“Saat menuang adonan gula jawa harus cepat, jika tidak nantinya akan mengeras dan tidak bisa di cetak. Biasanya untuk melepas gula dari cetakan sekitar 10-15 menit,” ungkapnya.
Setelah gula jawa dilepas dari cetakan, batangan gula berwarna merah itu harus diangin anginkan terlebih dahulu sambil mencetak gula jawa selanjutnya yang dituangkan dari adonan. Setelah benar-benar kering dan keras, gula jawa siap di kemas dan di pasarkan.
Proses memasak air nira sebelum menjadi Gula Jawa (Foto : Aryo Rizqi)
“Biasanya nanti ada yang ngambil gulanya ke rumah. Kalau tidak kita yang mengantar ke pengepulnya dan biasanya dihargai sekitar Rp 12.000 - Rp 12.400 ribu per kilogram. Tapi harga itu selalu naik turun, tidak menentu,” ucapnya.
Dia mengungkapkan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dirinya hanya mengandalkan pendapatan dari membuat gula Jawa. Dia sendiri mengaku tidak mempunyai banyak pohon kelapa, sehingga suaminya selalu bergantian menderes air nira kepada pemilik pohon per lima hari.
“Jadi perlima hari kita bagi bagi air nira dari pohon kelapa. Lima hari air nira ke suami saya yang menderes, lima hari kemudian air nira di berikan ke pemilik pohon, jadi sama –sama untung, saya bisa buat gula, pemilik pohon juga bisa buat gula,” ungkapnya.
Namun, saat ini dia sangat menyesalkan dengan banyaknya pengerajin gula jawa yang sudah tidak jujur, diantara mereka banyak yang hanya mencari keuntungan semata tapi tidak melihat bahaya dari sesuatu yang dilakukannya tersebut, dia mencontohkan, banyak diantara para pembuat gula yang mencampurkan obat kedalam proses pembuatan gula Jawa, gunanya agar gula Jawa yang nantinya akan dijual hasilnya bagus, dan coklat cerah.
“Makanya para pengrajin disini tahu mana gula Jawa yang pakai obat dan mana yang asli. Yang asli itu gulanya biasa saja tidak terlalu mencolok warnanya,” ujarnya.
Para pengrajin di desa tersebut biasanya menggunakan kulit manggis dan air kapur dari batu gamping yang dituangkan ke pongkor saat akan menyadap nira. Itu fungsinya untuk mengeraskan gula Jawa dan mengawetkannya secara alami, bukan dengan menggantikannya dengan obat-obatan.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait