RADIKAL sudah sangat sering istilah kita dengar sebagai istilah politisasi agama. Tentu yang dimaksud demikian adalah penggunaan atau pelabelan agama untuk kepentingan-kepentingan politik.
Dengan kata lain agama dijadikan obyek demi meraih kepentingan politik. Atau sebaliknya isu agama juga sering dipakai untuk mengganjal lawan politik.
Akibatnya dalam penilaian tentang sesuatu atau seseorang tidak lagi berdasarkan nilai baik atau buruknya. Tapi lebih kepada kepentingan politik tertentu.
Contoh kecil dalam busana misalnya. Betapa larisnya baju-baju koko dan kopiah di musim-musim politik untuk berkunjung ke masjid-masjid dan majelis ta’lim. Juga banyak politisi wanita yang selama ini alergi dengan hijab tiba-tiba berhijab rapih.
Sebaliknya tuduhan-tuduhan ekstremisme atau radikalisme kerap digaungkan dimusim-musim politik. Tentu dimaksudkan untuk menekan dan mengganjal pihak-pihak tertentu yang dianggap gangguan bagi sebagian untuk mendapatkan kepentingan politiknya.
Sebaliknya prilaku radikal dan intoleransi dipertontonkan oleh sebagian orang atau sekelompok orang tertentu dengan tanpa malu tetap saja dibiarkan. Bahkan seolah dipelihara dan mendapat perlindungan.
Akibatnya konsep moderasi atau radikalisme menjadi aneh dan membingungkan. Moderasi menjadi seperti yang sering saya sampaikan berbentuk moderasi sepihak. Sebaliknya radikalisme juga menjadi terasa sangat dipaksakan pada pihak tertentu.
Jahatnya kerap kali label radikal ini tidak berakhir pada tataran persepsi atau wacana semata. Tapi sering menjadi alat perangkap untuk menjerumuskan pihak-pihak tertentu atas nama keamanan dan loyalitas kebangsaan.
Saya kembali teringat peristiwa 9/11 di Amerika Serikat. Di mana saat itu kata radikalisme atau ekstrimisme menjadi kata yang paling populer berdampingan dengan kata “terror”. Sehingga peperangan yang disebut “war on terror” ketika itu tidak bisa dilepaskan dari peperangan kepada mereka yang dilabel “kaum radikal”.
Belakangan opini tersebut semakin tergiring menuju kepada satu kelompok. Yaitu orang-orang Islam yang tidak setuju dengan kebijakan global Amerika dan sekutunya di berbagai belahan dunia, khususnya di Timur Tengah.
Tapi oleh pihak-pihak tertentu penggiringan opini semakin mengarah kepada Umat Islam. Pada akhirnya apa yang disebut sebagai peperangan kepada teror atau “war on terror” tadi berubah menjadi peperangan kepada umat Islam atau Islam (war on Islam).
Inilah Sesungguhnya dikemudian hari yang diterjemahkan oleh Donald Trump dalam sebuah kebijakan “Muslim Ban” atau pelarangan orang Islam masuk Amerika. Dimulai dari 7 negara. Tapi tujuannya mengarah kepada pelarangan secara totalitàs orang-orang Islam untuk masuk Amerika.
Pada sisi lain, sejak Bush hingga Trump ada pihak-pihak tertentu yang kemudian dilabeli “Muslim moderate”. Pelabelan itu bukan berdasar pada nilai moderasi itu sendiri. Tapi lebih kepada dukung mendukung untuk kepentingan politik global mereka.
Di zaman GW Bush misalnya Saudi Arabia dijuluki sebagai negara/bangsa yang moderate. Saya masih ingat bagaimana Pangeran Bandar bin Sultan, Dubes Saudi untuk AS ketika itu begitu akrab dengan Presiden Bush. Padahal dari sekian yang dituduh sebagai pelaku serangan 9/11 mayoritasnya berkebangsaan Saudi Arabia.
Yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa ternyata penilaian radikal dan/atau sebaliknya moderat itu banyak ditentukan oleh kepentingan, termasuk kepentingan politik. Dan pada akhirnya nilai moderasi atau sebaliknya radikalisme itu terasa kehilangan esensinya.
Hari-hari ini Isu radikal kembali ramai dibicarakan. Banyak tokoh agama yang dimasukkan ke dalam deretan Ustadz-Ustadz radikal. Yang pada umumnya tidak memiliki justifikasi yang jelas.
Beberapa kriteria Ustadz radikal yang disampaikan juga terasa remang-remang dan dipaksakan. Satu di antara kriteri itu adalah anti Pancasila. Dalam perspektif nasionalisme, tentu kriteria ini sah-sah saja. Tapi ancaman terhadap Pancasila memangnya hanya dari para Ustadz? Bagaimana dengan mereka yang berpaham komunis yang mengancam ketuhanan? Bagaimana pula dengan para koruptor yang merusak keadilan sosial dan kemanusiaan?
Hal lain bahwa Ustadz radikal itu sering mengkafirkan. Mengkafirkan sesama Muslim memang dilarang. Bahkan bisa saja yang mengkafirkan itu terjatuh ke dalam kekafiran. Tapi mengkafirkan mereka yang “tidak mengimani” ajaran Islam itu memang demikian adanya . Karena memang kata kafir berarti “tidak mengimani” alias mengingkari. Kata kafir dalam arti “tidak mengimani” inilah yang disebut dalam Al-Quran.
Islam sangat jelas dalam mengatur relasi pwmerintah (raa’i) dan rakyat (ra’iyah). Islam sangat memperketat bolehnya rakyat untuk melawan pemerintah. Tapi Islam pada saat yang sama mengajarkan bahwa mengkritisi pemerintan dalam hal-hal yang salah menjadi kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Apalagi dalam tatanan negara demokrasi pemerintah dikontrol oleh kekuasaan tertinggi (rakyat).
Isu lain adalah ekslusifitas yang juga menjadi rancu ketika dihubungkan dengan agama. Karena pada semua agama ada Karakter ekslusif. Khususnya ketika bersentuhan dengan akidah dan ibadah ritual. Umat ini sadar bahwa membangun kesatuan dan ukhuwah itu penting. Baik ukhuwah imaniyah maupun wathaniyah. Tapi bukan berarti membuka batas-batas yang memang berbeda secara mendasar. Ada hal-hal ekslusif dalam beragama. Dan itu tidak perlu dianggap tidak bersahabat. Apalagi dinilai radikal.
Demikian juga dalam hal budaya dan tradisi. Islam adalah agama universal. Karenanya Islam ada di seluruh belahan dunia. Mau atau tidak Islam akan bersentuhan dengan semua kultur dan budaya. Namun kehadiran Islam di sebuah lokalitas tidak merubah atau menghapus budaya lokal. Tapi lebih kepada mengoreksi atau membenarkan jika ada yang secara mendasar bertentangan dengan prinsip dasar ajaran agama. Itulah yang disebutkan dalam hadits: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak (maakarimal akhalk)”.
Oleh karena itu kriteria-kriteria yang dijadikan alasan untuk menuduh sebagian Ustadz radikal tidak jelas dan rentang membawa kepada penilaian sepihak. Dan tentunya yang paling mendasar dari semua ini adalah kenapa hanya Ustadz-Ustadz?
Bagaimana dengan pemimpin agama lain? Bagaimana para politisi yang korup? Bagaimana para pebisnis yang ekslusif dan mengancam keadilan sosial? Tidakkah mereka itu termasuk kaum radikal yang mengancam bangsa dan negara?
Saya hanya ingin mengatakan masanya untuk semua menghentikan politisasi isu radikalisme. Selain hanya menambah keresahan dalam masyarakat, juga akan semakin mempertajam kecenderungan karakter “we vs them” (kami lawan mereka).
Kecenderungan memecah belah atau ‘divide at empire’ ini juga jangan-jangan memang jadi bagian dari pelemahan Umat dan bangsa itu sendiri. Karena sesungguhnya Umat dan tokoh-tokohnyalah, termasuk para Ustadz, yang menjadi tulang punggung ketahanan bangsa.
Dan kecurigaan-kecurigaan itu wajar saja terbangun karena sejak lama semakin terasa jika memang ada “hidden power” yang bermain dan bertepuk di balik layar. Semoga tidak!
Oleh: Imam Shamsi Ali
Imam di Islamic Center of New York
Direktur Jamaica Muslim Cente
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta