Dibuka Soeharto
Kendati menjelang November itu hubungan Gus Dur dan Presiden Soeharto kembali renggang, tetapi penguasa Cendana agaknya masih membutuhkan dukungan Nahdlatul Ulama. Hal itu dibuktikan dengan kehadiran Soeharto untuk membuka Muktamar NU di Yogyakarta. Soeharto tidak sendiri. Menurut Greg, turut hadir Mendagri Rudini, Sesneg Moerdiono, Menhan Benny Moerdan, dan Panglima ABRI Try Soetrisno.
Semuanya menyampaikan pidato panjang. Buku ‘Jejak Langkah Pak Harto 21 Maret 1988 -11 Maret 1993’ menyebutkan, Seoharto dalam pidatonya menekankan penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu dilandasi dan diimbangi dengan moral dan idealisme yang luhur. Seperti segi-segi keagamaan dan kepercayaan, etik dan budaya, segi-segi kemanusiaan, solidaritas sosial, dan segi-segi lainnya.
Pidato Try Soetrisno juga menyita perhatian. Sebagai seorang muslim santri, jenderal dari Korps Zeni itu tidak mengecewakan karena pidatonya ditaburi ungkapan-ungkapan Arab dan kutipan ayat-ayat Alquran dan hadits. “Ketika Try selesai pidato, hadirin spontan melantunkan Salawat Badar,” kata Greg.
Muktamar berlangsung panas. Gus Dur dan Kiai Siddiq menghadapi saingan ketat dari lawan-lawannya yang dimotori Kiai Asád, Idham Chalid, dan Yusuf Hasyim. Nama terakhir tak lain adalah paman Gus Dur.
Dalam persaingan untuk posisi Rais Aam, Kiai Siddiq mengalahkan Idham Chalid dengan 118 suara melawan 116 suara. Kiai Siddiq unggul tipis hanya dengan berselisih 2 suara. Adapun saingan utama Gus Dur yakni Yusuf Hasyim.
Tapi apa mau dikata, Yusuf Hasyim gagal mendapatkan 40 suara cabang yang dipersyaratkan sehingga gagal dalam persaingan babak kedua. Alhasil, Gus Dur mulus terpilih sebagai Ketua Umum PBNU (tanfidziah) secara aklamasi.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait