JAKARTA, iNews.id - Bulan Ramadhan selalu menjadi bulan yang sangat istimewa bagi umat Islam. Bahkan kedatangan bulan yang banyak keistimewaannya ini selalu ditunggu-tunggu umat Muslim.
Kisah kesedihan Rasulullah dan sahabat di akhir Ramadhan berikut ini patut dijadikan teladan.
Memang setiap ibadah di bulan ini menjadi istimewa karena pahalanya yang dilipatgandakan. Namun, tak jarang kekhusyukan di penghujung bulan Ramadhan biasanya sudah mulai teralihkan dengan gegap gempita hari raya.
Meski begitu, tidak demikian yang terjadi pada Rasulullah dan para sahabat.
Rasulullah dan para sahabat justru menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam ketika akan berpisah dengan bulan penuh ampunan. Hal tersebut terekam dalam sebuah riwayat.
Suatu ketika Rasulullah pernah berkata, "Apabila malam terakhir bulan Ramadhan tiba, maka menangislah langit, bumi, dan para malaikat karena musibah menimpa umat Muhammad SAW."
Kemudian seorang bertanya tentang musibah apa yang akan menimpa mereka. Rasulullah SAW lalu menjawab, "Perginya bulan Ramadhan, karena di bulan Ramadhan itu semua doa diijabah, semua sedekah diterima, semua kebaikan dilipatgandakan pahalanya dan siksa ditolak (dihentikan)." (Diriwayatkan dari Jabir).
Terlebih, belum tentu di tahun depan semua akan dipertemukan kembali dengan bulan suci berikutnya. Maka dari itu, kiranya umat islam senantiasa melakukan kebaikan semaksimal mungkin ketika bulan suci.
"Sekiranya umatku ini mengetahui apa-apa (kebaikan) di dalam bulan Ramadhan, niscaya mereka menginginkan agar tahun semuanya itu menjadi Ramadhan." (HR Ibnu Abbas)
Keteladanan Kisah Ali bin Abi Thalib
Dikutip iNews.id dari laman resmi Kemenag, keteladanan Ali bin Abi Thalib ra tentang penghujung bulan Ramadhan disaksikan dua sahabat karibnya, Ibnu Rafi’i dan Abu Al Aswad Ad Du’ali.
Kisah teladan tersebut juga termaktub pada dua Kitab Sirah Ashabun Nabi, karya Syaikh Mahmud al-Misri dan Siyar A’lam An-Nubala’, karya Imam Adz-Dzahabi.
Dikisahkan, setelah shalat Ashar saat bulan Ramadhan dan setelah seharian beliau tampak merasa sedih karena bulan Ramadhan akan segera berakhir, Sayyidina Ali ra kemudian pulang dari masjid.
Sesampainya di rumah, ia lantas disambut sang istri tercinta yakni Sayyidah Fathimah Az-Zahra ra dengan pertanyaan penuh perhatian.
“Kenapa engkau terlihat pucat, kekasihku,” sapa Sayyidah Fatimah.
“Tak ada tanda-tanda keceriaan sedikitpun di wajahmu, padahal sebentar lagi kita akan menyambut hari kemenangan?,” lanjutnya.
Ali hanya terdiam lesu dan tak berapa lama kemudian ia meminta pertimbangan sang istri untuk menyedekahkan semua simpanan pangannya kepada fakir miskin.
“Hampir sebulan kita mendapat pendidikan dari Ramadhan, bahwa lapar dan haus itu teramat pedih. Segala puji bagi Allah, yang sering memberi hari-hari kita dengan perut sering terisi,” kata Ali.
Setelah itu dan sebelum takbir berkumandang, Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra kemudian terlihat sibuk mendorong pedatinya.
Pedati tersebut berisi tiga karung gandum dan dua karung kurma hasil dari panen kebunnya. Ia lalu berkeliling dari pojok kota dan perkampungan untuk membagi-bagikan simpanan pangan tersebut kepada fakir miskin dan yatim/piatu.
Editor : Arbi Anugrah