi Muhammad yang terkisahkan dalam rawi di Barzanji dikemas dalam balutan seni tradisi. Praktik-praktik kesenian semacam ini semacam proyek seni berbasis komunitas yang ada di masyarakat,” ujar Aziz.
Salah satu pemain di pentas acara Mahabbah, Fathul Mungin (54), menyatakan rasa antusiasmenya terhadap penyelenggaraan musikalisasi barzanji dan wayang santri. Menurutnya, kegiatan ini merupakan bentuk kreativitas yang positif. Mungin menceritakan bahwa kebiasaan barzanji muncul secara alami, di mana ia dan rekan-rekannya pada tahun 1980-an sering melakukan shalawatan barzanji sebelum melakukan aktivitas kewargaan, seperti bermain tenis meja atau ronda di poskamling.
“Saya memang sejak mondok hobi baca seni baca Al-Qur’an,” kata Mungin yang pernah menempuh ilmu agama di sejumlah pondok pesantren yakni Al-Firdaus, Sidareja, Cilacap, Ponpes Al-Ijtihad Watafwid, Langensari, Banjarpatroman dan Ponpes Al-Ihwaniyyah, Jember.
Fathul Mungin berperan sebagai pembaca barzanji dalam acara Mahabbah. Di desanya, ia aktif sebagai penjahit dan sering memberikan khotbah pada hari Jum'at serta mengisi pengajian dalam acara-acara hajatan warga. Dalam pentas Mahabbah, para pelaku yang terlibat terdiri dari Grup Barzanji Nyawiji dan hadrah Saljul Qulub, yang memiliki latar belakang beragam, termasuk ulama, petani, pedagang, dan pelajar.
Dalang pertunjukan Mahabbah, Ahmad Nafis Jauhari (18) menyatakan bahwa ia memperoleh pengalaman baru melalui pertunjukan musikalisasi barzanji dan wayang santri. Sebagai seorang dalang, ia mengakui perlunya beradaptasi karena harus menyampaikan kisah nabi melalui karakter imajiner, yaitu santri bernama Amongrasa, yang sebelumnya merupakan seorang pengembara dan kemudian memilih untuk hidup sebagai pengembala di sebuah desa. Ia juga menambahkan bahwa pentas ini memberikan kesempatan baginya untuk melatih mental sebagai dalang muda.
“Hampir satu bulan kami latihan. Saya menggunakan suara Arjuna sebagai suara Amongrasa, agar cerita tersampaikan secara lembut,” kata Nafis yang baru lulus dari SMK negeri 3 Banyumas di jurusan pedalangan ini.
Pertunjukan musikalisasi barzanji dan wayang santri ini dapat dianggap sebagai upaya pribumisasi Islam melalui pendekatan budaya. Praktik perpaduan antara dakwah agama dan ekspresi seni dari budaya lokal ini memiliki sejarah yang panjang di wilayah Nusantara.
Sunan Kalijaga contohnya, melakukan dakwah melalui seni wayang kulit. Demikian pula, Sunan Bonang menyebarkan ajaran Islam dengan menciptakan kidung dan mengaransemen musik gamelan menjadi sebuah orkestra yang bersifat meditatif dan kontemplatif, dengan menambahkan instrumen baru seperti rebab Arab atau kempul Campa yang dikenal sebagai Bonang.
Praktik asimilasi budaya antara agama Islam dan budaya Jawa yang dilakukan oleh para ulama menunjukkan bahwa sejarah Islamisasi di nusantara tidak bertentangan dengan penggunaan tradisi lokal sebagai sarana dakwah.
Editor : Arbi Anugrah