LETNAN Jenderal TNI TB Simatupang satu angkatan dengan Jenderal AH Nasution dan Lex Kawilarang saat di Akademi Militer Kerajaan (KMA: Koninlijke Militaire Academie).
Letnan Jenderal Tahi Bonar (TB) Simatupang dikenal sebagai tentara intelektual yang merupakan salah satu pencetak awal fondasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) .
Simatupang merupakan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang RI era 1948-1949 dan Kepala Staf Angkatan Perang RI era 1950-1954. Simatupang pensiun dini dari militer pada 1959.
Simatupang kemudian mengisi hari-harinya menjadi aktivis gereja dan pernah menjadi Ketua Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Asia dan Ketua Dewan Gereja-Gereja se-dunia.
Disadur dari Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI), Bonar, nama kecil Simatupang dilahirkan di Sidikalang, sekarang jadi ibu kota Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara, sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara. Ayahnya seorang ambtenaar bernama Simon Mangaraja Soaduan Simatupang dan ibunya bernama Mina Boru Sibutar.
Ayahnya bekerja sebagai pegawai kantor pos dan telegraf (PTT: Post, Telefoon en Telegraaf) yang sering berpindah tempat tugas, mulai dari Sidikalang pindah ke Siborong-borong, kemudian ke Pematang Siantar. Ayahnya merupakan pendiri Persatuan Kristen Indonesia, yang kemudian jadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Dia dibesarkan di tengah keluarga dengan tradisi Gereja Lutheran yang kuat namun tetap teguh memegang adat Batak-nya. Simatupang termasuk orang yang hobi berlama-lama membaca atau menulis sesuatu dan selalu tidak lepas dari kaca mata.
Bonar menempuh pendidikannya di HIS Pematangsiantar dan lulus pada 1934. Dia melanjutkan sekolahnya di MULO Dr Nomensen di Tarutung pada tahun 1937, lalu ke AMS di Salemba, Batavia dan selesai pada 1940. Saat bersekolah di Batavia, Bonar terbilang siswa yang pintar, termasuk fasih berbahasa Belanda.
Saat belajar sejarah, Bonar pernah mendebat guru sejarahnya hingga dia diusir karena gurunya dianggap terlalu merendahkan kemampuan bangsa Indonesia.
Gurunya tersebut, Meneer Haantjes, menyatakan bahwa penduduk “Hindia Belanda” tidak mungkin bersatu mencapai kemerdekaan karena perbedaan besar di antara suku-suku dan bahwa penduduk “Hindia Belanda” tidak mungkin membangun tentara yang modern untuk mengalahkan Belanda karena fisiknya yang pendek tidak mengizinkan untuk tentara yang baik.
Bonar menyatakan bahwa Meneer Haantjes telah menyebarkan mitos yang ketidakbenarannya akan dibuktikan sejarah selanjutnya. Direktur sekolah, Meneer de Haan, seorang Calvinis yang taat memberikan nasihat padanya agar dalam mengemukakan pendapat diusahakan tidak menyakiti hati orang lain.
Semula Bonar merasa nasihat itu adalah nasihat orang yang berjiwa kolonial. Namun di kemudian hari, Simatupang merasa andaikan dia menerima nasihat direkturnya lebih sungguh, mungkin dia tidak akan mengalami kesulitan dalam kehidupannya selanjutnya.
Pada bulan Mei 1940, negeri Belanda diinvasi oleh pasukan Nazi Jerman, Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KL, Koninlijke Leger) dibubarkan dan senjatanya dilucuti, demikian pula akademi militer kerajaan (KMA: Koninlijke Militaire Academie) di Breda dan diungsikan ke Bandung, Hindia Belanda.
Bonar yang baru usai menyelesaikan pendidikan menengahnya di AMS Batavia, memutuskan mengikuti ujian masuk KMA untuk membuktikan ucapan gurunya tentang mitos orang Indonesia tidak akan pernah merdeka dan tidak bisa membangun angkatan perang tidak benar.
Lulus KMA pada tahun 1942, Bonar mendapatkan gelar taruna mahkota dengan mahkota perak karena dinilai berprestasi khususnya di bidang teori. Rekan seangkatannya di KMA antara lain AH Nasution dan Lex Kawilarang. Pada masa itu, menurut Nasution, Bonar sudah membaca dan mendalami buku "Tentang Perang" karya Carl von Clausewitz.
Dalam pertemuan alumni, biasanya Bonar yang paling banyak bicara dan memberikan analisis-analisis. Bahkan menurut Kawilarang, seandainya Bonar orang Belanda, dia pasti akan mendapatkan mahkota emas. Tak lama kemudian, bala tentara Kekaisaran Jepang menginvasi Hindia Belanda hingga menyerah tanpa syarat pada 8 Maret 1942.
