get app
inews
Aa Text
Read Next : Masih Jadi Mahasiswa di Semester 13? UIN Saizu Berikan Potongan UKT 50 Persen 

Demo UU ODOL, dan Ironi Hukum Perampasan Aset Koruptor: Suara Jalanan yang Gugat Keadilan Ekonomi

Senin, 23 Juni 2025 | 11:16 WIB
header img
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Saizu Purwokerto. (Foto: Istimewa)

Oleh: Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy

Suara klakson menggema di berbagai sudut kota. Ribuan sopir truk dari seluruh penjuru Indonesia turun ke jalan, bukan untuk menciptakan kekacauan, melainkan menuntut keadilan. Spanduk-spanduk mereka menyuarakan protes: “Kami Menolak RUU ODOL 2025!”, “Kami Bukan Kriminal!”, hingga “Gerakan Sopir Se-Indonesia Menggugat.” Ini adalah jeritan kolektif dari mereka yang selama ini menjadi tulang punggung logistik nasional.

Ironisnya, ketika Undang-Undang ODOL (Over Dimension Over Load) disahkan dan mulai ditegakkan dengan keras, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Koruptor justru terus tertunda di parlemen. Rakyat kecil ditekan, sementara pencuri uang negara dilindungi oleh kelambanan sistem hukum. Inilah potret kegagalan etika politik dan ekonomi di negeri ini.

Apa Itu ODOL dan Mengapa Diprotes?
ODOL merujuk pada kendaraan yang melampaui batas muatan atau ukuran yang ditentukan oleh hukum. Pemerintah, melalui Kementerian Perhubungan, mendorong penindakan terhadap truk ODOL demi alasan keselamatan, efisiensi logistik, dan ketahanan infrastruktur.

Namun, dalam implementasinya, sopir justru menjadi korban utama. Truk yang sering kali dimodifikasi atas permintaan pemilik barang, saat ditindak aparat, justru menjadikan sopir sebagai pihak yang dijerat hukum. Sementara pemilik modal, acap kali lolos dari tanggung jawab.

Padahal menurut Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), lebih dari 70% distribusi barang nasional mengandalkan jalur darat. Menindak sopir tanpa memperbaiki sistem logistik sama artinya dengan mengobati gejala tanpa menyentuh akar penyakit.

Dampak ODOL terhadap Biaya Logistik
Studi LPEM FEB UI pada 2021 mencatat bahwa biaya logistik Indonesia mencapai 23,5% dari PDB, jauh di atas rata-rata negara ASEAN yang hanya 10-15%. Inefisiensi sistem logistik, termasuk permasalahan kendaraan ODOL, menjadi salah satu penyebab utama.

Namun, penerapan UU ODOL tanpa perbaikan menyeluruh pada sistem logistik, mulai dari regulasi muatan hingga kejelasan hubungan kerja antara sopir dan perusahaan, justru menambah beban bagi pihak paling rentan: para sopir.

Ironi: Cepat Menghukum Sopir, Lambat Menjerat Koruptor
Di saat sopir truk bisa ditangkap hanya karena kelebihan muatan dua ton, para koruptor yang merugikan negara hingga puluhan triliun justru hidup nyaman. RUU Perampasan Aset Koruptor, yang telah diajukan sejak 2006, tak kunjung disahkan.

Menurut laporan ICW tahun 2023, kerugian negara akibat korupsi mencapai lebih dari Rp40 triliun. Namun karena belum ada regulasi yang kuat untuk merampas aset, pelaku korupsi tetap bisa menikmati hasil kejahatannya. Bandingkan dengan nasib sopir ODOL yang langsung dikriminalisasi saat melanggar peraturan lalu lintas.

Ketimpangan ini menjadi potret nyata dari bias hukum dalam sistem ekonomi Indonesia: tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Tuntutan Gerakan Sopir Se-Indonesia
Melalui berbagai kanal, termasuk Team ST.L Pilot Darat, para sopir menyuarakan tujuh tuntutan utama:

1. Batalkan Instruksi A.H.Y soal ODOL
Penegakan hukum harus adil. Jangan jadikan sopir sebagai kambing hitam.

2. Atur Hubungan Kerja dan Logistik Secara Adil
Perlu regulasi yang mengatur secara jelas tentang tanggung jawab hukum, dimensi truk, dan perlindungan kerja.

3. Perbaiki Kesejahteraan Sopir
Mayoritas sopir bekerja tanpa asuransi, tanpa jaminan pensiun, dan dalam kondisi kerja yang tidak aman.

4. Perlindungan Hukum untuk Sopir
Sopir harus memiliki perlindungan hukum yang jelas dan tidak dijadikan target utama penegakan aturan ODOL.

5. Revisi UU LLAJ No. 22 Tahun 2009
Undang-undang ini dianggap tidak sesuai dengan realitas di lapangan dan perlu diperbarui.

6. Berantas Premanisme dan Pungli di Jalan
Penindakan ODOL justru menambah peluang pungutan liar dari oknum tertentu.

7. Kesetaraan Perlakuan di Mata Hukum
Jika koruptor bisa “diselamatkan” secara legal, maka sopir yang mencari nafkah pun berhak diperlakukan secara adil.

Jalan Menuju Keadilan Ekonomi
Aksi besar-besaran para sopir bukan sekadar protes atas satu peraturan. Ini adalah sinyal keras atas ketimpangan ekonomi dan hukum yang terus menganga. Jika negara ingin serius memberantas ODOL, maka langkah awalnya bukan menindak sopir, melainkan membenahi sistem logistik secara menyeluruh.

Lebih dari itu, negara harus menunjukkan keberpihakan kepada keadilan. Sahkan segera RUU Perampasan Aset Koruptor, agar pelaku kejahatan ekonomi besar tidak terus berlindung di balik kelemahan hukum.

Dalam tatanan ekonomi yang berkeadilan, hukum melindungi yang lemah dan menindak tegas yang zalim. Saatnya negara tak hanya berbicara dari balik meja, tapi juga mendengar jeritan dari balik kemudi. Sebab keadilan sejati lahir bukan dari kekuasaan, melainkan dari keberanian mendengar suara jalanan.

Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Saizu Purwokerto

Editor : EldeJoyosemito

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut