Ketika Candu Dilegalkan di Masa Hindia Belanda, Opium Komoditas Paling Menguntungkan

Solichan Arif
Pengisap opium Jawa (foto repro dari koleksi Koninklijk Instituut voor de Tropen, Amsterdam).

Selain Surakarta, Karsidenan Kediri, Madiun dan Semarang, karsidenan di wilayah pesisir juga menjadi basis pasar peredaran opium yang besar. Rembang dan Surakarta yang saling berdekatan, bersama Kedu dan Yogyakarta di bagian selatan Jawa Tengah, juga menjadi kantong-kantong konsumen atau penghisap opium dalam jumlah besar.

Begitu juga wilayah Pasuruan, Probolinggo dan Besuki (Jawa Timur), serta Pulau Madura, konsumsi opium secara konsisten tergolong tinggi. Pada abad ke-19, menghisap opium sudah menjadi ciri umum kehidupan masyarakat Jawa di kota maupun di desa. Di setiap desa maupun kota terdapat pemakai tetap dan para penghisap yang bersifat kadang-kadang.

Sementara kelas sosial menentukan cara menikmati opium. Golongan warga biasa menghisap di pondok-pondok umum, tempat khusus untuk menikmati opium. Mereka diantaranya para pedagang keliling, pekerja upahan atau kuli, tukang, pengembara dan lain sebagainya.

Yang diisap yakni opium mentah atau candu yang disuling dan dicampur dengan penguat rasa serta bahan campuran lainnya. Alat penghisapnya buatan rumah atau batang daun pepaya sekali pakai.

“Rakyat kebanyakan mengisap campuran yang lebih rendah kualitasnya dengan menggunakan pipa sederhana dan menikmati ramuan lebih murah, seperti tike, daun awar-awar (ficus septica), dirajang halus dan dicampur dengan candu dan gula,” tulis James R Rush.  

Para priyayi Jawa atau orang-orang yang lebih kaya, termasuk orang-orang Tionghoa mengisap candu yang berkualitas baik dan lebih mahal. Mereka memakai pipa-pipa penghisap yang bermutu bagus (badudan). Orang-orang Tionghoa kaya biasanya juga menikmati opium di rumah atau klub-klub opium pribadinya.

Bagi kalangan priyayi Jawa, mengisap candu sudah menjadi semacam life style. Opium menjadi sisi keramahtamahan sosial kaum bangsawan.

Pada acara pesta-pesta yang digelar para priyayi, tuan rumah hampir selalu memberi suguhan candu kepada tamu laki-laki. Di masyarakat desa dan masyarakat perkebunan, aksi bagi-bagi opium dilakukan pada saat musim panen padi dan dimulainya petik kopi.

Catatan Jaffe dan Martin dalam Oploid Analgesics and Antagonist (1976) menyebutkan orang-orang Jawa para penghisap candu meyakini opium dapat memberi mereka energi sekaligus membantu agar tetap terjaga di malam hari. Opium diyakini bisa menjadi obat sakit kepala, demam, malaria, sakit perut, diare, disentri, asma, lelah dan gelisah. Bagi kebanyakan orang, mengisap candu dapat menghilangkan perasaan tidak nyaman pada kehidupan.

Lalu bagaimana dengan orang-orang Belanda sendiri? P.A Daum dalam catatan Ups and Downs Of life in the Indies (1892), menyebut orang-orang Belanda lebih menyukai gin, yakni minuman beralkohol dari hasil fermentasi dan proses distilasi. Bagi orang- orang Belanda opium bersifat buruk. “Yang diasosiasikan dengan orang-orang blasteran yang lemah dan orang-orang jahat yang menghilang di kampung-kampung dan daeah kumuh”.

Demikian sejarah legalitas opium atau candu yang pernah berlaku di Indonesia pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.

 

Editor : Aryo Arbi

Sebelumnya

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network