Pasangan ini dikaruniai empat orang anak, satu diantaranya telah meninggal. Istri Simatupang merupakan adik kawan seperjuangannya yaitu Ali Budiardjo. Simatupang dan Sumarti sudah mulai akrab sewaktu berlangsung Konferensi Meja Bundar.
Simatupang menempuh pendidikan dasarnya di HIS Pematang Siantar dan menyelesaikannya pada tahun 1934. Dia kemudian melanjutkan pendidikannya di MULO Tarutung dan menyelesaikannya pada 1937.
Lulus dari MULO, Simatupang lalu melanjutkan pendidikannya ke AMS di Jakarta dan menyelesaikannya pada tahun 1940. Simatupang kemudian menlanjutkan pendidikannya ke Koninkijke Militarij Acadeimie (KMA) di Bandung setelah lulus AMS. KMA merupakan suatu sekolah militer yang lulusannya akan menjadi anggota KNIL.
Dia menyelesaikan pendidikan militernya pada 1942, bertepatan dengan masuknya tentara Jepang ke Indonesia. Simatupang bersama teman-temannya kemudian ditempatkan Jepang di Resimen Pertama Jakarta dengan pangkat Calon Perwira.
Di tempat ini, Simatupang berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Ali Budiardjo, lalu mulai aktif dalam diskusi-diskusi tentang makna perjuangan dan kemerdekaan. Baca juga: Slamet Riyadi, Gugur Tertembak di Usia 23 Tahun Jelang Operasi Berakhir
Selama perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan, Simatupang bersama Jenderal Sudirman memimpin tentara bergerilya di Jawa Tengah. Aktivitasnya ini kemudian diabadikannya dalam buku Laporan dari Banaran (1980).
Selain aktivitas perjuangan fisik, Simatupang juga aktif menjadi penasihat militer dalam perundingan-perundingan yang dilakukan Indonesia dengan Belanda, seperti dalam perundingan-perundingan yang menghasilkan Perjanjian Renville dan lantas aktif pula dalam perundingan lanjutannya di Kaliurang, 24 kilometer di utara Yogyakarta, perundingan Roem Royen.
Pada 1949, Simatupang mewakili Angkatan Bersenjata dalam delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar. Misi utamanya adalah mendesak Belanda membubarkan KNIL serta mengukuhkan TNI sebagai kekuatan inti Angkatan Perang RI.
Ketika Jenderal Sudirman wafat, Simatupang tidak lama kemudian dilantik sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) RI.
Jabatan KSAP secara hierarki organisasi pada waktu itu berada di atas Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) dan berada di bawah tanggung jawab Menteri Pertahanan (Menhan).
Terkait dengan perjuangan fisik, renungan Simatupang tentang serangan mendadak Belanda atas Yogyakarta pada 19 Desember 1948 kemudian ia tuturkan kembali dalam buku, Laporan dari Banaran: “Apakah pagi ini lonceng matinya Republik sedang dibunyikan? Atau apakah Republik sedang kita akan lulus dalam ujian ini?”.
Pertanyaan-pertanyaan itu dijawabnya sendiri dengan mengatakan: “Itu bergantung pada diri kita sendiri, kita yang menyebut diri kaum Republiken. Hari ujian bagi kita telah tiba. Apakah kita loyang? Apakah kita emas?” Kenyataannya Yogya jatuh. Presiden, Wakil Presiden dan para pemimpin lainnya telah ditawan Belanda. Seperti prajurit-prajurit yang lain, Simatupang kemudian bergerilya bersama Jenderal Sudirman.
Dalam perjalanan perang gerilya, Simatupang sering diolok-olok sebagai “diplomat kesasar” karena selama gerilya, ia hampir tidak lepas dari setelan celana abu-abu dan kemeja buatan luar negeri yang dipakainya ketika ia menjadi penasihat militer dalam perundingan Kaliurang dan pakaian itulah yang menempel di tubuhnya ketika berangkat gerilya.
Simatupang menyebut masa perjuangan kemerdekaan sebagai “loncatan pertama” dan itu sudah terlewati. Simatupang kemudian menyusun konsep memfungsikan ABRI sebagai dinamisator pembangunan di masa damai. Simatupang menyebut pemikiran ini sebagai “loncatan kedua”. Konsep inilah yang kemudian diperkenalkan AH Nasution sebagai Dwi Fungsi ABRI.
Usaha rasionalisasi dan profesionalisasi ABRI yang dilaksanakan TB Simatupang yang bertujuan untuk meningkatkan mutu tentara, mendapat kritik dari para politisi. Pemikiran ini pun berbeda pandangan dengan Bung Karno.
