KOPASSUS mempunyai peran penting pada tahun 1965 untuk menstabilkan keadaan pasca pemberontakan dan pengkhiantan G30S PKI.
Kisah tentang korps baret merah ini tertuang dalam buku "Sarwo Edhie dan Misteri 1965". Dikisahkan dalam buku itu beriringan tiga buah mobil meninggalkan Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma menuju Istana Bogor pada Jumat, 23.30. Mobil pertama membawa Panglima Kepolisian Jenderal Soetjipto Joedodihardjo.
Di belakangnya menyusul mobil biru bernomor B-3739, dinaiki Presiden Soekarno, Wakil Perdana Menteri Dr Leimena, dan Kolonel Bambang Widjanarko. Kendaraan paling akhir membawa Komandan Resimen Cakrabirawa Brigadir. Jenderal Mochamad Sabur dan wakilnya, Kolonel Maulwi Saelan.
Waktu itu, tepat setengah jam sebelum ultimatum Soeharto. Bambang menyampaikan agar Soekarno meninggalkan Halim. Pada siangnya, Bambang datang menemui Soeharto di Markas Kostrad. Sejatinya, kedatangan Bambang itu untuk mencari Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodro, Asisten III Panglima Angkatan Darat.
Dikutip dari buku Sarwo Edhie dan Misteri 1965, saat rapat di Halim, yang dihadiri beberapa petinggi negara, Soeharto menolak keputusan yang menyatakan bahwa Pranoto diangkat sebagai pejabat Panglima Angkatan Darat.
Pada saat bersamaan, Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo menunggu perintah di Markas Kostrad dengan perasaan gelisah. Sebab, Soeharto belum memutuskan waktu penyerangan. Akhirnya, Sarwo memaksa masuk ruang Panglima. Di dalam sudah ada Menteri Koordinator Pertahanan Jenderal Abdul Haris Nasution.
Soeharto tampak mondar-mandir. Sarwo bertanya untuk memastikan apakah mereka jadi berangkat ke Halim atau tidak, sebab jika iya, mereka harus berangkat sebelum fajar.
“Ini bagaimana, Pak? Kita jadi ke Halim apa Tidak? Kalau jadi, kita harus bergerak sebelum fajar.”
"Mau bikin semacam Mapanget kedua, ya?" ujar Nasution kala itu.
Dia merujuk pada operasi penghancuran Permesta. Pada 1957, Sarwo membebaskan lapangan udara Mapanget di Manado, dengan pendadakan total. "Siap. Begitulah kira kira. Jenderal," jawab Sarwo. Soeharto berhenti mondar mandir: "Ya, laksanakan!"
Sarwo segera mengambil pergerakkan. Pasukan kavaleri bergerak sepanjang malam di dalam kota sedangkan regu lain masuk secara diam-diam dari arah Klender guna untuk mengecoh musuh.
Tepat pukul 06.00, semua kompi bergerak ke area lapangan udara. Halim dikuasai tanpa perlawanan berarti dalam kurun waktu kurang dari seperempat jam.
Sarwo berangkat ke Halim sekitar pukul 10.00. Ia hendak menemui Sukarno. Berdasarkan informasi yang ia terima, Presiden masih di sana. Mayor Santosa menyarankan atasannya itu melalui Klender, jalur yang sudah disterilkan.
Namun, dengan alasan mengejar waktu, Sarwo akan lewat Pondok Gede. Nahas, ketika Sarwo melewati jalan Pondok Gede, ia ditembak dengan Bazoka. Begitupun seorang prajurit yang hendak melambaikan baret, ia juga malah tertembak. Sarwo marah atas kejadian itu.
Setelah mereka melewati pertigaan Hek, terjadi kontak senjata. Sebuah peluru melesat tak jauh dari Sarwo. "Panser yang mengawal saya juga ditembak dengan bazoka," katanya.
Sarwo tiarap, lalu memerintahkan seorang prajurit melambaikan baret sebagai tanda agar jangan menembak. Ia malah tertembak.
"Santosa bilang prajurit itu cuma kena tembak. Belakangan saya ketahui ia gugur. Andaikata saya tahu sejak semula, pasti saya marah sekali dan saya perintahkan membalas,"tegasnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta