PURWOKERTO, iNews.id - Jaksa Agung ST Burhanuddin mendapatkan gelar guru besar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jumat (10/9/2021). Dalam pidatonya, ST Burhanuddin mendorong hukum yang berdasarkan hati nurani, sebab, saat sekarang sudah mulai terjadi pergeseran paradigma hukum dari keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif (pemulihan).
“Keadilan adalah tujuan utama dari hukum. Tetapi bukan berarti tujuan hukum yang lain yaitu kepastian dan kemanfaatan terpinggirkan. Ketika keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum saling menegasikan, maka hati nurani menjadi jembatan untuk mencapai titik neraca keseimbangan,” kataJaksa Agung.
Bahkan Jaksa Agung telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan RI.
“Saya Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Aturan ini disebut Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif. Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif lahir untuk memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum materil dan hukum formil yang belum mengatur penyelesaian perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif,”jelasnya.
Dia menjelaskan jika hati nurani bukanlah tujuan hukum, melainkan instrumen katalisator untuk merangkul, menyatukan, dan mewujudkan ketiga tujuan hukum tersebut secara sekaligus. Ketika kemanfaatan hukum dan kepastian hukum yang dilandasi dengan hati nurani telah tercapai secara bersamaan, maka keadilan hukum akan terwujud secara paripurna. Adanya komponen hati hurani yang memiliki andil besar dalam mewujudkan keadilan hukum ini, saya namakan sebagai hukum berdasarkan hati nurani,”ujarnya.
Dia juga mengungkapkan bahwa saat ini hukum masih mengedepankan aspek kepastian hukum dan legalitas-formal, daripada keadilan hukum yang lebih substansial bagi masyarakat. Dimana berbagai kalangan masih memandang jika hukum bagaikan pisau yang tajam kebawah, namun tumpul ke atas.
"Kita tidak dapat menutup mata dari sejarah penegakan hukum yang berkembang di Indonesia. Telah terjadi beberapa kali peristiwa penegakan hukum yang seringkali mencederai rasa keadilan masyarakat,”ucapnya.
Dia kemudian mencontohkan beberapa kasus yang muncul dan mendapat perhatian masyarakat Indonesia. Di antaranya nenek Minah yang didakwa melakukan pencurian tiga buah kakao, kemudian di vonis 1 bulan dan 15 hari penjara dengan masa percobaan selama 3 bulan. Kasus lainnya adalah kasus Kakek Samirin yang divonis bersalah 2 bulan dan 4 hari penjara karena mencuri getah karet yang hanya sekitar Rp17 ribu.
“Tentunya dari kasus Nenek Minah dan Kakek Samirin tersebut telah mengusik rasa keadilan banyak pihak. Banyak kalangan yang akhirnya mempertanyakan di mana letak hati nurani para aparat penegak hukum, yang tega menghukum masyarakat kecil dan orang tua renta atas kesalahannya. Kegelisahan- kegelisahan inilah yang perlu ditinjau lebih dalam bagaimana suatu tujuan hukum dapat tercapai secara tepat dalam menyeimbangkan hukum yang tersurat dan tersirat,”jelasnya.
Dia menjelaskan, setiap penegak hukum memahami dan menanamkan dengan baik nilai-nilai Pancasila ke dalam hati nuraninya, maka setiap pemikiran, sikap, dan perilaku yang diambilnya akan senantiasa berkiblat pada rasa kemanusiaan.
“Rasa kemanusiaan ini yang menjadi pranata dalam mencapai tujuan utama hukum yaitu keadilan hukum. Dengan menyerap hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang penuh dengan muatan nilai-nilai moral sebagai refleksi atas budaya masyarakat, kita harus dapat melihat jika saat ini telah terjadi pergeseran paradigma hukum dari keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif (pemulihan),” jelasnya.
Dengan hukum yang berdasarkan hati nurani, merupkan cara untuk mewujudkan keadilan hukum yang hakiki. Pijakannya pada kemanfaatan hukum dan kepastian hukum yang dicapai secara bersamaan dengan cara melibatkan hati nurani.
Dia juga menjelaskan tiga pendekatan tujuan hukum berada dalam bingkai hati nurani, artinya keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dilihat, keadilan itu abadi dan tidak temporal.
"Bagaimana seseorang mengetahui apa itu keadilan, padahal keadilan itu bukan hasil penalaran tetapi produk nurani. Kedua, kemanfaatan hukum dalam bingkai hati nurani, bahwa negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat hakiki. Dan ketiga adalah kepastian hukum dalam bingkai hati nurani, bahwa hukum adalah sistem norma yang menekankan aspek ‘seharusnya’ dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan,”tambahnya.
Editor : Arbi Anugrah