PURWOKERTO, iNews.id- Sejarah panjang berdirinya bank di Indonesia tidak lepas dari sosok Raden Aria Wirjaatmadja, seorang Patih di Kota Purwokerto yang memimpin tiga orang pribumi mendatangi seorang notaris Belanda pada 16 Desember 1895. Bank pertama di Indonesia diinisiasi oleh seorang pribumi yakni Bank Priayi Purwokerto atau saat ini lebih dikenal Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Sejarah berdirinya bank pertama di Indonesia ini diulas dalam sebuah buku berjudul 'Raden Aria Wirjaatmadja, Perintis Bank Pribumi' yang dikutip oleh iNews Purwokerto. Sejarah perjalanan tokoh penting dibidang ekonomi Indonesia yang dimulai dari kota kecil Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah.
R. Aria Wirjaatmadja ini merupakan tokoh yang sangat penting untuk Indonesia yang dimiliki oleh Purwokerto. Dalam penelusuran data-data tentang Raden Aria Wirjaatmadja menyebut sosok R. Aria Wirjaatmadja yang mendirikan Bank Priayi Purwokerto dan lebih mengedepankan kesejahteraan masyarakat pribumi saat itu.
Dalam buku tersebut terungkap jika pada 16 Desember 1895 saat R. Aria Wirjaatmadja memimpin tiga pribumi Jawa lain diantaranya Raden Atma Sapradja seorang Ondercollecteur (wakil pengumpul pajak) Afdeling Purwokerto, Raden Atma Soebrata seorang Wedana Distrik Purwokerto dan Raden Djaja Soemitra seorang asisten wedana kelas satu Purwokerto. Mereka mendatangi Asistren Residen Purwokerto, Enginius Sieburgh yang merupakan pejabat notaris yang sangat ramah untuk mencatat akta otentik permohonan badan hukum Bank Priayi Purwokerto.
Bank Priayi Purwokerto, didaftarkan dengan akte nomor 6 tanggal 16 Desember 1895. Usai didaftarkan, Patih Purwokerto ini bisa bernafas lega, keinginannya mendirikan bank pribumi untuk menolong masyarakat dari jeratan renternir sudah dicatatkan oleh notaris.
Pikiran sederhana R. Aria Wirjaatmadja, karena saat itu di Purwokerto, bahkan seluruh Jawa hampir semua pegawai pribumi mulai dari yang pangkatnya paling rendah hingga Bupati semuanya terlilit hutang pada rentenir.
Keinginan yang kuat dari R. Aria Wirjaatmadja untuk menolong orang yang terlilit hutang, dengan menggantikan fungsi rentenir sebagai pemberi hutang, tetapi dengan bunga yang rendah dan terjangkau. Oleh karena itu, Bank Priayi Purwokerto juga disebut sebagai Bank Pertolongan.
Akta pengajuan notaris pendirian Bank tersebut sempat ditolak oleh Gubernur Jenderal di Bogor, karena aturan pada saat itu tidak boleh ada orang pribumi yang memimpin sebuah lembaga badan hukum. Kasus bank ini membuktikan bahwa ada aturan yang dibuat oleh Belanda sangat diskriminatif terhadap pribumi yang tidak boleh mempunyai lembaga yang berbadan hukum.
Ini menjadi dilema bagi pemimpin pemimpin Belanda yang beraliran etnis, dimana disatu sisi mereka ingin membantu pribumi tapi disisi lain ada aturan yang melarang ini.
Problem tersebut terjadi hingga tahun 1904, dimana akhirnya pribumi diperbolehkan mempunyai lembaga badan hukum, dan selama itu pribumi tidak dapat memimpin sebuah lembaga berbadan hukum. Bank Priayi Purwokerto saat itu dipimpin oleh Wolff Van Westerrode, Asisten Residen Purwokerto pengganti E. Sieburgh.
Sepanjang Westerrode memimpin Bank Priayi Purwokerto tersebut, R Aria Wirjaatmadja tetap membesarkan bank tersebut, meskipun pucuk pimpinannya dipegang oleh Westerrode.
Awal mula mendirikan bank Perintis Bank Pribumi, Raden Aria Wirjaatmadja harus menyisihkan sisa gajinya dan menghentikan uang jajan anak anaknya untuk menolong para pegawai pribumi yang terjerat rentenir.
Pasalnya informasi adanya pinjaman ringan dan terjangkau dari Bank Priayi Purwokerto ini untuk membantu rakyat dari jeratan rentenir langsung menyebar dari mulut ke mulut, antusias para pegawai pribumi saat itu sangat tinggi.
Bahkan, demi mewujudkan cita-citanya mendirikan bank dan mensejahterakan rakyat pribumi, dan setelah berdiskusi dengan orang-orang kepercayaannya, tercetuslah pemikiran untuk menggunakan uang kas Masjid Purwokerto yang pengelolaannya dibawah administrasi kepatihan.
Setelah menghadap Asisten Residen Sieburgh dan melihat ketulusan hati Sang Patih untuk membantu rakyat, Asisten Residen pun meminta Wirjaatmadja untuk segera membentuk komisi pengelola keuangan dan dana masjid dalam waktu singkat beralih.
Namun informasi penggunaan dana kas masjid itupun akhirnya terdengar oleh pemerintah pusat, sehingga segera terbit surat teguran dan perintah untuk segera mengembalikan dana kas masjid tersebut. Saat itu tindakan Patih Wirjaatmadja sudah melanggar aturan, berdasarkan nasehat Snouck Hurgronje pada 4 Maret 1893, pemerintah mengawasi semua kas masjid secara ketat.
Kas Masjid tidak boleh digunakan untuk selain kepentingan masjid dan mengambil bunga atas pinjaman dana masjid itu riba dan diharamkan.
Asisten Residen tak berpangku tangan, para pejabat berkebangsaan Eropa dan pribumi langsung menghimpun dana untuk segera mengembalikan dana masjid tersebut. Guncangan akibat kesalahan penggunaan dana kas masjid itu tak berdampak signifikan. Proses utang - piutang yang dikelola tetap berjalan, para debitur mulai mengembalikan dana pinjaman secara teratur.
Setelah status berbadan hukum turun, dalam setahun aset Bank Purwokerto terus melesat dan dikenal luas, sejak saat itulah Bank Purwokerto menjadi perhatian seluruh tanah Jawa. Bahkan menjadi topik perbincangan dalam sidang parelemen di Belanda. Bank Purwokerto dianggap sebagai model sukses upaya pengentasan kemiskinan penduduk Jawa, terutama untuk melepaskan masyarakat dari cengkraman lintah darat.
.
Di Banyumas khususnya di Purwokerto banyak sekali tokoh - tokoh nasional yang lahir dari kota kecil ini. Selain Wirjaatmadja, adapula Margono Djoyokusumo yang merupakan ahli koperasi yang akhirnya mendirikan Bank BNI 46.
Editor : Arbi Anugrah