Lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet Diprotes, Begini Kisah Jaka Tingkir Sebagai Ulama dan Raja

Tim iNews.id, Tim MPI
Lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet menghebohkan. Sebab, Joko Tingkir atau Jaka Tingkir merupakan tokoh dan ulama Muslim yang sangat dihormati. (Foto MNC)

JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet menghebohkan. Sebab, Joko Tingkir atau Jaka Tingkir merupakan tokoh dan ulama Muslim yang sangat dihormati. 

Lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet memang viral beberapa waktu belakangan, tetapi kemudian sejumlah ulama dan seniman Kabupaten Lamongan memprotes munculnya lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet. 

Sebab, Jaka Tingkir, kata Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim, KH Makruf Khozin merupakan ulama dari tanah Jawa. “Saya menyarankan pencipta lagu untuk mengalah dan mencari sajak alternatif lain. Cari padanan kata yang tidak harus Joko Tingkir,”ujarnya.

Hingga kini, lantunan musik yang bersemangat dengan lirik lagu yang mirip pantun tersebut, membuat lagu ini cepat populer. Sejumlah biduan dangdut pun turut melakukan cover terhadap Joko Tingkir Ngombe Dawet, seperti Denny Caknan, Yeni Inka, Farel Prayoga, hingga Happy Asmara. 

Lalu, siapa sesungguhnya Joko Tingkir tersebut?  Menurut J.J. MEINSMA dalam Babad Tanah Djawi: Javaanse Rijskroniek menulis Joko Tingkir atau dalam tulisan lain disebut Jaka Tingkir lahir di Pengging, Boyolali, Jawa Tengah.

Jaka putra dari Ki Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging), anak dari Pangeran Handayaningrat (Ki Ageng Pengging Sepuh), seorang bangsawan keturunan raja Majapahit yang menikahi Ratu Pembayun, satu-satunya anak dari Prabu Brawijaya dengan permaisurinya.

Ia lahir sewaktu ada pertunjukan wayang beber (juga dinamakan wayang krebet) maka ia pun dinamakan Mas Krebet.

Jaka Tingkir hidup dalam pelarian setelah ayahnya terlibat dalam upaya pemberontakan atas Demak. Andayaningrat dikisahkan tewas di tangan Sunan Kudus.

Ibunya meninggal. Jaka Tingkir menjadi yatim-piatu di usia muda. Oleh keluarganya ia dibawa ke desa Tingkir dan diadopsi oleh seorang janda kaya, sahabat ayahnya.

Ia diberi nama Jaka Tingkir, pemuda dari Tingkir yang dikenal dan dicintai di mana-mana di daerah raja-raja Jawa Tengah, tulis H.J. De Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati.

Babad Tanah Jawi menyebutkan Jaka Tingkir lalu belajar pada Kiai Ageng Sela di Purwodadi. Jaka Tingkir juga menerima pelajaran dari Sunan Kalijaga. Wali penyebar Islam di tanah Jawa .

Sunan Kalijaga juga yang menyarankan kepada Jaka untuk bekerja di Demak. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng Sela yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.

Ketika menuju ke Demak, Jaka Tingkir muda melewati Bengawan Semanggi. (dulu namanya bukan Bengawan Solo) tetapi aslinya Bengawan Semanggi.

Dikatakan sebagai bengawan Semanggi karena tepinya banyak tumbuh pohon Semanggi. Dari bengawan Semanggi ini dia bergerak menuju ke Demak naik perahu rakit, yang didorong oleh 40 buaya.

Perahu rakit dengan 40 buaya itu simbol. Jaka Tingkir masuk ke Demak dengan dukungan 40 preman. Tujuannya supaya dia bisa meniti karir di Demak

Kemudian dia mendaftar sebagai pengawal pribadi raja. Ada kejadian yang membuat Sultan Trenggana terpana, diceritakan di Babad Tanah Jawi.

“Keberhasilannya salto melompati kolam masjid Demak dengan lompatan ke belakang –tanpa sengaja karena sekonyong-konyong ia harus menghindari Sultan dan parga pengiringnya, memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat sebagai tamtama, dan ia pun dijadikan kepala tamtama.”

Kisah itu juga diceritakan oleh Raden Sumito Joyo Kusumo atau Kandjeng Sri Sultan Suryoalam ,Sultan Demak sekarang.

