Kisah Penderes Buta Tulang Punggung Keluarga di Banyumas, Setiap Hari Panjat 14 Pohon Kelapa

BANYUMAS, iNewsPurwokerto.id - Dengan membaca lafal basmallah tiga kali, Slamet kemudian meludah ke telapak tangannya. Selanjutnya ia menepuk-nepuk batang pohon kelapa sebagai upaya mendeteksi pohon mana yang siap ia ambil niranya. Hanya dengan menepuk batang pohon kelapa, Slamet memang bisa mengetahui pohon kelapa mana yang ada niranya atau tidak.
Perlahan namun pasti, ia menempelkan telapak tangannya ke batang pohon kelapa yang kekar dan menjulang didepannya. Sementara kaki kanannya mulai ia tapakkan ke salah satu tataran dibagian bawah batang pohon kelapa. Tataran atau lubang yang ada pada batang pohon kelapa ini sendiri fungsinya untuk mempermudah memanjat Slamet. Laki-laki bertubuh terbilang kecil namun kuat ini sehari-harinya bekerja sebagai penderes kelapa.
Ia memanjat pohon kelapa di sekitar rumahnya dengan ketinggian rata-rata 12 meter. Saat memanjat, ia tidak menggunakan alat pengaman, sementara dipinggangnya terikat ember plastik bekas cat yang menggantung saat ia mulai memanjat. Hanya beberapa saat diatas pohon kelapa, Slamet dengan sigap memotong pucuk-pucuk manggar atau kembang kelapa untuk diambil air niranya. Dengan meraba-raba, ia mengambil ember kecilnya untuk menampung tetesan air nira dari manggar. Tak berapa lama, Slamet turun dan kembali memanjat pohon kelapa yang lainnya.
Slamet saat ini berusia 57 tahun dan sejak kecil mengalami kebutaan permanen pada kedua matanya. Warga RT 08 RW 10 Desa Watuagung, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas ini dalam sehari bisa memanjat hingga 14 pohon kelapa. Pohon kelapa ini semua miliknya sendiri. Ia mendapatkan tinggalan kebun dan pohon kelapa ini dari kedua orang tuanya.
Slamet memang bukan lelaki biasa. Dengan keterbatasan fisiknya yang buta, ia justru tidak mau berpangku tangan meski usia semakin senja. Saat pagi ia memanjat pohon-pohon kelapa, kemudian disore harinya ia kembali memanjat pohon-pohon tersebut untuk mengambil air nira yang sudah terkumpul di dalam ember.
Air nira ini ia kumpulkan lalu ia tuangkan ke wajan cukup besar dirumahnya. Di atas nyala tungku berbahan kayu bakar, Tuniyem, sang istri merebus air nira hingga mendidih dan mengental. Setelah kental dan jadi gula jawa atau gula merah, istri Slamet kemudian mencetak agar menjadi bahan gula merah siap jual.
Dalam sehari ia dan Tuniyem bisa membuat gula merah hingga 3 kilogram. Gula merah ini kemudian dijual ke warung tetangga seharga Rp17 ribu rupiah. Hasil penjualan ini ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Slamet dan keluarganya.
Saat berkunjung ke rumahnya, Ika Suprihatin, Camat Tambak mengatakan jika Slamet dan keluarganya saat ini memperoleh bantuan Program Keluarga Harapan atau PKH. PKH merupakan program pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Selaku pemerintah setempat, kami selalu memberikan bantuan apapun semampu kami termasuk mengupayakan PKH sebagai program pemerintah, agar bisa diterima pak Slamet dan keluarganya,” ujar Ika beberapa waktu lalu.
Editor : Arbi Anugrah