Perselisihan ini berawal dari peristiwa 17 Oktober 1952, ketika tentara menghadapkan moncong meriam ke Istana dan meminta Presiden membubarkan Parlemen. Aksi yang dilakukan oleh Nasution dan kawan-kawan ini membuat Simatupang dituduh terlibat dalam peristiwa tersebut.
Simatupang bisa jadi merupakan salah satu nama yang tidak disukai oleh Presiden Sukarno hingga akhir dia menjabat. Ditengarai peristiwa itu membuat Sang Proklamator marah besar kepada TB Simatupang.
Melansir buku Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, ini lantaran TB Simatupang menolak memenuhi permintaan Sukarno untuk memecat Kolonel AH Nasution yang pada Juli 1952 menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). TB Simatupang menilai itu akan jadi preseden buruk di masa depan jika seorang Presiden bisa seenaknya memecat atau mengangkat seseorang di tubuh militer.
Perbedaan pendapat yang tajam antara Simatupang dan Bung Karno berakhir pencoptan dirinya dan dengan dihapuskannya jabatan KSAP pada 1954. Dia lalu ditunjuk sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan. Sebelum menjadi Penasihat Militer, Simatupang ditawari jabatan sebagai Duta Besar namun ditolaknya.
Simatupang memanfaatkan waktunya selama lima tahun, sebelum ia mengundurkan diri dari dinas militer untuk mengajar di Sekolah Staf Angkatan Darat dan Akademi Hukum Militer. Materi pengajaran yang ia berikan di kedua sekolah tersebut, kemudian ia tulis kembali menjadi buku dengan berjudul Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai (1981).
Pada 21 Juli 1959, Simatupang mengundurkan diri dari dinas kemiliteran dan sejak itu ia aktif dalam aktifitas keagamaan. Dia kemudian menjadi Ketua Umum Dewan Gereja Indonesia. Dia juga pernah mengetuai Dewan Gereja se-Asia dan Dewa Gereja se-Dunia.
Selain aktif di bidang keagamaan, Simatupang juga aktif dalam Bidang Pendidikan, ketika Dr AM Kadarman SJ melontarkan gagasan mendirikan sebuah sekolah manajemen bagi generasi muda Indonesia, Simatupang mendukung ide tersebut dan kemudia ide itu diwujudkan dengan didirikannya Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (YPPM) pada 3 Juli 1967.
Yayasan ini didirikan bersama dengan tokoh-tokoh lain, misalnya untuk dewan pendiri ada Profesor Bahder Djohan mewakili golongan Islam, Dr AM Tambunan mewakili golong Kristen dan IJ Kasimo mewakili golongan Katolik. Simatupang sendiri kemudian menjabat sebagai Ketua Yayasan yang membawahi Institut Pendidikan dan Pembinaaan Manajemen (IPPM).
Selain aktif di bidang pendidikan dan agama, Simatupang juga aktif di media massa. Simatupang menjadi Dewan Redaksi Koran Sinar Harapan yang diterbitkan PT Sinar Kasih. Simatupang masuk Dewan Redaksi sejak didirikannya hingga pembredelan Sinar Harapan pada Oktober 1986. Tajuk rencana yang ditulisnya sering mendapat penghargaan Adinegoro.
Dalam kehidupannya, Simatupang merasa ada tiga Karl yang mempengaruhi kehidupannya dan juga pemikirannya, yaitu; Carl von Clausewitz, seorang ahli strategi perang, Karl Marx dan Karl Barth, teolog Protestan terkemuka abad ke-20. Seluruh kehidupan Simatupang mencerminkan peranan ketiga pemikir besar itu.
Simatupang kemudian memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Tulsa, Amerika Serikat untuk pemikiran-pemikiran ilimiahnya pada tahun 1969. Karya-karya lain dari Simatupang yang diterbitkan antara lain Soal-soal Politik Militer di Indonesia (1956), Pengantar Ilmu Perang di Indonesia (1969), Laporan dari Banaran (1980), Peranan Angkatan Perang dalam Negara Pancasila yang Membangun (1980), Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai (1981), Iman Kristen dan Pancasila (1984), Keprihatinan dan Tekad; Angkatan ’45 Merampungkan Tugas Sejarahnya (1985) dan Dari Revolusi ke Pembangunan (1987). Untuk mengenang jasanya, sekelompok cendikiawan menerbitkan sebuah buku memoir dengan judul Saya Orang yang Berhutang (1990).
Simatupang meninggal dunia pada tahun 1990 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pada tanggal 8 November 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada TB Simatupang.
Editor : Vitrianda Hilba Siregar
Artikel Terkait