"Yaa....Jaka Tingkir melompat kolam karena jalannya mau dilewati Kandjeng Sultan Suryoalam ke 3 atau Pangeran Trenggono, "ungkapnya.

Tetapi, jalan hidup Jaka Tingkir tidak selalu mulus. Ia sempat diusir dari Demak. Ia bermaksud menguji calon prajurit baru yang memiliki ilmu kebal, tapi Jaka Tingkir tidak sengaja justru membunuhnya. Tusuk konde yang dilempar menancap tepat di jantung calon prajurit itu.

Jaka Tingkir lantas kembali ke desanya. Ia bertapa dan berguru kepada Kiai Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, dan Kiai Buyut dari Banyubiru.

 Suatu ketika di Demak ada Seekor kerbau besar mengamuk. Para prajurit tidak mampu menghentikannya.

Jaka pergi ke Demak. Kerbau itu dipukul dengan tangan kosong sehingga kepalanya pecah. Ia mendapatkan kembali kedudukan sebagai kepala pengawal raja.

De Graaf menuliskan, beberapa waktu kemudian, ia menikah dengan putri ke-5 raja (Trenggana), menjadi bupati Pajang dengan daerah seluas 4.000 bau. Tiap tahun ia harus menghadap ke Demak. Negerinya berkembang dengan baik sekali dan di sanalah dibangunnya sebuah istana.

Kemudian Sultan Trenggana wafat saat menyerang Pasuruan . Usai pemakaman Sultan Tranggana, Jaka Tingkir mengumumkan kekuasaannya di Demak. Ia kemudian memindahkan pemerintahan Demak ke Pajang, sekarang Kartasuro.

Sakti Mandraguna

Joko Tingkir yang dikenal sebagai Mas Karebet memang sosok yang tidak lagi asing bagi masyarakat Jawa.

Dia merupakan raja pertama Kesultanan Pajang sejak tahun 1549-1582. Joko Tingkir juga dikenal sebagai pria yang memiliki kemampuan sakti mandraguna.

Joko Tingkir sudah harus menghadapi kehidupan yang cukup keras sejak kecil. Dirinya harus kehilangan sang ayah, Ki Ageng Pengging yang dihukum mati oleh Sunan Kudus, karena dituduh membelot oleh Kerajaan Demak.

Mengutip buku Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati karya De Great, ibunya juga meninggal karena sakit. Setelah kematian sang ibu, Joko Tingkir diangkat menjadi anak dari Nyai Ageng Tingkir.

Semenjak itu, Joko Tingkir rajin bersemedi maupun mempelajari ilmu bela diri. Dirinya dilatih oleh sejumlah tokoh terkemuka seperti Sunan Kalijaga, Ki Ageng Sela, dan Ki Ageng Banyu Biru.

Kesaktian Joko Tingkir sudah terasah sejak belia. Terdapat beberapa kisah mengenai Joko Tingkir di mana dirinya sanggup menunjukan kemampuannya melawan musuh kuat.

Salah satunya adalah ketika Joko Tingkir bertarung melawan Buaya Putih. Dirinya bersama Ki Bahurekso dan patih Jalumampang.

Buaya Putih sendiri merupakan simbolisme dari sosok lain. Ada yang berkata kalau Buaya Putih merupakan penguasa. Ada juga yang menyatakan kalau Buaya Putih adalah ulama.

Namun, tidak dapat dipungkiri kalau Buaya Putih merupakan sosok sakti. Joko Tingkir, Ki Bahurekso, dan Jalumampang melawan mereka ketika sedang mengarungi Sungai Tuntang untuk kembali ke Demak.

Setelah turun dari perahu, Joko Tingkir menunaikan misinya untuk mengambil hati Sultan Trenggono di Gunung Prawata. Dirinya memiliki strategi tersendiri untuk melakukan misinya.

Joko Tingkir berencana untuk membuat seekor kerbau mengamuk di pesanggrahan milik Sultan Trenggono. Ketika kerbau tersebut mengobrak-abrik tempat tersebut, Joko Tingkir akan muncul sebagai pahlawan yang akan menghentikan amukan kerbau tersebut.

Untuk itu, Joko Tingkir meminta Ki Banyubiru untuk menjampi-jampi rumput yang hendak dimakan kerbau tersebut, bernama Kebo Danu.

Jampi-jampi tersebut bisa membuat Kebo Danu menjadi tidak terkontrol. Amukan Kebo Danu membuat prajurit-prajurit kerajaan turun tangan menghentikan kerbau itu. Namun, tidak ada dari mereka yang mampu menghentikan kerbau itu.

Sesuai dengan perkiraan Joko Tingkir, Sultan Trenggono meminta Joko Tingkir untuk menghentikan Kebo Danu. Joko Tingkir berhasil menghentikan kerbau itu hanya dengan sekali pukul yang membuat kepala hewan itu hancur.

Joko Tingkir akhirnya mampu menyita perhatian Sultan Trenggono. Dirinya diangkat menjadi menantu dan menikahi anak dari Sultan Trenggono, Ratu Mas Kencana.

Gus Dur Masih Keturunan Joko Tingkir

Melansir Jatim.nu.or.id, Jumat (8/4/2022), menurut penelusuran sejumlah pihak, putra KH A Wahid Hasyim ini ternyata keturunan Sumenep. 

Hal tersebut diakui Gus Dur ketika datang ke Sumenep pada 2003. Gus Dur ke sana untuk untuk memberikan ceramah di Masjid Agung Sumenep saat acara Maulid Nabi Muhammad SAW.

Di hadapan jemaah yang hadir, Gus Dur bercerita nenek buyutnya orang Sumenep. Hidup 500 tahun yang lalu. Gus Dur tak tahu nama aslinya. Hanya ingat gelarnya: Kanjeng Ratu Putri. Tentu sudah meninggal, tapi makamnya masih bisa dijumpai, ada di Asta Tinggi.

Asta Tinggi merupakan nama kompleks pemakaman raja-raja Keraton Sumenep. Letaknya di Desa Kebunan, sekitar 3 kilometer sebelah barat pusat Kota Sumenep. Pemakaman ini menarik karena letaknya di atas bukit.

Kanjeng Ratu Putri memiliki anak, namanya Hadiwijaya yang kelak menjadi Sultan Kerajaan Pajang yang pertama. Dalam perjalanannya, populer dengan nama Jaka Tingkir. Jaka Tingkir punya anak, Raden Benawa, dari raja terakhir kerajaan Pajang inilah nyambung silsilah Gus Dur. Karenanya disebut keturunan ke-12.

Dalam sebuah kesempatan, Gus Dur bercerita soal suatu ketika Jaka Tingkir berselisih dengan anak angkatnya Raden Sutawijaya yang memimpin Mataram. Pertempuran terjadi dan Jaka Tingkir atau Hadiwijaya kalah.

Karena kalah, Jaka Tingkir lari ke Sumenep, naik perahu dari Bengawan Solo. Tujuannya, untuk menemui sang ibu, Kanjeng Ratu Putri untuk minta ilmu kanuragan. Tujuannya untuk merebut kembali tahta Kerajaan Pajang.

Ibunya menaruh perhatian dan meluluskan pemintaan sang anak, Jaka Tingkir dengan mengajarkan 40 ilmu kanuragan sekaligus. Hal tersebut demi memastikan sang anak agar menjadi sosok pilih tanding. Setelah itu, Jaka Tingkir kembali ke Pajang untuk membalas kekalahan.

Namun ketika sampai di daerah Pringgoboyo, selatan Paciran, dekat Lamongan, Jaka Tingkir beristirahat sekaligus untuk mengisi persediaan air minum, tiba-tiba didatangi gurunya. Si guru mencegah Jaka Tingkir merebut kembali kerajaan Pajang karena diperkirakan akan kalah melawan Sutawijaya. Sang guru menyarankan agar Jaka Tingkir menetap saja di Pringgoboyo, mendirikan pesantren dan mendidik masyarakat.

Kata si guru, bangunlah satu kekuatan di luar kekuasaan. Caranya dengan mendidik masyarakat. Jaka Tingkir rupanya menuruti nasihat gurunya, dia menetap di Pringgoboyo. Konon hingga akhirnya hayatnya.

Soal di mana Jaka Tingkir dimakamkan, masih ada saling klaim. Ada yang meyakini dikubur di Sragen. Ada juga yang menyakini dikubur di Lamongan.

Gus Dur sendiri sering berkunjung ke petilasan Jaka Tingkir di Pringgoboyo. Bahkan 10 hari sebelum dilantik jadi Presiden RI ke 4, Gus Dur masih ziarah ke sana, makam nenek moyangnya.

 

Editor : Elde Joyosemito

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network