get app
inews
Aa Text
Read Next : Mengapa Video Prabowo Diputar Sebelum Film Tayang? Komdigi Ungkap Jawabannya

Film Judheg, Cermin Getir Pernikahan Dini dan Perjuangan Ibu Muda di Tengah Kemiskinan

Kamis, 13 November 2025 | 07:25 WIB
header img
Sebuah kisah yang menyayat dan menggugah empati diangkat ke layar lebar melalui film Judheg karya terbaru sutradara muda Misya Latief. (Foto: Istimewa)

PURBALINGGA, iNewsPurwokerto.id – Sebuah kisah yang menyayat dan menggugah empati diangkat ke layar lebar melalui film Judheg (Penat / Worn Out), karya terbaru sutradara muda Misya Latief. 

Film berdurasi 117 menit ini diproduksi oleh Rekam Films bekerja sama dengan Triangle Cinema, dengan dukungan dari Belantara Films, SVJ Films, dan Hade Rent.

Film yang akan melakukan world premiere di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ke-20 tahun 2025 ini menjadi salah satu kandidat Indonesian Screen Awards. 

Menariknya, Judheg menjadi film panjang pertama dari Banyumas Raya yang menggunakan bahasa Banyumasan (Ngapak) sebagai bahasa utama, sekaligus melibatkan pemain dan kru yang seluruhnya berasal dari Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Banjarnegara.

Film Judheg berkisah tentang Warti (Darti Yatimah), gadis berusia 16 tahun yang sudah menjadi ibu muda di tengah tekanan ekonomi dan sosial. Di tengah kemiskinan dan gizi buruk, ia berjuang menyusui bayinya, Cahyo (Adzfar Al Kautsar), meski ASI-nya tak keluar karena stres dan kelelahan.

Sementara itu, suaminya Supri (Sigit Blewuk) justru larut dalam judi online dan kekerasan rumah tangga. Di balik tumpukan bulu mata palsu yang ia rangkai untuk bertahan hidup, Warti harus menentukan langkah besar dalam hidupnya—bertahan dalam rumah tangga yang beracun atau menyelamatkan diri bersama anaknya.

Menurut Misya Latief, Judheg diangkat dari realitas sosial yang banyak ditemui di desa-desa Jawa Tengah, khususnya Desa Tunjungmuli, Kecamatan Karangmoncol, Purbalingga, tempat film ini mengambil latar.

“Pernikahan dini merenggut masa remaja bagi banyak perempuan muda di pedesaan. Mereka dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Judheg adalah kisah tentang tubuh perempuan yang menyimpan luka, lelah, dan sekaligus kekuatan,” ujar Misya Latief, yang juga pendiri Rekam Films.

Misya menjelaskan, fenomena pernikahan dini bukan sekadar isu lokal, tetapi masalah nasional yang serius. Berdasarkan data childmarriagedata.org, Indonesia menempati peringkat keempat dunia dengan 25,5 juta kasus pernikahan anak di bawah 18 tahun, setelah India, Bangladesh, dan Tiongkok.

“Banyak kasus terjadi di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Ketika ekonomi menjadi alasan utama, pernikahan dini dianggap jalan keluar, padahal justru menimbulkan persoalan baru, dari kekerasan rumah tangga hingga gangguan kesehatan mental ibu muda,” jelas Misya.

Film ini, lanjutnya, menjadi bentuk keprihatinan dan seruan agar publik lebih peka terhadap dampak sosial pernikahan dini. “Lewat Judheg, saya ingin mengajak penonton melihat sisi manusiawi dari persoalan ini. Di balik kemacetan ASI, ada kelelahan batin yang luar biasa, tapi juga keteguhan seorang ibu muda yang memilih bertahan hidup demi anaknya,” ujarnya.

Produser Yuda Kurniawan menegaskan bahwa Judheg bukan sekadar drama, tetapi juga media edukasi bagi masyarakat, khususnya remaja dan orang tua. Ia menyebut pernikahan dini sebagai cerminan dari rendahnya kesadaran pendidikan dan kemiskinan struktural di berbagai daerah Indonesia.

“Fenomena pernikahan dini berulang karena masih banyak keluarga yang menganggap menikahkan anak adalah solusi untuk lepas dari beban ekonomi. Padahal, dampaknya sangat luas, mulai dari perceraian, kekerasan, hingga kematian ibu dan bayi,” tutur Yuda.

Ia menambahkan, lewat pendekatan sinema yang berakar pada kehidupan masyarakat desa, Judheg diharapkan mampu memberi nilai lebih bagi penonton nasional maupun internasional. “Kami menghadirkan kehidupan masyarakat Purbalingga secara nyata, lengkap dengan bahasa, aktivitas, dan panoramanya. Ini bukan hanya soal film, tetapi tentang identitas dan kesadaran sosial,” imbuhnya.

Salah satu kekuatan Judheg adalah penggunaan bahasa Banyumasan (Ngapak) sebagai bahasa utama. Keputusan ini tidak hanya memberi warna lokal yang autentik, tetapi juga menjadi pernyataan kebanggaan terhadap bahasa ibu.

“Bahasa Ngapak sering dianggap lucu, tapi lewat Judheg kami ingin menunjukkan bahwa bahasa ini bisa membawa pesan yang dalam dan emosional,” ujar Misya Latief.

Dengan melibatkan seluruh pemain dan kru dari wilayah Banyumas Raya, Judheg menjadi contoh nyata bagaimana kolaborasi kreatif lokal dapat melahirkan karya berkelas nasional.
 

Editor : Elde Joyosemito

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut